Tidak ada
kewajiban bagi Muslimah mencari nafkah. Namun, saat ia mampu
berpenghasilan dari hasil kerja sendiri, banyak keutamaan yang bisa
diraih. Dengan hartanya ia bisa berbuat banyak untuk keluarga dan orang
lain.
Khadijah binti Khuwailid ra,
istri pertama Rasulullah saw, adalah saudagar yang terhormat dan kaya
raya. Guna menjalankan perniagaan, ia mempekerjakan para laki-laki
dengan sistem upah bagi hasil. Ketika menikah dengan Rasulullah, wanita
mulia ini menggunakan hartanya untuk kebahagiaan keluarga dan
orang-orang di sekelilingnya. Ia memberi banyak hadiah untuk kerabat
Rasulullah, seperti Halimah As-Sa’diyah, ibu susu Rasulullah. Khadijah
ikut membiayai kehidupan Ali bin Abi Thalib yang memang diasuh
Rasulullah. Ia juga memberikan Nabi seorang budak, yaitu Zaid bin
Haritsah. Saat datangnya kerasulan disusul fase dakwah, Khadijah tanpa
rasa berat mengeluarkan seluruh hartanya untuk perjuangan Rasulullah.
Dialah penyokong utama dakwah Rasulullah. Betapa berkahnya harta
Khadijah.
Istri Rasulullah yang lain, Zainab binti Jahsy ra,
juga memiliki penghasilan dari kerja kerasnya. Keahliannya, menyamak
kulit, lalu menjahitnya. Hasil penjualan kerajinan kulit ini ia
sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Ternyata, Zainab-lah wanita
yang disebut Rasulullah dalam perkataannya kepada para istrinya, “Orang
yang paling cepat menyusulku (wafat) di antara kalian (istri-istri
Rasulullah) adalah yang paling panjang tangannya.” Rasulullah
memaksudkan ‘paling panjang tangan’ sebagai orang yang paling banyak
memberi sedekah. Dan Zainab memang istri yang pertama wafat menyusul
Rasulullah.
Di masa yang sama, tersebut pula nama Zainab,
istri Abdullah bin Mas’ud, yang begitu bersemangat bersedekah dan
mendapat semua keutamaannya. Ia bertanya apakah boleh ia bersedekah
kepada suami dan anak-anak yatim asuhannya. Rasulullah pun bersabda,
“Baginya ada dua pahala, yaitu pahala persaudaraan dan pahala sedekah.”
Bagaimana tidak, harta yang disedekahkan kepada keluarga akan
mengeratkan ikatan, selain dapat pahala yang memberatkan timbangan
kebaikan.
Pada masa tabi’in, ada Ummu Muslim Al-Khulaniyah.
Selain tekun beribadah, ia tak menyia-nyiakan keterampilan yang
dimilikinya untuk mencari nafkah. Baginya, bekerja juga berarti ibadah.
Ummu Muslim terampil memintal kapas menjadi benang, lalu menenunnya
menjadi kain. Hasil penjualan kain itu ia gunakan untuk membeli makanan
bagi keluarganya. Biasanya sang suami, Abu Muslim, dimintanya untuk
membeli berbagai keperluan di pasar dengan uang hasil jerih payahnya.
Sungguh, makanan keluarga yang didapat dari kerja Ummu Muslim begitu
berkah dan berpahala.
Bila memungkinkan dan dengan tetap memperhatikan syariat Islam,
kemandirian finansial Muslimah adalah keniscayaan. Materi yang didapat
juga merupakan jalan meraih banyak pahala.
Asmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar