Kamis, 27 Agustus 2009

Cerita Dari Seorang Ibu

Seorang wanita muda sedang mengandung anak kedua. Kehamilannya belum mencapai usia tujuh bulan. Suatu hari, wanita yang tengah hamil ini mencuci tiga stel pakaian ABRI milik suaminya dengan tangannya sendiri sambil duduk berjongkok. Keesokan harinya, rasa sakit yang sangat di bagian perutnya dialami sang ibu dan rasa sakit itu terus berlangsung selama tiga malam hingga akhirnya lahirlah seorang bayi perempuan dalam keadaan belum cukup bulan (pre-mature).
“Pak-Bu harus siap ya, bayinya kecil sekali (1,5 kg) sewaktu-waktu bisa meninggal dunia” itulah kurang lebih ucapan dokter di rumah sakit kepada kedua orang tua bayi itu, di sebuah kota kecil Cimahi, Jawa Barat.
Sebulan lamanya bayi prematur itu harus tidur dalam incubator (kotak kaca) dan tidur terpisah dari ibunya. Namun kondisi demikian tidaklah mengurangi kasih sayang sang ibu bahkan sifat keibuannya semakin meraja. Dengan setia, sebulan lamanya sang ibu menemani bayinya dengan hati yang penuh do’a dan asa……..harapan dan keyakinan yang sangat kuat akan kebesaran Illahi Rabbi dalam mempertahankan perjuangan hidup seorang anak manusia.
Bayi yang bertubuh sangat mungil ini mengalami penurunan berat badan menjadi 1,3 kg. Kesulitan menyusu menjadi kendala dalam pertumbuhan bayi prematur. Setiap kali disusui, bayi itu tersedak sehingga wajahnya menjadi kebiruan. Sungguh…..kepanikan yang luar biasa dialami wanita itu.
Suatu ketika wabah diare menyerang sepuluh bayi di rumah sakit tempat bayi prematur itu dilahirkan. Dari sepuluh bayi, hanya dua orang bayi yang bertahan dalam keadaan sehat wal’afiat satu di antaranya adalah bayi mungil dari ibu muda nan cantik tadi. Rupanya kebiasaan sang ibu selalu hidup rapi dan bersih menjadi kuncinya. Dia selalu mencuci dan merebus sendiri baju-baju bayi prematurnya. Dia wanita yang kuat dan tegar, tak ada kata lelah dan bermanja-manja sehabis melahirkan.
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS Al-Insyiraah : 5-6)
Mencoba dan mencoba lagi, berusaha dan terus berikhtiar….itulah yang dilakukan wanita itu. Sampai suatu ketika ia melakukan pemberian ASI (Air Susu Ibu) dengan menggunakan pipet tetes. Setetes demi setetes ASI dalam pipet mengalir dan menyambung kehidupan bayi mungil itu. Sungguh tak terbayangkan betapa luasnya samudera kesabaran, pengorbanan dan keikhlasan yang terpancar dari dalam diri wanita nan mulia itu. Bayi prematur itu perlahan-lahan tumbuh dan dapat menyamai berat bayi-bayi yang lahir normal dalam waktu tiga bulan. Subhanalloh…..
Bayi mungil itu kini telah menginjak usia 38 tahun dan telah menjadi seorang ibu dengan tiga orang anak. Bayi itu adalah aku…..
Perjuangan aku membesarkan anak-anakku tak ada nilainya dibanding perjuangan ibu membesarkan aku. Perjuangan dan pengorbanannya sungguh luar biasa dalam kondisi kedokteran yang pada saat itu masih sangat sederhana dan belum sehebat ataupun secanggih kedokteran masa kini. Ibuku seorang wanita yang hebat, kuat dan tegar. Banyak sekali ilmu dan teladan yang selalu beliau contohkan kepadaku, kepada kami anak-anaknya, dan kepada cucu-cucunya.
Abu Hurairah Radhiallu ‘anh berkata : Seorang lelaki datang menemui Rasulullah Saw dan bertanya,” Ya Rasulullah, siapakah yang paling berhak mendapat pelayananku dengan sebaik-baiknya?” Nabi Saw menjawab, “Ibumu”. Dia bertanya lagi : “Kemudian siapa lagi?” Rasulullah menjawab, “ Ibumu.” Dia bertanya lagi,” Kemudian siapa?” Nabi Saw menjawab;” Ibumu.” Dia bertanya lagi,” Kemudian siapa lagi?” Nabi Saw menjawab,” Ayahmu.” (HR Bukhari)
Ibu, aku banyak berhutang kepadamu. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Ya Rabb bantulah aku dan bimbinglah aku agar aku tergolong ke dalam hamba-hamba-MU yang sholeha yang mampu memuliakan dan membahagiakan ibu dan ayahku dan jadikanlah surga sebagai kampung akherat kami, aamiin Allohumma aamiin.
Dalam usianya yang semakin senja, semoga ALLOH SWT selalu memberikan kenikmatan iman, Islam dan sehat kepadamu ibu dan juga ayahku. Kebahagiaan dunia dan akherat yang selalu menyertaimu, limpahan Rahman dan Rahim-NYA yang selalu bersamamu serta keberkahan dalam hidup yang selalu tercurah untukmu, ibu dan ayahku. Cinta dan do’a kami (anak-anakmu) selalu menyertaimu.
“Rabbigh-firlii wa liwaa lidayya war-ham-humaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”.Artinya : Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangiku dan memeliharaku di waktu kecilku.

Sumber: Mira Kania Dewi / Eramuslim

Rabu, 26 Agustus 2009

Mujahid Logistik Ramadhan

Ramadhan ibarat sebuah magnit yang menarik perhatian setiap benda yang memiliki masa sejenis dan sekutub. Yang tadinya jauh, perlahan mendekat dan merapat. Beberapa masjid, mushalla dan surau yang tadinya dapat dikatakan mati suri kecuali saat Maghrib dan Isya menjadi lebih hidup, semarak dan menyeruak syi’arnya. Baik dengan penampilan fisik; cat tembok, lampu, kipas angin, pengeras suara, sajadah dan bahkan mimbar yang baru, manusia pun membludak hingga tempat suci itu tak kuasa menampung jamaah yang antusias menghadiri jamaah.
Rumah Allah menjadi padat dengan berbagai aktivitas. Sejak mulai Shubuh sampai bertemu Shubuh lagi. Lantunan ayat suci, nasehat Ramadhan, berbuka puasa bersama, tarawih adalah di antara syi’ar yang sangat menonjol kehadirannya. Semuanya dalam rangka menyambut dan mengisi Ramadhan yang penuh berkah.
Kita menjadi maklum apabila perubahan itu terjadi pada wilayah masjid, surau dan mushalla. Ada pergeseran signifikan pada dimensi iman dan ketaatan. Tetapi entah apa yang harus dikatakan, bahwa perubahan itu juga nampak pada dunia hiburan. Stasiun televisi menawarkan berbagai paket yang ”berbau” Ramadhan. Sinetron disetting seolah menghargai Ramadhan dalam alur ceritanya. Para Artis dan penyanyi saling ”berijtihad” membuat lagu dan aransemen musik yang berbau Ramadhan. Jika sebelum Ramadhan imeg publik sudah ”mutawatir” menilai seorang artis atau penyanyi tertentu sebagai ”urakan”, tetapi sejak sekarang ia kelihatan kalem dan terlihat lebih religius.
Bahkan yang kesehariannya amat enjoy mengumbar aurat pun, ikut-ikutan menempelkan kerudung, mengundang dan menyantuni anak yatim serta tanpa beban bicara nilai-nilai agama dan sebagainya.
Pada kutub yang berbeda, para tokoh tertentu yang dikenal sebagai ustad, da’i atau penceramah yang sudah sangat familiar di layar kaca tidak lagi hanya fasih menyampaikan ayat-ayat suci atau hadits-hadits syarif. Sadar atau tidak, ada di antaranya telah masuk ke wilayah periklanan berbagai produk barang dan jasa meskipun tetap dalam ”bahasa” Ramadhan. Gelar mereka jadi bertambah tidak hanya ustadz, da’i atau penceramah. Rupanya para produsen sangat jeli memanfaatkan momentum Ramadhan, meskipun mereka belumlah tentu seorang yang ”mendapat panggilan” untuk berpuasa.
Jika Ramadhan dimaknai sebagai kesempatan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, siapapun pelakunya berhak mendapat apresiasi, tentu penghargaan tertinggi datang dari Allah SWT. Ini jauh lebih mulia dari pada tidak ada usaha perubahan sama sekali. Namun alangkah naifnya, jika hal itu tidak lebih hanyalah strategi bisnis, bertujuan menyalakan lagi pamor ketenaran yang hampir redup, menangkap peluang hiburan guna meraup keuntungan semata, rating yang melambung dan merebut sebanyak-banyaknya pemirsa. Sebab ternyata ada juga nilai kontradiktif dari acara hiburan yang berbau Ramadhan itu.
Dampak langsung darinya seperti, secara tidak sengaja malah mengalihkan sebagian kaum muslimin dari segera berangkat menuju tarawih, tetapi masih tetap khusyu di depan layar televisi mereka karena acaranya yang dikemas apik dan menarik. Tapi tentu ini mungkin hanya kasus saja. Lepas dari itu, Allah tetaplah Maha Kasih Yang Tak Terbatas kasih-Nya. Dengan Rahman dan Rahim-Nya, Ia tetap memberikan balasan sesuai kadar, niat dan motivasi di balik hati pelaku perubahan itu.
” .... Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. ...” (Terjemah QS. Ali Imran [3] : 145).
Ya, segala hal yang tadinya biasa-biasa menjadi luar biasa dan istimewa ketika Ramadhan merapat dan akhirnya hadir di tengah-tengah medan hidup kita. Utamanya bagi manusia-manusia beriman.
Perubahan dan padatnya aktivitas mengisi Ramadhan juga terjadi di ruang dapur. Berbeda hampir seratus enam puluh derajat dari perubahan yang telah disinggung di awal, perubahan aktivitas urusan logistik ini melibatkan seorang wanita; seorang isteri bagi suami dan ibu bagi anak-anak yang berpuasa. Mungkin bagi segelintir orang, itu adalah hal biasa. Tapi tidak bagi kebanyakan keluarga. Mungkin bagi keluarga yang mempekerjakan pengasuh atau pendampingan kerja rumahan, hal itu bisa jadi amat biasa dan tidak istimewa. Tapi tidak demikian bagi keluarga sederhana yang lebih banyak mengandalkan keikhlasan atas keterampilan dua belah tangan seorang wanita.
Dari tangannya yang terbatas, ia bisa menghidangkan karya besar. Menyiapkan makan sahur yang dilakoninya sejak jam setengah tiga pagi. Di sela-sela memasak, ia juga harus berbagi dengan menghibur si kecil yang rewel karena ini dan itu. Kadang ia adalah yang paling akhir menyuap hidangan sahur. Itupun masih harus sambil memangku si kecil yang belum hilang rewelnya.
Usai hajat sahur selesai, pekerjaan beres-beres dan berbenah dari sisa peralatan makan harus dibersihkan dan ditata kembali di tempat semula. Bisa jadi, sang suami dan anak-anak telah berangkat untuk jamaah Shubuh, ia masih setia ngeloni si kecil dan mempersiapkan baju kerja suami dan perlengkapan sekolah anak-anaknya setelah kelonannya tertidur pulas. Meskipun penat dengan segala urusan itu, ia tidak luput bersyukur.
Gilirannya mengambil air wudhu, mengenakan mukena dan khusyu dalam rangkaian mula takbir dan akhir salam. Tangannya tetap menengadah meminta keridhaan dan keikhlasan hati meskipun tangannya menjadi kasar karena menjadi dua kali lebih keras bekerja dan lebih sibuk dari biasanya.
Ketika mukena ditanggalkan, kewajibannya tetaplah bergantung padanya. Pakaian kotor telah memenuhi sudut matanya minta dicuci. Bagi segelintir orang, meskipun mesin elektrik telah tersedia yang dapat mengubah kotor dan bau pesing baju celana menjadi harum bersih, lembut dan licin, ia masih mampu mengupah orang untuk memasukkan saklar aliran listrik dan memencet tombol mesinnya. Mesin bekerja, di sampingnya tuan rumah menunggui sambil membaca koran, menonton televisi atau asyik di layar facebook. Lalu, pakaian kinclong sendiri dan telah siap untuk dilicinkan tanpa harus dijemur matahari kemudian siap pakai. Tapi bagi keluarga amat bersahaja, lagi-lagi pakaian itu hanya disentuh, diperas dan dikucah oleh tangan wanita yang sama. Tapak tangannya tidak terlindung dari alergi deterjen. Maka iritasi kulit menjadi hal biasa, sela-sela jemarinya melepuh, kusam dan terkelupas. Kukunya pun menjadi tidak karuan. Tapi, ia tetaplah wanita sabar, isteri yang salihah dan pendamping yang setia untuk suami dan anak-anaknya. Ditariknya seutas tali di antara dua tiang dan disangkutkan pakaian bersih di atasnya. Lalu diserahkan pada kebaikan alam. Jika matahari berkenan hadir, ia akan kering hari itu. Tetapi jika mendung dan hujan yang datang, ia harus bersabar untuk satu dua hari menunggu kering pakaiannya.
Subhanallah, wanita ini tidak kehabisan energi. Ia masih harus berpikir, apa yang harus ia hidangkan untuk lauk berbuka puasa orang seisi rumah nanti sore. Maka tukang sayur menjadi perburuannya yang lagi-lagi bagi segelintir orang tinggal membuka kulkas atau cukup menyuruh si Mbok pergi ke supermarket untuk memenuhi kebutuhan hari itu atau untuk seminggu ke dapan.
Ketika jam tiga sore menjelang Ashar tiba, kesibukan beralih lagi ke dapur. Lipatan pakaian yang telah kering dipanggang seharian sementara ditinggalkan, untuk selanjutnya dilindas mesin setrika setelah Isya dan Tarawih berlalu. Lagi dan lagi, mengupas, merajang, merebus, menggoreng, memanaskan, menumis sampai semua keperluan yang dirasa cukup untuk berbuka dan makan malam telah tersedia. Hatinya puas dan lega semuanya dapat dilalui. Bertambah puas dan lega menyaksikan suami hingga anak yang terkecil yang baru belajar berpuasa amat menikmati hidangannya. Tinggalah piring dan gelas yang harus kembali disterilkan dan dikembalikan lagi dalam rak pecah belah.
Entahlah, apa karena sebab keihklasan dan predikat salihah yang disandangnya semua pekerjaan itu dapat dibereskannya. Atau di balik itu, ia menyimpan harapan manusiawi untuk dapat menjadi seperti wanita yang segelintir itu, tanpa berpayah-payah memeras tenaga dan keringat hanya untuk urusan logistik rumah tangga. Segelintir wanita yang mungkin mustahil menanggung beban seperti dirinya. Sebab jam setengah tiga pagi nanti ia harus mengulangi lagi rutinitas yang sama untuk sebulan penuh lamanya atau bahkan sepanjang waktu pengabdiannya.
Wahai Engkau wanita pekerja rumah, penat dan letihmu tidak akan sia-sia. Pengabdianmu untuk hidangan berbuka dan sahur bukanlah hal biasa, ia adalah istimewa. Engkau adalah wanita mulia, mujahid logistik di rumah tangga. Kalaulah boleh dianalogikan dengan sebuah riwayat yang dituturkan Sa’ad, engkau lebih pantas menyandangnya saat ini.
Sa’ad bin Mua’dz al-Anshari suatu saat berkisah bahwa ketika Nabi SAW. baru kembali dari perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa’ad yang kasar dan melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengat matahari. “Kenapa tanganmu wahai Sa’ad?”, tanya Nabi. “ Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk memenuhi nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Nabi SAW mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata,” Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Kisah di atas menggambarkan penghargaan Rasulullah kepada pekerja keras yang ulet dan tekun. Kedudukan mereka sangat istimewa yang disebut sebagai orang yang tidak akan tersentuh api neraka karena nilai kerja keras, ulet dan ketekunannya. Tidak tersentuh api neraka berarti akan mendapatkan surga sebagai keberhasilan akhiratnya. Sementara di dunia, pekerja keras yang ulet dan tekun akan memperoleh apa yang dicita-citakannya.
Para suami hendaknya jeli apabila sang isteri adalah pelaku seperti Sa’ad yang berjibaku menghadirkan kegembiraan saat Ramadhan untuk dirinya dan keluarga. Maka, air dan hidangan yang anda nikmati saat berbuka dan sahur adalah bukan sekedar kegembiraan atas jerih payahnya karena disantap lahap. Tetapi juga menjadi tabungan amal soleh yang akan mengantarkannya ke pintu surga Royyan. Sekali lagi, kalaulah boleh dianalogikan riwayat yang menyatakan bahwa memberi lauk untuk berbuka sama pahalanya dengan orang yang berpuasa, maka “berjihad” memproses bahan dasar makanan hingga menjadi hidangan yang siap disantap adalah semoga bagian dari itu.
Para suami wajarlah pula menggantikan posisi Nabi terhadap Sa’ad kala itu. Raihlah tangan isteri kita, cium kedua telapaknya dan iringilah dengan pujian tulus seraya memohon keikhlasannya atas apa yang telah dipersembahkannya. Maka, akan punahlah keletihan dari pundaknya perlahan, bahkan bisa jadi akan ada setitik mutiara halus di pinggir bola matanya yang menitik haru biru, bahagia dan tulus. Selamat mencoba. Semoga Ramadhan menjadi penuh warna dan dinamika panen raya pahala. Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin.

Sumber:Abdul Mutaqin /Eramuslim
90 Langkah Menuju Mushola


Lelaki istimewa itu bernama Didi. Aku biasa memanggilnya pak Didi. Usianya kini sudah berkepala enam. Aku mengenal beliau sudah sekitar tiga tahun, semenjak aktif menjadi jamaah di mushola Baiturrohim. Beliau tinggal bersama keluarganya di RT 04 tak jauh dari mushola, sedang aku tinggal di RT 02. Secara pribadi, aku memang tidak tahu banyak tentang beliau, namun dimataku beliau adalah sosok yang luar biasa. Salah satu ‘keistimewaan’nya telah memberiku semangat sekaligus menyadarkanku akan besarnya nikmat yang telah Allah berikan.
Pertama, beliau ini aktif sholat berjamaah di mushola Baiturrohiim. Beliau selalu menempati tempat yang tetap, di shaft pertama ujung sebelah kiri. Kedua, beliau selalu menjadi jamaah yang pertama hadir untuk sholat Shubuh. Suara merdunyalah yang pertama kali terdengar melantunkan sholawat dari pengeras suara mushola yang terletak di sisi jalan yang memisahkan RT 02 dan RT 04 ini. Dan beliaulah yang lebih sering mengumandangkan azan subuh, baru kemudian yang lain datang, termasuk aku. Hanya itu? Tidak! Pak Didi terasa lebih istimewa, karena beliau kini hanya memiliki empat indera.
Kecelakaan kerja beberapa tahun silam telah membuat indera penglihatan pak Didi tidak berfungsi lagi. Secara fisik, mata beliau tidak mengalami cacat, hanya saja keduanya kini sudah tidak bisa melihat sama sekali. Jika pak Didi selalu menempati tempat favoritnya di shaft pertama sebelah kiri, ini wajar sebab beliau selalu datang dari pintu sebelah kiri, kemudian menyusuri tembok dan akan berhenti ketika tangannya sudah menyentuh tembok depan. Semua jamaah mushola sudah tahu akan hal itu, dan tak pernah ada yang mencoba menempati tempat ‘ekslusif’ Pak Didi.

Saat datang untuk sholat maghrib, aku sering melihat Pak Didi diantar oleh cucu laki-laki dan sesekali oleh cucu perempuannya yang baru berusia belasan tahun. Usai sholat maghrib, pak Didi lebih sering tetap berada ditempatnya, berzikir dan mendengarkan jamaah lain mengaji. Usai sholat isya, biasanya sang istri sudah menunggu di depan pintu mushola.
Lalu, bagaimana cara beliau mendatangi mushola untuk sholat subuh ketika belum satupun jamaah lainnya hadir di mushola ini? Aku tak pernah tahu. Setiap aku tiba di mushola, beliau sudah datang lebih dulu. Justru, seringnya lantunan sholawat beliaulah yang membangunkanku. Setiap kali aku mencoba untuk datang lebih awal, selalu saja beliau sudah lebih dulu berada di dalam mushola.
Aku makin penasaran. Sampai akhirnya, suatu saat aku mendapatkan kesempatan untuk bertanya kepada beliau, siapa yang mengantarnya ke mushola, membangunkan warga sekitar untuk sholat shubuh berjamaah. Diantar cucunya yang masih kecil itukah, atau diantar istrinya yang setia?
Aku terkejut mendengar jawaban pak Didi.
“ Selama ini, untuk sholat subuh saya lebih sering datang ke mushola sendiri, tanpa diantar cucu atau istri. Bukannya mereka tidak mau, tapi memang mau saya begitu. Sebelum subuh, jalanan masih sepi, jadi saya tidak khawatir berpapasan dengan orang-orang yang lalu lalang”
“ Pak Didi tidak takut nabrak, terpeleset atau……..maaf, nyasar misalnya?” dengan hati-hati aku bertanya, takut beliau tersinggung.
“ Insha Allah tidak. Saya sudah mempunyai hitungan sendiri “ beliau menjawab dengan tenang, tanpa menunjukan rasa tersinggung sedikitpun atas pertanyaanku.
“ Maksudnya, hitungan bagaimana Pak?” aku makin penasaran.
Kemudian dengan gamblang beliau menjelaskan ‘rumus’ yang dimilikinya untuk bisa sampai ke mushola ini tanpa nabrak ataupun khawatir terpeleset kedalam selokan yang berada di sisi jalan. Dengan bantuan tongkat kecilnya, beliau berangkat dari rumah sendiri ketika orang-orang ( termasuk aku ) masih lelap dalam tidur. Beliau berjalan dengan mengandalkan ingatan mengenai jalan menuju mushola. ( Kebutaan yang dialami pak Didi memang bukan sejak lahir, tapi karena kecelakaan, jadi beliau masih memiliki gambaran tentang jalan dan juga rumah-rumah yang ada disepanjang jalan menuju mushola.).
Pertama, beliau keluar rumah dan berjalan lurus kurang lebih 10 langkah. Sampai di jalan kecil ber-konblok, beliau belok kiri dan melangkah sekitar 15 langkah. Dengan bantuan tongkatnya, beliau akan memastikan tembok rumah tetangganya, dimana dia harus belok kanan dan melangkah lagi sekitar 10 langkah. Saat berada di jalan ini, tangan kiri beliau akan meraba tembok rumah tersebut, hingga sampai di ujung. Kemudian beliau akan belok kiri dan berjalan lurus kurang lebih 28 langkah. Setelah itu beliau akan berbelok kearah kanan, maju 10 langkah dan mencoba memastikan keberadaan tembok mushola dengan tongkat kecilnya. Setelah berhasil menemukan tembok mushola, beliau kemudian akan terus maju hingga kurang lebih 17 langkah sampai beliau bisa menyentuh pintu mushola.
