Kamis, 27 November 2014

Istri Punya Penghasilan Sendiri, Kenapa Tidak?

Tidak ada kewajiban bagi Muslimah mencari nafkah. Namun, saat ia mampu berpenghasilan dari hasil kerja sendiri, banyak keutamaan yang bisa diraih. Dengan hartanya ia bisa berbuat banyak untuk keluarga dan orang lain.
               Khadijah binti Khuwailid ra, istri pertama Rasulullah saw, adalah saudagar yang terhormat dan kaya raya. Guna menjalankan perniagaan, ia mempekerjakan para laki-laki dengan sistem upah bagi hasil. Ketika menikah dengan Rasulullah, wanita mulia ini menggunakan hartanya untuk kebahagiaan keluarga dan orang-orang di sekelilingnya. Ia memberi banyak hadiah untuk kerabat Rasulullah, seperti Halimah As-Sa’diyah, ibu susu Rasulullah. Khadijah ikut membiayai kehidupan Ali bin Abi Thalib yang memang diasuh Rasulullah. Ia juga memberikan Nabi seorang budak, yaitu Zaid bin Haritsah. Saat datangnya kerasulan disusul fase dakwah, Khadijah tanpa rasa berat mengeluarkan seluruh hartanya untuk perjuangan Rasulullah. Dialah penyokong utama dakwah Rasulullah. Betapa berkahnya harta Khadijah.
Istri Rasulullah yang lain, Zainab binti Jahsy ra, juga memiliki penghasilan dari kerja kerasnya. Keahliannya, menyamak kulit, lalu menjahitnya. Hasil penjualan kerajinan kulit ini ia sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Ternyata, Zainab-lah wanita yang disebut Rasulullah dalam perkataannya kepada para istrinya, “Orang yang paling cepat menyusulku (wafat) di antara kalian (istri-istri Rasulullah) adalah yang paling panjang tangannya.” Rasulullah memaksudkan ‘paling panjang tangan’ sebagai orang yang paling banyak memberi sedekah. Dan Zainab memang istri yang pertama wafat menyusul Rasulullah.
Di masa yang sama, tersebut pula nama Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, yang begitu bersemangat bersedekah dan mendapat semua keutamaannya. Ia bertanya apakah boleh ia bersedekah kepada suami dan anak-anak yatim asuhannya. Rasulullah pun bersabda, “Baginya ada dua pahala, yaitu pahala persaudaraan dan pahala sedekah.” Bagaimana tidak, harta yang disedekahkan kepada keluarga akan mengeratkan ikatan, selain dapat pahala yang memberatkan timbangan kebaikan.
Pada masa tabi’in, ada Ummu Muslim Al-Khulaniyah. Selain tekun beribadah, ia tak menyia-nyiakan keterampilan yang dimilikinya untuk mencari nafkah. Baginya, bekerja juga berarti ibadah. Ummu Muslim terampil memintal kapas menjadi benang, lalu menenunnya menjadi kain. Hasil penjualan kain itu ia gunakan untuk membeli makanan bagi keluarganya. Biasanya sang suami, Abu Muslim, dimintanya untuk membeli berbagai keperluan di pasar dengan uang hasil jerih payahnya. Sungguh, makanan keluarga yang didapat dari kerja Ummu Muslim begitu berkah dan berpahala.
              Bila memungkinkan dan dengan tetap memperhatikan syariat Islam, kemandirian finansial Muslimah adalah keniscayaan. Materi yang didapat juga merupakan jalan meraih banyak pahala.
Asmawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar