Jumat, 13 November 2009

Kegalauan Seorang Ayah

Menjadi kepala rumah tangga ternyata bukan persolan remeh. Tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, dengan terpenuhinya sandang, pangan, papan dan pendidikan tinggi untuk masa depan anak. Tidak hanya itu, tetapi lebih dari bagaimana melindungi anak dan istri agar terhindar dari lumatan api neraka. Ini tugas yang tidak ringan, membentuk keluarga yang berkarakter qurani. Apalagi arus pollutan globalisasi sudah masuk ke sendi-sendi keluarga, melalui kotak televisi, anak-anak dan istri dijejali tayangan-tayangan yang berbau ghoswul fikri, budaya hedonisme pun mengepung.Kegelisahan seorang ayah akhir zaman terhadap fenomena zaman yang kian kering dari nilai-nilai langit (Ilahiyah). Alam raya semakin menua, sementara perilaku para penduduk bumi dihiasi oleh pembangkangan yang tak berkesudahan kepada Sang Pemilik Alam Raya. Allah azza wajalla.
Lihatlah, banyak diantara kita yang malah merusak ekosistem alam, keseimbangan alam, bumi menjadi kering, hutan menjadi gundul. Akibatnya bencana alam, pemanasan global yang mengancam kehidupan manusia. Dalam situs www.okezone.com (15/10), menyebutkan akibat dari pemanasan global ini kutub utara yang menyimpan sejumlah massa es terbesar di dunia diperkirakan akan menghilang dan berubah menjadi lautan dalam kurun waktu 20 hingga 30 tahun ke depan.
Itulah keresahan yang dirasakan sahabat karib saya, ia mengatakan akankah anak cucunya dimasa yang akan datang terancam tidak bisa menikmati keindahan alam?. Bisakah ia mewariskan pusaka keindahan alam ke anak cucunya?, karena detik-demi detik bumi dijarah keindahannya oleh tangan-tangan yang (katanya) paling tinggi akalnya. Yang harusnya menjaga kelestariannya.
Sahabat saya itu adalah keluarga muda yang baru dikarunikan seorang anak. ”Saat anak pertama kami lahir, perasaan kami membuncah karena kehadiran sang bayi sudah lama dinantikan,” ujar sang sahabat memulai pembicaraan saat berbagi kegelisahan hati. Saat ini anaknya genap tiga bulan.
Kegelisahannya tidak berhenti disitu. Ia mengatakan bahwa amanah sebagai imam keluarga saat hidup pada zaman yang penuh dengan fitnah, harus membutuhkan amunisi iman yang kuat. ”Kalau sang imam keluarganya saja ringkih iman, lalu bagaimana mau membentuk keluarga berkarakter ibadah?,”
Padahal ia membuat visi hidup yang salah satu poinnya adalah terciptanya generasi baru dengan membentuk anak-anak berjiwa Al Quran. Ia merasa gelisah terhadap masa depan anak-anaknya kelak, saat tumbuh kembangnya hingga sang anak menjadi pria dewasa. Mampukah melewati berbagai tipuan setan. ”Apakah saya mampu mendidik anak-anakku menjadi generasi robbani,” tanya sang sahabat.
Mungkin dengan dengan berbagi kegelisahan hati sang sahabat bisa terobati. Ia pun mulai menceritakan dan berbagi kegalauan yang menyelimuti hatinya dan memulai tulisannya....
Ketahuilah anakkuSaat kau lahir, ribuan rekaman cerita memilukan masih menghiasi wajah ummat Muhammad. Muslimah ditusuk di negeri yang mengkampanyekan Liberty, hanya karena ia menampakkan identitas keislamannya. Negeri-negeri muslim masih dikangkangi rantai kezaliman dan dihinakan para penduduknya. Belum lagi virus ’SEPILIS’ (sekulerisme, pluralisme, liberalisme) merongrong negeri-negeri Islam. Mencuci otak muslim menjadi westernis.
Karena kau anak akhir zaman. Ayahmu ini tidak tahu, wajah Islam tahun 2030? Apakah semakin lusuh dan pucat? Karena penguasa tiran semakin keranjingan menumpahkan darah-darah suci. Yang jelas kau akan hidup di masa ajaran Islam kian asing. Yang penuh dengan fitnah, jebakan, konspirasi. Kebenaran disalahkan, kesalahan dilegalkan dan didukung massa.
Jika tahun 1924 adalah awal bercokolnya periode mulkan jabariyah, maka tahun 2030 genap berumur 106 tahun, dan saat itu kau berusia 21 tahun. Ayahmu tidak mengerti, apakah fitnah huru hara akhir zaman kian mengerikan? Orang-orang sholeh menjadi obyek fitnah, caci-maki, dan dihinakan oleh orang-orang jahiliyyah hanya karena menjalankan Syariah-Nya? Sementara para pemeluknya masih disibukkan dengan saling menghujat dan memakan daging saudaranya sendiri hanya karena berbeda wasilah? Ayah berharap mata hatimu bisa jernih saat 73 golongan ini saling mengklaim paling benar dan mengaku pengikut Sunnah kanjeng Nabi. ”Jadilah perekat dan pengikat dalam terbentuknya Jamaatul Muslimin yang dirindukan itu,”
Di saat para pemegang kebenaran bagai menggenggam bara. Jadilah Ghuroba, disaat kebenaran dimarjinalkan. Teruslah bergerak dalam pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai Malaikat Izroil memanggilmu. Semoga ruh perjuangan Syaikh Ahmad Yasin, Al-Rantisi, Sholahuddin Al Ayyubi mengalir di darahmu. Dalam menapaki huru hara akhir zaman ini, sibghoh Islammu jangan sampai luntur nak. ”Sebab, tanpa Islam, kau adalah nol,”
Jika tahun 2030 Allah SWT menakdirkan runtuhnya kejayaan periode mulkan jabariyah. Tangan mungilmu ini harus bisa mengepal lebih kencang dihadapan Fir’aun-fir’aun modern, dan melantangkan ”Laa Ilaaha Ilallah Muhammad darrosulullah.” Kau harus mampu terus berjalan melewati lorong gelap kejahiliyahan, saat ummat sulit membedakan mana yang benar mana yang salah. Ingat nak, kau anak akhir zaman, kau harus menjadi anak peradaban yang dirindukan zamannya. Panca roba mengabarkan, alam raya sudah muak dengan rezim setan peradaban yang gemar merusak dan menumpahkan darah.
Jika Al Malik menghendaki tahun 2030 menjadi batas akhir sejarah rezim thoghut. Anak-anak zamannya ini harus tampil memenangkan pertarungan dan mengembalikan peradaban. Saat itu, jadilah pioner penumbang kebhatilan. Seperti para pemuda Ashabul Ukhdud yang merobohkan keangkuhan rasa ketuhanan rezim thoghut. Karena Rasulullah pernah mengabarkan, ”Setiap kurun waktu 100 tahun akan lahir para pembaharu.” Inilah sunatullah pertarungan. Maka jadilah bagian dari yang dijanjikan itu!
Sang sahabat menutup cerita dengan mendekap muka, kemudian ditatapnya cerah langit yang saat itu dihiasi ribuan bintang. Sejenak aku tertegun mendengar cerita kegelisahan hati sang sahabat. Akupun teringat pada keluargaku di rumah. ”Ya Allah jadikanlah anak-anak kami pemimpin bagi orang-orang sholeh.” lirih doa sang ayah di sepertiga malam yang sepi.***

Sumber: Sucipto / Eramuslim

Kamis, 12 November 2009

MENGHIDUPKAN MALAM DENGAN QIYAMUL LAIL

Wahai saudaraku—semoga Alloh SWT meneguhkan kita di atas jalan-Nya yang lurus—suatu ketika Rosululloh SAW mengatakan kepada salah seorang sahabatnya yang bernama Robi’ah bin Ka’ab al-Aslami : “Wahai Ka’ab, mintalah kepadaku.” Lantas dengan polos dia menjawab: “Wahai Rosululloh, aku ingin bisa menemani engkau di surga.” Maka Rosululloh n bertanya lagi kepadanya: “Adakah selain itu?” Maka dia menjawab lagi: “Wahai Rosululloh, hanya itulah permintaanku.” Kemudian Rosululloh SAW menjawab: “Wahai Ka’ab, bantulah aku dengan memperbanyak sujud!” (HR.Muslim: 489)Imam an-Nawawi berkata: “Yang dimaksud memperbanyak sujud adalah memperbanyak sholat {1}.” (Syarah Shohih Muslim kar. Imam an-Nawawi:2/238)Sholat sunnah mempunyai peranan yang sangat penting ketika hari penghitungan amal nanti. Ia berperan sebagai penyempurna bagi kewajiban-kewajiban yang kita lalai dalam menunaikannya. Sholat sunnah banyak sekali ragamnya tetapi yang paling utama setelah sholat fardhu adalah sholat malam (qiyamul lail).{2}Karena begitu penting dan utamanya, Alloh SWT menyebutkan di banyak tempat dalam kitab-Nya.{3}Wahai saudaraku yang kucintai, pada edisi kali ini kita akan membahas tentang sholat malam, dengan berharap semoga kita termasuk hamba-hamba Alloh SWT yang menghidupkan malam-malamnya dengan sujud dan berdiri dalam rangka mencari ridho Alloh. Semoga bermanfaat.Hukum, Waktu dan Jumlah Roka’at Sholat MalamHukum sholat malam adalah sunnah muakkad. Waktunya dimulai setelah sholat isya‘ sampai dengan sebelum waktu sholat subuh. Boleh dikerjakan di awal waktu, tengah, ataupun akhir waktu. Akan tetapi, waktu yang paling utama adalah sepertiga malam yang terakhir di mana pada waktu itu tidaklah bangun untuk mengerjakan ibadah kepada Alloh SWT kecuali sangat sedikit. Dan pada waktu itulah Alloh SWT turun ke langit dunia seraya berkata:“Aku adalah Raja, Aku adalah Raja, barang siapa yang berdo’a kepada-Ku maka akan Kukabulkan do’anya, dan barang siapa yang meminta kepadaKu maka akan Kuberi, dan barang siapa yang meminta ampun kepada-Ku maka akan Kuampuni dosa-dosanya.” (HR. al-Bukhori: 1145)Sedangkan jumlah roka’atnya, paling sedikit adalah 1 roka’at berdasarkan sabda Rosululloh SAW: “Sholat malam adalah 2 roka’at (salam) 2 roka’at (salam). Apabila salah seorang di antara kamu khawatir akan datangnya waktu shubuh maka hendaklah dia sholat 1 roka’at sebagai witir baginya.” (HR. al-Bukhori: 990, Muslim: 749).Dan yang paling sering dikerjakan oleh Rosululloh SAW adalah 11 roka’at berdasarkan perkataan Aisyah: “Tidaklah Rosululloh SAW sholat malam pada bulan Romadhon ataupun bulan yang lainnya lebih dari 11 roka’at.” (HR. al-Bukhori: 1140, 1147 dan Muslim: 738)Akan tetapi, jumhur (mayoritas) ulama salaf (terdahulu) dan kholaf (belakangan) berpendapat akan bolehnya sholat malam lebih dari 11 roka’at. Namun, yang lebih utama adalah 11 roka’at. Oleh karena itu, al-Qodhi ’Iyadh berkata: “Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat ulama) bahwasanya tidak ada batasan, tidak boleh lebih atau kurang dari itu. Karena sholat malam termasuk salah satu bentuk ketaatan yang makin bertambah jumlahnya makin banyak pula pahalanya. Khilaf itu terjadi hanya pada perbuatan Nabi SAW dan apa yang beliau pilih untuk dirinya.” (Shohih Fiqhis Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim: 1/414)Tata Cara MengerjakannyaSholat ini boleh dikerjakan 2 roka’at salam, 2 roka’at salam, dan diakhiri dengan 1 roka’at witir. Dan boleh juga dikerjakan 4 roka’at salam, 4 roka’at salam, dan ditutup dengan 3 roka’at witir, atau dengan cara yang lainnya.Akan tetapi, yang lebih utama 2 roka’at salam, 2 roka’at salam sebagaimana hadits riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim di atas.Adab­-Adab Mengerjakan Sholat MalamDi antara adab-adab mengerjakan sholat malam {4} adalah:1. Bersiwak atau menggosok gigi sebelum mengerjakannya. (HR. al-Bukhori: 246 dan Muslim: 255)2. Memulainya dengan 2 roka’at yang ringan, karena hal ini bisa menambah giat dan semangat untuk roka’at-roka’at berikutnya. Dan jikalau tidak dimulai dengan 2 roka’at yang ringan juga tidak apa-apa. (HR. Muslim: 767)3. Boleh mengerjakannya dengan berdiri, duduk, atau berdiri dan duduk.(HR. al-Bukhori: 1118 dan Muslim: 735)4. Kadang membaca dengan jahr (suara keras) dan kadang dengan sirr(suara lirih).(HR. Muslim: 307)5. Membangunkan keluarga untuk mengerjakan qiyamul lail. (HR. AbuDawud: 1308, dishohihkan al-Albani dalam Shohih al-Jami’: 3488)6. Berbaring sebentar setelah qiyamul lail dan sebelum fajar, supaya adapemisah di antara keduanya. Selain itu akan menambah semangat dan kesegaran untuk menjalankan sholat subuh. (HR. Bukhori: 1146)7. Dibenci bila meninggalkannya bagi orang yang sudah terbiasa mengerjakannya. (HR. al-Bukhori: 1152)Keutamaan Qiyamul Lail (Sholat Malam)Sebenarnya banyak sekali nash-nash baik dari al-Qur‘an maupun hadits yang menjelaskan keutamaan sholat ini tetapi kami hanya bisa menyebutkan beberapa saja. Mudah-mudahan bisa menjadi motivator (pendorong) kita untuk lebih giat menghidupkan malam-malam kita dengan qiyamul lail.Diantara keutamaan itu adalah:1. Qiyamul lail merupakan ciri khas hamba-hamba Alloh SWT yang bertaqwa.(Baca Surat al-Furqon [25]: 63-64, as-Sajdah [32]: 15-17, adz-Dzariyat [51]: 15-18)2. Akan disediakan baginya surga yang di dalamnya ada ruangan yang luarnya bisa terlihat dari dalam dan dalamnya bisa terlihat dari luar. (HR. Ibnu Hibban: 509 dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih al-Jami’: 2123)3. Qiyamul lail adalah ibadah sholat yang paling utama setelah sholat fardhu. (HR. Muslim: 1163)4. Penghapus dosa dan kesalahan. (HR. at-Tirmidzi: 2616, dishohikan al-Albani dalam Shohih wa Dho’if al-Jami’: 7528)5. Meninggikan derajat di surga. (HR. Muslim: 488)Kiat­Kiat untuk Qiyamul Lail {5}1. Berusahalah untuk tidur siang dan tidur di awal malam. Jangan begadang malam yang tidak bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita. Serta bertekadlah yang kuat untuk bangun malam.2. Hilangkan dari benak kita perasaan sulit dan berat, karena anggapan tersebut bisa melemahkan semangat kita. Mulailah secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan tingkat kemampuan kita. Jangan langsung memaksakan diri melakukan qiyamul lail sampai kaki bengkak seperti Rosululloh SAW. Jangan pula sholat dengan membaca tiga juz penuh dalam satu roka’at kalau memang yakin belum mampu. Mulailah dengan yang mudah-mudah saja. Bangun setengah jam sebelum subuh lalu sholat dua roka’at kemudian witir 1 roka’at. Tidak perlu memaksakan diri bangun jam dua pagi, sholat berlama-lama, dan menghafalkan do’a-do’a yang biasa dibaca oleh Rosululloh SAW pada saat qiyamul lail. Jangan lakukan terlebih dahulu. Simpan semua cita-cita luhur itu dan mulailah membuat sebuah langkah kecil. Kecil tetapi konsisten, insya Alloh lebih disukai Alloh SWT.3. Lihatlah kisah-kisah salaf dalam mengerjakan qiyamul lail baik dalam keadaan sehat ataupun sakit, waktu tidak dalam perjalanan ataupun ketika sedang safar. Dengan mengetahui kisah-kisah mereka hati kita akan tergugah dan terketuk untuk meniru mereka.4. Kurangilah banyak tertawa, senda gurau, dan banyak mengobrol ke sana kemari tak tentu arah karena hal itu bisa melalaikan hati dan membuatnya keras bahkan bisa mematikannya.5. Gunakan alarm serta berpesanlah pada teman atau keluarga kita untuk membangunkan kita pada waktu yang kita inginkan.6. Do’a merupakan senjata kaum muslimin. Maka berdo’alah kepada Alloh SWT supaya membantu kita dalam qiyamul lail karena tidak ada daya dan upaya tanpa bantuan dan pertolongan Alloh SWT.NasihatWahai saudaraku—semoga Alloh SWT memberikan petunjuk-Nya kepada kita—seharian penuh kita telah disibukkan dengan urusan dunia. Sisihkan dan luangkan waktu malam kita untuk bermunajat kepada Alloh SWT dan meminta ampunan atas segala kesalahan yang telah kita perbuat pada siang harinya. Akankah waktu yang sangat mustajab di kala Alloh SWT turun ke langit dunia itu kita lewatkan berlalu begitu saja tanpa kita isi dengan ketaatan kepada Alloh SWT? Tidak malukah kita kepada hewan-hewan yang bertasbih dan berdo’a kepada Alloh SWT di kala itu?Akhirnya, semoga Alloh SWT mengampuni semua dosa kita dan memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kita, ilmu yang membuahkan amal yang kelak mengantarkan kita ke surga-Nya. Aamiin.Allohu A’lamu bish-showab.Catatan Kaki:{1} Yang dimaksud sholat di sini adalah sholat tathowwu’ (sunnah). Lihat Subulus Salam karangan Imam ash­Shon’ani: 2/6, Taudhihul Ahkam kar. Abdulloh bin Abdirrohman Alu Bassam: 2/377.{2} Lihat HR. Muslim: 1163.{3} Baca Surat al­Furqon [25]: 63­64, as­Sajdah [32]: 15­17, adz­Dzariyat [51]: 15­18.{4} Lihat Shohih Fiqh Sunnah kar. Abu Malik Kamal bin as­Sayyid Salim: 1/401­413{5} Lihat Kaifa Tatahammasu Liqiyami al­Lail kar. Abul Qo’qo’ Muhammad bin Sholih
Sumber: Abu Mas’ud al­Kadiriy (Buletin Al-Furqon)/http://bertahajudlah.blogspot.com

Rabu, 11 November 2009

Kala Shubuh Kita Lebih Awal

Jika kita perhatikan sekarang ini, waktu shalat Shubuh kita di beberapa bagian—terutama di bagian Barat Indonesia, jatuh sekitar jam 04.00 pagi. Ini mungkin baru terjadi dalam kurun waktu yang lama sekali. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, kita melaksanakan Shalat Shubuh pada jam 05.00 kurang atau paling tidak, pukul 04.30 pagi. Mengapa?
Ibrahim bin Adham mengatakan bahwa jika ingin melihat kebangkitan Islam, maka lihatlah Shalat Shubuh di masjid-masjid. Maksudnya, Islam akan kembali bangkit dan menemukan zaman keemasannya jika jamaah Shalat Shubuh di masjid sama banyaknya dengan jamaah shalat Jumat.
Kita sudah tahu bahwa dalam shalat Jumat, berlepas dari banyak juga yang tidak melakukannya, tetapi masjid-masjid jamie selalu penuh. Orang-orang menghentikan sejenak aktivitasnya. Di waktu shalat-shalat lainnya, masjid kembali ke “habitat”-nya semula: sepi dan hanya paling tidak, di sebagian besar masjid, hanya mempunyai jamaah tiga atau empat shaff. Itupun ketika Maghrib dan Isya saja. Shalat
Shubuh yang paling mengenaskan. Seringkali, muadzin melakukan semuanya sendirian: beradzan, qomat, menjadi imam dan juga jamaahnya, alias tak ada jamaahnya. Paling bagus, shalat Shubuh diikuti oleh satu baris yang terdiri dari orang-orang tua saja.
Dengan bergesernya waktu shalat Shubuh yang lebih awal, bisa ditebak, shalat Shubuh di masjid menjadi makin sepi. Jumlah jamaah yang tadinya sudah sedikit semakin surut saja. Dan jangan terlalu banyak berharap melihat anak-anak muda di barisan jamaah shalat Shubuh. Memang kadang-kadang aja juga, namun yang kadang-kadang itupun jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari satu tangan saja.
Sebaliknya anak-anak muda kita sekarang ini, jika kebetulan pas hari libur, mereka sering kali masih bisa kita temui di pinggir jalan sampai larut malam. Mereka berkumpul dan begadang, menghabiskan malam bersama-sama, dan kemudian pergi tidur justru ketika Shubuh akan segera jatuh.
Sebagian besar bencana besar sering kali terjadi pada waktu setelah Shubuh yang tenang. Misalnya saja Tsunami Aceh dan tragedi Situ Gintung belakangan ini.
Semoga, kita menjadi orang-orang yang senantiasa menjalankan shalat Shubuh berjamaah di masjid
Sumber: Eramuslim