Begitulah, setiap pagi disaat orang-orang masih banyak yang terlelap, pak Didi sudah lebih dulu datang ke mushola dengan ‘meraba’ jalanan yang gelap. Gelap, benar-benar gelap, bukan karena tak ada lampu tapi karena beliau sudah tak bisa menangkap apapun dengan indera penglihatannya. Aku sering mendapati buktinya. Ketika tiba di mushola, keadaan masih gelap, tak ada lampu yang menyala, padahal pak Didi sudah berada di dalamnya melantunkan sholawat atau mengumandangkan azan. Dan jika ia mampu menggunakan pengeras suara untuk membangunkan warga dengan sholawat dan azan, itu juga ia lakukan dengan cara meraba. Subhanallah!
Aku tertegun mendengar cerita pak Didi. Aku merasa malu, malu dengan diriku sendiri,. Allah telah memberiku anugerah yang sangat besar. Kelima inderaku semua berfungsi dengan sempurna, namun sering kuanggap biasa-biasa saja. Syukur itu seringkali hanya menjadi ucapan bibir semata. Sementara pak Didi, istiqomah mendatangi jamaah sholat shubuh dengan susah payah, bahkan selalu hadir lebih awal, dalam kegelapan yang sebenarnya. Pak Didi mampu mewujudkan syukur itu dalam tindakan nyata. Kebutaan, kegelapan yang kini beliau rasakan, mampu beliau terima sebagai sebuah kenikmatan.
Terima kasih pak Didi. Kisahmu membukakan pintu hidayah bagiku. Ceritamu memberikan semangat untuk selalu datang ke mushola, sholat berjamaah meskipun aku belum bisa mengalahkanmu, karena engkau selalu datang lebih dulu.

Sumber: Nurudin /eramuslim

Kamis, 13 Agustus 2009

Rindu Anak

Tak semua pohon mampu berbuah. Ada yang hanya menawarkan keindahan melalui bunga. Ada yang cuma menghadiahi keteduhan dan kesegaran. Ada juga yang hanya memberikan khasiat mujarab dari akar, batang, atau daunnya. Masalahnya, tak semua manusia seperti mereka.
Di antara buah dari pohon perkawinan adalah anak. Anaklah yang menghias perkawinan menjadi teramat indah. Di situlah ada harapan, tantangan, ujian, bahkan hiburan. Indahnya menatap senyum anak. Dan sedemikian prihatinnya mendapati tangis anak. Senyum dan tangisnya kian membuat ikatan pernikahan menjadi lebih kuat.
“Ah, bahagianya kalau punya anak,” ucap Pak Karno membatin. Bapak usia tiga puluhan ini lagi-lagi menakar harap. Kadang ia sedih karena putus asa. Kadang bangkit ketika mendengar nasihat teman-temannya.
Mungkin, bisa dibilang wajar ia sedih. Entah sudah berapa cara telah ditempuh. Mulai cara medis, terapi alternatif, hingga ramuan tradisional telah dicoba. Tapi, hasilnya belum menggembirakan. Sebelas tahun sudah ia berumah tangga. Selama itu, kesibukan rumah tangganya tak bergeser dari pengobatan buat dapat anak.
Kalau saja anak kandung bisa dibeli, berapa pun akan dibayar Pak Karno. Itulah yang bikin Pak Karno tak peduli soal biaya pengobatan. Entah berapa puluh juta sudah keluar, tapi hasilnya masih nihil. Hari-hari yang paling menggembirakan Pak Karno cuma satu: ketika isterinya telat datang bulan. Sayangnya, bulan tinggal telat, tapi cikal bakal anak tak juga terlihat.
