Senin, 22 Juni 2009

Menghantarkan Sang Anak ke Surga
Hari Ahad sepekan yang lalu, saya mengikuti seminar tentang menjadi orang tua yang efektif (parenting) di sebuah yayasan pendidikan Islam di Komsen, Bekasi. Pembicaranya adalah tokoh yang memang pakar dalam masalah tersebut.
Seminar berlangsung di arena kolam renang beratapkan tenda yang biasa digunakan dalam acara-acara pernikahan. Suasana cukup segar dan rileks karena didesain membaur dengan alam terbuka. Lain halnya bila acara diselenggarakan dalam ruang tertutup, barangkali suasana formal dan streng akan cukup mendominasi meski pembicaranya adalah pembicara yang cukup segar dan memberikan banyak pencerahan. Sayangnya, tampilan-tampilan slide yang dipaparkan tidak begitu dinikmati dengan jelas oleh peserta yang duduk dibarisan belakang seperti saya. Sinar mentari yang menembusi acara yang berlangsung dari pukul 8.00 hingga 12.00 itu, menjadikan paparan slide terlihat kabur dan tidak jelas. ‘Ala kulli hal, saya hanya menikmati lantunan lisan dari pembicara seminar yang banyak berkisah tentang kasus-kasus pernikahan dan parenting itu.
Satu kisah yang cukup menyentak saya, adalah kisah seorang ibu aktivis dakwah yang bisa-bisanya “membunuh” anak-anaknya (sebut saja namanya Bu Amy). Sepintas kita akan bertanya, bagaimana mungkin Bu Amy bisa seperti itu? Tetapi itulah realita yang terjadi. Kabarnya beliau menderita kelainan jiwa akibat sikap orang tua (ibu) beliau yang selalu meremehkannya dalam segala hal.
Bu Amy ingin sekali dipandang terhormat, mulia, hebat, atau sekedar dipuji oleh ibunya. Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang wajar seorang anak terhadap seorang ibu, dimana pun dan kapan pun. Setiap anak pasti menginginkan bahwa dirinya berarti, memiliki nilai, dan bermanfaat bagi orang lain. Dan seorang ibu seharusnya memberikan kepercayaan, penghargaan, pujian, motivasi, atau penyemangat atas prestasi dan perilaku positif anaknya. Namun malangnya, ibu beliau bukanlah tipe ibu yang dominan dalam memberi motivasi, penghargaan, ataupun inspirasi. Dia adalah tipe ibu yang dominan dalam hal meremehkan dan melecehkan.
Ketika ia berhasil lulus kuliah dengan gelar cumlaude, ibunya mengatakan:“ Gitu aja kok bangga, lha kamu kuliahnya di jurusan yang gampang, ya mesti dapat prestasi bagus. Coba kamu kuliah di jurusan yang menantang gitu lho!”
Tak dinyana. Saking mendambakan pengakuan dari ibunya, beberapa tahun kemudian secara diam-diam Bu Amy kuliah lagi dan mengambil jurusan yang lebih sulit. Singkat cerita, kali ini pun lulus dengan prestasi cumlaude.
Ia begitu tidak sabar memberi kabar kepada ibunya tentang hal itu. Tetapi apa yang terjadi ketika ia memberi kabar kepada ibunya? Tidak ada reaksi surprise apapun. Sikapnya tetap dingin. Lalu terlontarlah kata-kata meremehkan dan melecehkannya,
“Jangan bangga. Pantas aja kamu dapat prestasi bagus karena kamu pernah kuliah sebelumnya. Jadi kamu pasti lebih berpengalaman dibanding adik-adik mahasiswamu itu.”Sejak itulah jiwanya menjadi goyang. Beliau yang telah dikarunia beberapa anak, sangat takut akan bersikap sama seperti ibunya itu. Sikap yang membunuh kreativitas. Sikap yang melemahkan mental. Sikap yang akan membunuh masa depan anak-anaknya kelak. Andai Bu Amy memiliki kestabilan jiwa, barangkali bisa saja beliau akan menghibur diri, “Ah, di mata ibuku aku memang selalu tidak baik. Ibu macam apa dia? Saya sepatutnya tidak membutuhkan pengakuan apapun darinya”. Atau setidaknya jiwanya akan membatin, “Naudzubillah, alangkah buruk perangai ibuku. Bagaimana aku bisa mendakwahinya? Bagaimana agar aku bisa mengarahkan bagaimana seharusnya memperlakukan anak dengan baik?. Ini adalah tantangan untuk merubah ibuku.” Namun ketegaran itu tidak muncul dari jiwa Bu Amy. Pelecehan demi pelecehan telah mematikan potensi positif dirinya.