Senin, 09 November 2009

Selera Suami

Selera kadang seperti anak kecil. Jujur, polos, apa adanya. Sulit ditutup-tutupi jika keinginannya ingin terpenuhi. Walaupun keinginan itu tak disukai banyak orang.
Hidup berumah tangga punya seribu satu cerita. Ada suka dan duka. Ada pengalaman jenaka. Semua itu memberikan kesan yang begitu dalam. Sayangnya, tidak semua pasangan pandai menata kesan-kesan itu sebagai pelajaran berharga.
Ada beberapa sebab. Pertama, tidak semua orang punya daya kepekaan yang tinggi. Dinamika berumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang biasa. “Biasa, hidup berumah tangga!” begitulah tanggapan yang muncul. Sebab kedua, kurang perhatian dengan urusan rumah tangga. Rumah tangga hanya sebagai tempat singgah: istirahat sejenak untuk kemudian pergi lagi dengan urusan masing-masing. Dan ketiga, lemahnya bangunan komunikasi antar sesama anggota keluarga. Suasana rumah jadi hambar, dingin, dan kemudian asing.
Gambaran seperti itu sama sekali tidak dialami Bu Aam. Justru, ibu dua anak ini sedang kerepotan dengan selera makan suami. Kelihatannya urusan sepele, tapi buat Bu Aam lumayan besar. Pasalnya, ada kesukaan makan suami yang tidak hanya dibenci Bu Aam; tapi juga orang tua Bu Aam, anak-anak, bahkan tetangga. Suaminya senang jengkol!
Bu Aam tak habis pikir, bagaimana mungkin orang bisa doyan jengkol. Dari baunya saja, bisa bikin minat makan pupus. Apalagi rasanya. Waduh, benar-benar nggak kebayang di benak Bu Aam.
Sebenarnya, kesukaan makan suami berupa jengkol dan turunannya seperti pete baru beberapa bulan disadari Bu Aam. Selama ini selera itu tidak terungkap. Entah kenapa, suaminya tidak pernah bilang kalau dia doyan jengkol dan pete. Mungkin malu, atau dampak dari ucapan Bu Aam di awal pernikahan.
Waktu itu, Bu Aam sempat bilang kalau hampir semua makanan yang halal ia sukai. Mulai buah, gorengan, ikan, daging; bahkan pare sekali pun. Tapi, ada satu yang paling ia benci. “Saya cuma tidak suka jengkol!” ucap Bu Aam suatu kali. Saat itu juga, suaminya diam. Pembicaraan soal makanan kesukaan berhenti total.
Nah setelah itu, Bu Aam kerap mendapati suami sudah makan di warung selepas pulang kerja. Padahal, Bu Aam sudah menyiapkan makan malam. “Maaf, Dik. Mas sudah makan!” ucap suami tanpa beban.
Selama hampir empat tahun misteri selera suami Bu Aam itu tetap aman. Hingga adanya cerita ibu mertua Bu Aam ketika berkunjung suatu kali. “Suamimu itu, hobi banget sama jengkol!” ucap sang ibu sambil senyum.
Sejak itu, terjawab sudah keanehan-keanehan selama ini. Mulai dari makan di warung, hingga bau tak sedap di kamar mandi. Soal yang terakhir, Bu Aam sempat buruk sangka dengan tetangga. Karena tinggal di rumah petakan, kamar mandi Bu Aam dan tetangga berhimpit dengan dinding penyekat tidak sampai ke atap. Jadi, bukan cuma suara yang terdengar dari balik kamar mandi tetangga, baunya pun bisa mampir. Termasuk, bau jengkol.
Waktu itu, Bu Aam yakin sekali kalau aroma khas itu bukan dari kamar mandinya. Tidak heran kalau ia sempat mengumpat, “Dasar, makan tidak pilih-pilih!” Betapa malunya Bu Aam kalau ingat itu.
“Memang apa salahnya orang senang jengkol?” tanya seorang teman Bu Aam suatu kali. Bu Aam cuma diam. Matanya menatap lekat sang teman. Ia mulai menilai kalau temannya pasti doyan jengkol. “Memang, apa enaknya makan jengkol?” kilah Bu Aam menimpali. Sang teman menjawab panjang lebar.
Dari situlah, Bu Aam paham kenapa orang menganggap nikmat makan jengkol, klaim nilai gizi, penambah selera makan dan sebagainya. Dengan berat hati, ia pun ingin memaklumi hobi suami itu. Berat memang. Karena pemakluman seperti itu punya konsekuensi. Apalagi kalau bukan menyediakan jengkol di menu makan keluarga. Weleh-weleh, gimana dengan anak-anak. Bisa-bisa, mereka ikut-ikutan bapaknya. Repot! Satu orang saja, bau kamar mandi nggak karuan. Apalagi dengan anak-anak.
Sebelum pemakluman itu diberlakukan, Bu Aam mewanti-wanti kedua anaknya. Intinya, jangan pernah doyan jengkol. “Jengkol itu bau, nggak enak, pahit. Pokoknya nggak enak!” ucap Bu Aam agak provokasi. Kedua anaknya cuma bengong mendengar ucapan sang ibu.
Tapi, kenyataan di luar dugaan. Entah kenapa, suami Bu Aam justru minta maaf. Ia menyesali sikapnya yang bikin repot isteri tercinta. “Maafin Mas, ya Dik. Gara-gara jengkol, Adik jadi susah!” ucap sang suami prihatin. Dan benar saja, sejak detik itu, tak ada lagi gejala jengkol di rumah Bu Aam. Suaminya jadi rutin makan malam di rumah. Dan tentu saja, kamar mandi bersih dari aroma ‘segar’ jengkol.
Namun begitu, Bu Aam justru jadi kikuk dengan perubahan selera suami. Ia merasa bersalah. Karena ingin menyenangi isteri, suaminya jadi berkorban. “Duh, kasihan suamiku,” sesal Bu Aam dalam hati.
Beberapa kali Bu Aam menyediakan hidangan jengkol olahan warung di keluarga. Mulai jengkol semur, rendang, goreng, dan lain-lain. Tapi, tetap saja. Suami tak pernah mencicipi olahan-olahan itu. Jangankan makan, menyentuh pun tidak. “Sudahlah, Dik. Saya benar-benar ikhlas tidak lagi makan jengkol!” ucap suami tenang. Tak ada suara berat di situ. Tampaknya, suami Bu Aam benar-benar tulus.
Beberapa minggu berlalu sejak kejadian itu. Tidak ada hidangan jengkol, tidak ada kebingungan Bu Aam. Dan, tidak ada bau tak sedap di kamar mandi. Tiba-tiba, hidung Bu Aam menangkap sesuatu. Ia berusaha mencari tahu. Dan, “Hm, seperti bau...bau, ah tak mungkin. Tak mungkin itu!” Bau makin kentara ketika Bu Aam berada di bibir pintu kamar mandi. Yah, bau itu yang pernah bikin panik Bu Aam. Bau jengkol.
Bukankah suami sudah tidak makan jengkol? Apa dari tetangga? Bu Aam meneliti setiap sudut kamar mandi. Dan ia pun yakin, bau itu memang dari kamar mandinya. Lalu, siapa? Apa mungkin suaminya kambuhan. Ah, nggak mungkin! Ia tahu benar watak suaminya. Lagi pula, tiga hari ini, suaminya sedang keluar kota. Jadi siapa?
Dari balik kamar, suara anak-anak Bu Aam terdengar riang. “Kak, enak ya. Hi..hi..hi,” suara si kecil sambil cekikikan. Sang kakak terlihat senyum-senyum. Melihat kecurigaan itu, Bu Aam menghampiri. “Enak apanya, Dik? Kalian makan permen, ya?” Keduanya menggeleng. “Kalian makan apa?” tanya Bu Aam lagi lebih tegas. “Je...je...jengkol!! Dari nenek tadi pagi!” ucap sang kakak polos.

Sumber: Muhammad nuh /eramuslim

Selasa, 03 November 2009

Cintaku Di Segala Sisi

Cintaku di segala sisi
Kebiasaan kita, khususnya aku, akan timbul rasa suka atau simpati karena seseorang mempunyai sisi baik. Sisi baik yang menyenangkan rasa, membuatku bisa bersyukur berjumpa pada seseorang. Misalnya istriku saat ini.
Cinta tumbuh dan berkembang karena melihat karakternya yang lembut dan bersahaja, dan gampang menolong orang lain yang kesusahan. Akhirnya aku pun bertekat untuk mempersuntingnya untuk jadi pendamping hidupku. Membayangkan sebuah rumah tangga yang penuh saling perhatian dan tentu saja cinta yang menjadi pilar kekokohan persatuan kami.
Itu lah impianku. Tapi, impian tidak lah memang harus sama dengan kenyataan. Ternyata banyak hal yang belum aku ketahui tentang istriku ini. Sisi baik yang membuatku terpikat pada awalnya, ternyata bagaikan satu buah sisi mata uang receh. Ternyata dia pun punya sisi yang lainnya, yang tak pernah aku bayangkan.
Satu dua hari pernikahan kami, aku pun kembali pulang ke orang tuaku. Tak kuat dengan apa yang belum di bukakannya kepadaku. Ternyata dia adalah janda kembang di kampungnya. Aku tak tahu, karena tak ada sedikit pun informasi darinya atau pun dari pihak lain.
Bukan aku mempermasalahkan tentang statusnya yang janda, tapi yang sangat aku sayangkan setelah ijab kabul di lakukan baru lah aku tahu, siapa sebenarnya istriku tersebut. Pengantin baru seharusnya adalah masa indah yang patut di kenang, ternyata aku harus bergulat dengan egoisme tentang harga diri seorang laki-laki yang merasa di bohongi. Sakit, itulah yang aku rasakan.Beruntung aku mempunyai kedua orang tua yang berpandangan luas tentang hidup. Beliau mengatakan bahwa ini adalah takdir yang harus aku jalani dalam hdiupku. Memang ini cobaan ku, karena aku terlahir dengan sifat yang sangat penyabar. Ternyata memang Allah memberikan ujian sesuai dengan tingkatan iman kita. Mereka tak ingin aku menceraikan istriku dengan alasan apapun. Aku pun patuh pada nasehat mereka.
Setelah mulai membuka diri untuk berdamai dengan hati, maka aku pun berusaha untuk belajar menerima istriku dengan status yang di sembunyikannya tersebut. Tapi ternyata itu adalah awal dari sifat yang lainnya, yang tak pernah aku temui selama ini. Ternyata perangai terhadap kedua orangtuanya berbanding terbalik dengan diriku. Aku yang tak pernah bersuara keras apalagi membentak kedua orangtuaku, ternyata istriku malah sebaliknya. Aku pun terhenyak kembali. Belum lagi lidahnya setajam silet, yang gampang sekali mengeluarkan kata yang dapat melukai seseorang seumur hidupnya. Aku sangat terpukul. Ternyata yang nampak di mataku sebuah kebaikan, ternyata di iringi dengan banyak kemungkaran yang tak pernah terbayangkan.
Istri yang aku kawini karena aku sangat mencintainya, ternyata adalah sebuah ujian untuk aku jalani seumur hidupku hingga kini. Ujian yang tak mungkin aku lepas, karena aku telah berjanji kepada kedua orang tuaku untuk tidak akan pernah menceraikannya sampai ajal merengut nyawaku. Sebuah pertahanan yang sangat kuat harus aku tanamkan, kemana aku harus bersandar bila aku tidak memulangkannya kepada penentu “Takdir”ku, Ilahi Robbi.
Setelah beberapa tahun perkawinan kami, hingga dikarunia dua anak yang lahirnya berdekatan, aku dan istriku masih sering kali bertengkar sengit dan kadang membuat anak-anak kami ketakutan. Aku yang tadinya bukan lah tipe pemarah dan gampang mengeluarkan kata makian, ternyata beberapa tahun bersama istriku aku telah berubah menjadi seseorang yang sebenarnya tidak aku sukai. Aku bukan lah aku yang dulu, yang selalu takut melukai lawan bicaraku. Ternyata istriku dengan tabiatnya yang banyak di luar perkiraanku, mengubahku menjadi seorang pemarah dan pemaki. Walau pun itu hanya aku lakukan padanya. Tapi sungguh aku sering menangis, di kala istriku tidur. Dan munajat panjang ku di malam dingin, seringkali membuatku terpekur. “Mengapa aku jadi begini?”.
Banyak do’a yang telah keluar dari bibir ini. Banyak ustadz yang aku datangi untuk merubah prilaku istriku, ternyata semuanya tidak ada kelihatan hasilnya. Istriku masih dengan sifat bawaannya, padahal dia rajin shalat. Aku sangat kecewa dan hampir putus asa.
Kemudian Allah memberikan hidayah ke dalam hatiku. Rasa ku yang dulunya kelam, ternyata dapat menangkap cahaya Ilahi. Cahaya yang membuatku dapat melihat apa yang sesungguhnya ada di hadapanku kini. Padahal kedua orangtua ku dulunya sebelum meninggal telah menyampaikannya, tapi ternyata setelah perkawinan kami menginjak dua belas tahun aku dapat memahami semua kejadian ini.
Cintaku ada karena melihat perangai baiknya, sebelum aku mempersuntingnya. Ternyata dalam cinta yang kita genggam bukan hanya harus memiliki satu sisi. Sisi buruk apa pun yang di miliki pasangan kita adalah sebuah anugerah bagi kita.
Kita harus mampu menerima keburukan, sebagaimana kita menerima kebaikannya. Cinta kepada sesuatu tidak harus banyak menuntut, tapi bagaimana sesuatu yang tidak menyenangkan mata dan hati, dapat kita ambil untuk di pelajari kemudian untuk di petik hikmahnya. Seperti bagaiaimana kuatnya kemauan Rasulullah Saw untuk meng-Islamkan pamannya Abu Thalib, ternyata beliau tak mampu. Begitu pula aku yang hanya manusia biasa.
Istriku hingga kini adalah tempatku belajar untuk sabar dan berusaha memahami bagaimana sifat dan karakternya saat ini. Dia tidak terlalu bersalah, akrena aku menyadari itu adalah hasil didikan dari lingkungannya, baik dari kedua orang tuanya maupun dari keluarga besarnya.
Jadi di umur yang tidak bisa dikatakan muda lagi dan kedua anak kami yang telah menyelesaikan pendidikannya, membuatku lebih tenang dalam mengisi sisa-sisa hidupku ini. Aku merasakan sebuah ketenangan dan penerimaan total atas semua dua sisi sifat istriku yang aku cintai itu dengan sangat sadar.
Sadar bahwa memang hidup di dunia ini, akan selalu ada cobaan. Kita tak bisa merasakan sebuah nikmat bila kita selalu mempermasalahkan sesuatu yang kurang. Baik pada pasangan hidup kita, anak-anak kita atau orang-orang yang selalu bersifat kurang terpuji terhadap kita. Intinya adalah menyikapi semua hal dengan lapang dada dan sadar semuanya adalah skenario Allah Swt.
Karena sebuah kebaikan tentu lah hal yang menyenangkan yang tak perlu kita persoalkan. Bila kita menyukai seseorang karena kebaikannya, maka bersiaplah untuk pula menerima sifatnya yang tidak kita sangka, yang bila kia permasalahkan akan betul-betul menjadi masalah.
Saat ini yang aku kejar adalah sisa umurku yang tidak lama lagi, bila di sandingkan dengan umurnya Rasulullah. Maka oleh itu lah aku sangat bersyukur, karena sesuatu yang tadinya aku anggap sebuah beban ternyata adalah bentuk kasih sayang dari Allah Swt. Dengan memberikan sebuah pembelajaran dan didikan bertahun-tahun yang harus sangat payah harus ku emban, ternyata berbuah manis untuk ku petik di masa tua ini.
Jadi hidup ini memang sebuah perjalanan rohani yang harus selalu kita gali hikmahnya, agar semua yang kita temui dalam perjalanan singkat di dunia ini merupakan sebuah kesadaran. Sadar bahwa semuanya adalah kehendak-Nya. Karena bagaimana pun banyak ilmu yang telah kita pelajari, atau banyak buku yang telah kita baca, semuanya itu tidak akan berfaedah bila rasa ikhlas tidak ada dalam jiwa kita.
Tiada daya dan upaya melainkan semuanya datangnya dari Allah Swt.
( Tulisan ini merupakan kisahi perjalanan hidup seorang lelaki yang mungkin dapat di petik hikmahnya. Amin )
Sumber: Halimah Taslima/Eramuslim