Kekecewaan dan ketakutan selalu menghantui Bu Amy. Kecewa dengan perilaku ibunya dan ketakutan perilaku itu menurun kepada dirinya sehingga ia tidak bisa memperlakukan anaknya dengan baik. Halusinasi dan pikiran-pikiran irrasional sering timbul. Akhirnya timbullah pikiran untuk “membunuh” anak-anaknya. Halusinasi mengatakannya bukan membunuh tetapi “mengantarkan anak-anaknya menuju surga”. Bukankah di surga yang ada adalah kata-kata yang baik dan tidak akan ditemukan di sana kata-kata cemoohan.
Pernah ia melakukan experimen tetapi gagal karena kepergok suaminya. Namun niat itu diulangi lagi ketika suaminya pergi ke luar kota selama beberapa hari. Prosesi “penghantaran surga” bagi anak-anaknya itu terasa amat menyedihkan andai benar kita menyaksikannya dalam bentuk sebuah sinetron. Sang anak yang akan dihantarkannya itu terlebih dahulu dimandikan dengan wewangian. Kemudian disusui hingga sangat kenyang. Kemudian dibelai-belai, dicium-cium, diberi kata-kata yang menenangkan, akhirnya sang anak pun tertidur dengan pulas. Berulang kali dikatakan, “Wahai anakku, sesungguhnya ibu amat menyayangimu. Oleh karena itu, ibu ingin menghantarkanmu kepada kehidupan surga yang tidak ada penderitaan di sana. Semoga engkau bahagia, anakku.” Kemudian perlahan-lahan, sebuah bantal ditutupkan ke wajahnya. Lama dan makin kencang. Sehingga sang anak pun akhirnya tidak bisa bernafas dan meninggal dunia.
Ketika abangnya bertanya, ia mengatakan, “Adikmu sudah tenang pergi ke alam surga. Maukah ibu antarkan kamu ke surga seperti adikmu?” Karena kata-katanya menyakinkan, abangnya pun menurut. Akhirnya sang abang pun menyusul adiknya setelah menjalani prosesi yang sama memilukan. Demikian hal itu terjadi juga kepada anak berikutnya.
Ketika sang suami pulang, ia pun bertanya kabar anak-anaknya. Mirip dengan kisah sahabat yang istrinya begitu tabah menghadapi kematian anaknya, Bu Amy pun tanpa ekpresi sedih mengatakan, “Anak-anak sudah tertidur pulas dan dalam kondisi yang amat tenang”. Namun sang suami curiga ketika ia periksa bahwa detak jantung anak-anaknya sudah tidak ada lagi, ia menangkap sebuah kejanggalan terjadi pada isterinya. Singkat cerita, akhirnya sang suami melapor polisi dan akhirnya diketahui dan disimpulkan bahwa Bu Amy mengalami guncangan jiwa yang hebat.
***
Hati saya yang mendengar penuturan itu sangat teriris-iris. Masya Allah, alangkah berat guncangan yang terjadi pada Bu Amy, betapa kejam perilaku orang tua (Ibu beliau) yang selalu mencemoohnya, dan betapa kasihan nasib anak-anaknya yang tidak berdosa.
Saya belum mencari-cari adakah arsip berita seperti yang dikisahkan oleh pembicara itu di google. Di mana tepatnya dan kapan terjadinya. Yang jelas kisah itu amat berkesan di hati saya sehingga tergerak hati ini untuk menuliskannya.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini. Semoga kita bisa berlaku sebagai orang tua yang baik dan pandai-pandai dalam mendidik anak.
Naudzubillah, kita berlindung kepada Allah Azza Wa Jalla dari guncangan jiwa seperti terjadi pada Bu Amy, sehingga ia tidak bisa membedakan antara “membunuh” dan “menghantarkan sang anak ke surga”.
Waallahu a’lamu bishshawaab

Sumber: Muhammad Rizqon / Eramuslim

Jumat, 12 Juni 2009

Menantu Baru

Enaknya jadi menantu baru. Semuanya jadi serba baru. Anggota keluarga baru, suasana rumah baru, perabot baru. Dan satu lagi yang tergolong rezeki nomplok, pelajaran, perhatian dan kasih sayang dari orang tua baru.
Itulah yang dirasakan Sri. Seminggu sudah masa lajangnya berlalu. Kenikmatan yang Sri terima dari Allah kian membesar. Sudah dapat suami saleh, dapat mertua penyayang. Wah, benar-benar berkah.
Selama seminggu itu, Sri seperti jadi ratu. Semuanya serba dilayani. Mulai dari cuci pakaian, masak, beres-beres rumah, hingga urusan kebersihan kamar Sri sendiri. Semuanya diurus ibu mertua.
Sebenarnya, pembantu di rumah mertua Sri cuma satu. Usianya pun sudah setengah baya. Tapi, karena tekanan dari ibu mertua, si pembantu jadi serba luar biasa. Kerjanya cekatan, tekun, teliti, dan serba bisa. Sebentar-sebentar terdengar teriakan ibu mertua, “Yem, mejanye bedebu, nih. Ubinnye udah dipel belom. Makanan buat Sri udah disiapin belom?”
Betawi. Yah, itulah jodoh Sri. Gadis asli Solo ini dianugerahi Allah jodoh pemuda asli Betawi. Tulen. Walau arsitektur rumah berserta perabotnya sudah moderen, suasana kampung Betawi masih sangat terasa. Semua anggota keluarga berinteraksi satu sama lain layaknya lenong Betawi. Dialognya, egaliternya, perilakunya, kepolosannya, hingga sebutan benda-benda di sekitar rumah. Suatu hal yang super baru buat Sri.
Pasalnya, Sri memang sama sekali belum bergaul dengan dunia Betawi. Dari bayi hingga sudah punya cita-cita ingin punya bayi, dunianya murni Solo. Lembut, santun, ramah, dan serba halus. Suatu hal yang hampir bertolak belakang dengan Betawi. Kadang, Sri senyum-senyum sendiri. “Subhanallah. Mungkin Allah mau mengajarkan saya soal persaudaraan Islam,” ucap Sri dalam hati.
Waktu di Solo, ada teman Sri yang cerita soal orang Betawi. “Aduh, Sri. Kamu harus sabar, lho! Orang Betawi itu kasar!” ucap sang teman ketika tahu calon suami Sri. Dan, itu memang terlihat pada sekilas sosok sang calon. Padahal, calon suami Sri kuliah di Solo. Bertahun-tahun tinggal di Solo, pembawaan tetap asli Betawi. Itu terlihat ketika awal proses pernikahan. Sri sempat kaget dengan ucapan sang calon. “Gimana, Sri mau nerima saya nggak jadi suami?” suara calon suami Sri enteng. Kontan saja, Sri jadi deg-degan. Mau jawab apa.
Ketika proses lamaran calon mertua pun, Sri sempat dibikin kaget. Waktu itu, calon mertua Sri berkunjung ke rumah Sri di Solo. Selain melamar, mereka mau kenalan dengan Sri. Ini dipandang perlu, karena mereka kenal Sri cuma lewat foto. Itu pun cuma sebagian badan dan kepala. Terang saja, calon mertua Sri jadi sangat penasaran.
Ketika berkunjung, ternyata bukan cuma orang tua calon suami Sri saja yang ingin melihat. Hampir seluruh anggota keluarga dekat calon mau ikut melihat. Dan sepertinya, mereka sangat kompak penasaran. “Yang mane, sih calonnye. Yang mane?” ucapan itu menggaung-gaung di telinga Sri. Hampir semua yang datang berucap itu. Ketika bapak memperkenalkan Sri ke para tamu, serempak suara-suara kembali menggaung. “Oh itu! Cakep, ye. Item manis!”
Kini, Sri mulai paham tentang Betawi. Dan Sri jadi sangat yakin kalau ucapan sang teman salah. Betawi memang terlihat seperti kasar. Tapi, itulah bentuk kejujuran, dan kesupelan mereka dalam berinteraksi. Dalam kamus Betawi, tidak ada istilah sungkan. Kalau benar, ya dibilang benar. Dan kalau salah, mereka menyatakan apa adanya. Kepada siapa pun. Walaupun terhadap orang tua sendiri. Semuanya serba to the point.