Minggu, 01 November 2009

Bila Buah Hati tak Kunjung Hadir

Salah satu tujuan pernikahan adalah melahirkan generasi shalih yang akan meneruskan kehidupan Bani Adam di muka bumi secara umum dan mengemban tongkat estafet perjuangan umat dalam menyebarkan Islam kepada alam semesta secara khusus.
Allah SWT berfirman, artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelummu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (Ar-Rad: 38).
Lahirnya anak-anak bagi suami istri merupakan kebahagiaan yang tidak tergantikan. Dapat segera menimang sang buah hati hasil dari cinta kasih keduanya dalam sebuah ikatan suci setelah pernikahan merupakan harapan yang sangat diimpikan.
Kehadiran anak akan menjadi hiasan indah bagi bangunan rumah tangga, tanpanya hati suami istri terasa hampa, tanpanya kebahagiaan pernikahaan keduanya seakan belum lengkap dan tanpanya rumah keduanya terasa sepi.
Namun ada satu perkara yang sudah dimaklumi bersama bahwa tidak seluruh keinginan manusia dapat terwujud, karena hidup memiliki Pengatur dan Penata, di tangan-Nya-lah segala urusan dipegang, maka terkadang ada suami istri yang susah punya anak, padahal keduanya sudah menikah beberapa tahun, bahkan telah menempuh segala upaya dan cara, namun sang buah hati belum juga lahir.
Sedih dan gelisah rasanya, lebih-lebih ketika orang-orang dekat di sekitar suami istri mulai menyodorkan pertanyaan yang menurut mereka ringan, namun bagi suami istri merupakan pukulan keras, “Kapan bapak menimang cucu? Kapan keponakanku hadir? Sudah sekian tahun kok masih berdua saja?”.
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang senada yang mungkin maksud pengucapnya adalah menyemangati atau sekedar pemanis sapaan, tetapi bagi yang bersangkutan, pertanyaan seperti itu bisa menjadi beban yang sangat memberatkan.
Hal semacam itu sangat manusiawi, namun jangan sampai berlebihan sehingga ia menjadi duri dalam rumah tangga yang mungkin mengarah kepada keretakan rumah tangga. Sikapi hal ini dengan wajar dan proporsional.
Pertama: Menyadari bahwa anak-anak adalah pemberian Allah dan Allah belum berkenan atau menunda pemberian tersebut karena suatu hikmah bijak yang Dia ketahui dan semoga kita pun berusaha untuk mengetahui. Ada apa dengan diriku sehingga Allah belum berkenan atau Dia menunda pemberian ini? Bukankah sebagai muslim kita meyakini bahwa apa pun yang Allah berikan kepada kita atau ambil dari kita merupakan kebaikan?
Kedua: Menyadari bahwa anak-anak merupakan ujian dan tanggung jawab yang tidak ringan, dengan asumsi bahwa Allah tidak memberikan anak kepada kita, berarti kita tidak memiliki tanggung jawab terhadapnya, dan ini artinya beban kita lebih ringan.
Ketiga: Melihat kepada orang-orang yang tidak Allah beri anak atau Dia menundanya. Dengan hal itu, kita bisa sedikit terhibur, ternyata tidak sedikit orang yang sama dengan saya dan mereka tetap bahagia. Karena sebab-sebab kebahagian itu berjumlah bukan satu saja, anak hanyalah salah satu sebab.
Coba kita tengok Nabiyullah Ibrahim al-Khalil, Allah memberinya anak manakala yang bersangkutan dan istrinya sudah tidak muda lagi, Allah berfirman, artinya, “Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira kelahiran Ishaq dan dari lshaq akan lahir Ya’qub. Istrinya berkata, Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan padahal aku adalah wanita tua dan suamikupun sudah tua pula? Sesungguhnya ini merupakan sesuatu yang benar-benar aneh.” (Huud: 71-72).
Ibrahim adalah Nabiyullah yang mulia, kurang apa beliau, meskipun demikian Allah tidak memberikan anak kepadanya melainkan di saat usianya tidak muda lagi, sekian lama menanti dan akhirnya penantian itu pun tiba. Jika hal semacam ini Allah tetapkan kepada beliau, tentu bukanlah suatu yang berlebihan jika hal itu terjadi terhadap diri kita. Dan seharusnya kita mengaca kepada hamba shalih tersebut.
Keempat: Bertawakal kepada Allah dengan menyerahkan masalah kepada-Nya semata. Sikap tawakal merupakan salah satu senjata seorang mukmin dalam menghadapi perosalan-persoalan sulit. Berapa banyak problem hidup yang terangkat oleh sikap tawakal yang kepada Allah, tanpa terkecuali problem kesulitan dalam mendapatkan keturunan.
Allah berfirman, artinya, “Dan barang-siapa bertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan keperluannya.” (Ath-Thalaq: 3). Sebuah janji yang pasti dari Allah bahwa dia akan mencukupi kebutuhan siapa yang bertawakal kepadaNya, tanpa terkecuali kebutuhan kepada hadirnya anak.
Rasulullah juga pernah menceritakan kepada kita tentang seekor burung yang mendapatkan rizki dengan berangkat pagi dalam keadaan perut kosong dan pulang sore dalam keadaan perutnya penuh, dan ini karena kesungguhannya dalam bertawakal kepada Allah, maka apalagi kita sebagai manusia yang memiliki lebih banyak cara dan sebab, tentu kita lebih patut untuk mendapatkan rizki, jika kita benar-benar bertawakal kepada Allah SWT, termasuk mendapatkan keturunan.
Namun jangan salah kaprah bahwa tawakal bukanlah berarti berpangku tangan dan berdiam diri tanpa upaya dan usaha.
Upaya semaksimal mungkin dan usaha sebatas kemampuan adalah sisi lain dari tawakal selain berpasrah diri kepada Allah, ibarat mata uang yang pasti memiliki dua sisi, satu sisi tawakal adalah kepasrahan dan sisi yang lain adalah usaha, jika mata uang hanya memiliki satu sisi saja maka ia tidak laku, demikian juga dengan tawakal.
Maka berusahalah dan berupayalah sebatas kemampuan dan kesanggupan Kita sebagai suami atau istri. Silakan berkonsultasi dengan ahlinya, menjalani terapi tertentu, mengkonsumsi makanan tertentu atau ramuan-ramuan tertentu, karena semua itu merupakan bagian dari tawakal Kita yang sebenarnya kepada Allah dan setelah semua upaya sudah Kita lakukan maka serahkan segalanya kepada Allah SWT.
Kelima: Bersabar. Allah sedang menguji kita dengan menunda kehadiran anak, ada kemungkinan Dia menyintai Kita, karena jika Allah 18 menyintai suatu, kaum maka dia akan menguji mereka. Dan dibalik ujian terdapat kebaikan dan pahala yang besar selama kita menyikapi ujian tersebut dengan penuh kesabaran.
Keenam: Berdoa. Doa adalah senjata seorang mukmin, pintu bantuan dan pertolongan yang tidak pernah tertutup, terbuka non stop 24 jam bahkan sepanjang hayat. Ketika kita sudah bertawakal dengan melakukan berbagai macam upaya, selanjutnya memasrahkannya kepada Allah, maka tambahi langkah tersebut dengan berdoa kepada-Nya, mengetuk pintu karunia-Nya, semoga Dia berkenan membuka pintu-Nya untuk Kita.
Nabi Ibrahim al-Khalil termasuk terlambat dalam mendapatkan anak dan keduanya tetap gigih berdoa kepada Allah sehingga harapannya terwujud. Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang shalih. “Apa jawaban Tuhannya? Jawaban-Nya, “Maka Kami memberinya berita gembira dengan seorang anak yang sangat sabar. ” (Ash-Shaffat: 1 00-101).
Ketujuh: Kalau Kita pikir lebih mendalam ternyata di balik keterlambatan hadirnya anak mengandung banyak pahala dari Allah. Kalau Kita bersabar maka Kita meraih pahala sabar. Kalau Kita bertawakal maka Kita meraih pahala tawakal. Kalau Kita berdoa maka Kita meraih pahala doa dan begitu seterusnya. Cobalah melihat kepada sisi ini niscaya kehampaan rumah akibat belum hadirnya anak akan terimbangi.
Kedelapan: Ini yang terakhir, mohon Kita tidak tergoda oleh langkah-langkah yang menyimpang dari ajaran agama atau cara-cara syirik untuk mendapatkan anak, tidak punya anak bukan merupakan suatu dosa, lalu untuk apa kita harus bersusah payah meraihnya dengan melakukan syirik kepada Allah?
Janganlah menjadi bapak ibu yang rela berbuat syirik kepada Allah demi kelahiran anak, hal ini Allah sebutkan dalam firman-Nya, “Tatkala Allah mengaruniakan mereka seorang anak laki-laki yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal anak yang Dia karuniakan kepada mereka. Mahasuci Allah dari perbuatan syirik mereka.” (Al-A’raf: 190).
Sumber : Buletin Dakwah An-Nur Thn. XIV No. 729 - 30 Oktober 2009