Di masa-masa penyesuaian itu, Sri belajar banyak pada suami. Mulai dari budaya, perilaku, dan juga bahasa. Sang suami mengajarkan Sri soal istilah sehari-hari. “Sri, kalau lu itu artinya kamu. Dan kalau aye artinya saya. Jangan salah, ya, Sri,” ucap suami suatu kali.
Pernah suatu kali, Sri sedang masak kue. Lagi asyik-asyiknya masak, tiba-tiba ibu mertua Sri muncul dari balik pintu dapur. “Eh, mantu lagi masak. Bikin ape, tu?” kata ibu mertua sambil menghampiri Sri.
Yang ditanya belum juga menjawab. Justru bingung. Sri bingung mesti jawab apa. Pasalnya, ia sedang masak kue bolu. Ia ingat betul dengan ucapan sang suami tentang istilah Betawi. Lu itu artinya kamu. Kalau ia sebut nama kue itu apa adanya, Sri yakin ibu mertuanya pasti tersinggung. Jadi, mesti bilang apa?
Sri jadi gugup. Keringat dingin mulai membasahi jilbabnya. Aduh, bilang apa, ya. “Tu, lu bikin kue ape?” tanya mertua sekali lagi. “Anu, Nyak. Hmmm….” Sri makin gugup. “Kue..kue…kue bol aye, Nyak!” ucap Sri hampir tak terdengar. Ibu mertua Sri tampak terbelalak. “Kue ape?” tanyanya lagi.
Pernah juga Sri dibikin shock sama ayah mertuanya. Persoalannya sebenarnya sederhana. Yaitu, soal buang angin atau kentut. Buat Sri, kentut itu sudah merupakan barang sangat tabu. Jangankan bersuara, tanpa suara saja sudah sangat memalukan. Terlebih saat berada di tengah orang banyak. Tapi, hukum itu tidak berlaku buat babe, ayah mertua Sri.
Suatu kali, ketika keluarga dekat suami ingin kenal lebih dekat dengan Sri, babe ikut bergabung. Silih berganti pembicaraan meletup-letup dari mulut yang satu ke yang lain. Dan suara tawa pun meledak. Posisi duduk para tamu pun tidak beraturan. Ada yang di bangku, di lantai, angkat kaki, dan lain-lain. Cuma babe yang bersila di atas bangku. Kadang, ucapan-ucapan humornya membuat suasana jadi akrab. Sebagai menantu yang baik, Sri duduk bersebelahan dengan babe. Sesekali, Sri menimpali kelucuan-kelucuan babe dengan senyum manis.
Tiba-tiba, di luar dugaan Sri, suara nyaring meletus dari arah bawah babe, “Tuuuut!” Spontan, wajah Sri memerah. Ia seperti menahan marah. Tapi, di luar dugaannya pula, tak satu pun para tamu yang bereaksi. Mereka seperti tidak mendengar apa-apa. Padahal, suara itu teramat nyaring. Dan obrolan pun terus bergulir lancar. Cuma Sri yang gelisah. “Aduh, kok tega babe begitu sama mantunya sendiri,” suara Sri dalam hati. Hampir saja, ia pergi ke kamar untuk menangis.
Sri kadang dibuat malu sama mertua. Pasalnya, ketika sanak keluarga suami berkunjung, selalu saja Sri dibangga-banggakan. “Nih, mantu kesayangan gue. Sekolenye tinggi. Orang pinter tuh, die!” ucap babe tanpa beban. Saat itu, wajah Sri berwarna-warni bagaikan pelangi. Malu.
Pernikahan memang mengajarkan banyak hal buat Sri. Salah satunya adalah kemampuan penyesuaian. Kalau ke keluarga saja tidak mampu adaptasi, gimana dengan orang lain. Dan untuk yang satu ini, Sri benar-benar dibuat kerja keras. Bagaimana pun juga, mereka adalah orang tua suami. Dan itu berarti orang tua Sri juga. Tanpa kurang sedikit pun.
Jadi menantu baru memang membuahkan hal baru. Selain keberkahan baru, tentu saja, tantangan baru. Dan ini berarti perjuangan baru.
Sumber:M.Nuh / Eramuslim