Kalau melihat kesibukan tetangganya di pagi hari, Pak Karno seperti berada di dunia lain. Terlihat dari balik jendela bagaimana tetangganya sibuk mengantar anak-anak ke sekolah. Sementara sang ibu dengan penuh kasih sayang menimang sang bayi. Senyum selamat jalan merekah dari sang isteri ke suami. “Ah, betapa bahagianya mereka,” tak sadar suara lirih mengalir ringan dari bibir Pak Karno.
Entah siapa yang paling mesti dikasihani. Ia atau isterinya. Pak Karno pernah merasa kalau dirinyalah yang paling tersiksa. Ia tak punya keturunan. Ia akan sendiri ketika tua. Dan tak ada satu generasi pun yang akan melanjutkan cita-citanya. Tak ada satu anak pun yang akan dinasabkan atas namanya. Nama Pak Karno akan tenggelam setelah usianya berakhir.
Itulah yang bikin Pak Karno merasa lebih menderita dibanding isterinya. Tapi, perkiraan itu bisa berubah ketika mencermati perasaan isterinya. Mungkin, ia bisa lepas dari kungkungan itu ketika bertemu teman-teman kantor. Bayang-bayang buruk Pak Karno akan menepi sebentar saat kesibukan kantor memburunya. Tapi, gimana dengan isterinya. Pengalihan-pengalihan itu tak dimiliki sang isteri.
Isteri Pak Karno bukan jenis pegawai kantoran. Bukan juga tipe wanita yang begitu terobsesi dengan karir. Ia wanita biasa yang punya cita-cita luar biasa: ingin sukses seratus persen mengelola rumah tangga. Jadi, nggak ada teman lain kecuali Pak Karno. Tak ada tempat mencurahkan rasa kecuali suaminya. Dan, hal itulah yang akhirnya membuat Pak Karno tersadar tentang isterinya. Ia tak lagi heran ketika isterinya mulai aktif di masyarakat.
Dan satu hal yang bikin Pak Karno lebih prihatin pada isterinya: dokter pernah bilang kalau ketidaksuburan ada di isteri. Saat itulah Pak Karno mesti rela menyaksikan isterinya menangis. Kadang Pak Karno harus menerima ketidakstabilan emosi isterinya. Isterinya menjadi lebih perasa. Mudah marah. Dan tak jarang memperlihatkan diri seperti orang yang tak memiliki gairah hidup. Lesu.
Hingga suatu hari, isteri Pak Karno berujar pelan. “Mas mau kawin lagi?” tanya sang isteri tanpa menatap wajah suaminya. Pandangannya tertunduk ke bawah. Ia seperti pasrah. Menerima kenyataan kalau dirinyalah sumber masalah.
Pak Karno tak menjawab. Ia bingung mesti bilang apa. Ia seperti dihadapkan dua masalah sekaligus. Masalah bagaimana mendapatkan anak. Dan, masalah keharmonisan hubungannya dengan isteri. Ia tidak ingin sepinya celoteh dan tangis anak menjadi lebih sepi lagi dengan dinginnya sang isteri terhadap dirinya.
Pak Karno yakin kalau pertanyaan isterinya punya makna lain. Dan makna itulah yang memperlihatkan betapa jika Pak Karno salah langkah, akan kehilangan sesuatu yang selama ini bersamanya: kebersamaan isteri yang begitu setia. Sebuah kebersamaan yang utuh. Bukan cuma fisik, tapi juga rasa dan emosi.
Ia tersadar dengan suatu hal. Sebelas tahun bukan waktu yang sebentar buat terjalinnya dua emosi yang berbeda. Selama itu, tak satu pun sepak terjang isterinya yang tak mengenakkan. Dan selama itu pula, tak pernah terbersit dalam pikiran Pak Karno untuk menyakiti isterinya. Walau cuma dengan wajah cemberut.
Pak Karno terkenang dengan sejarah Islam yang pernah ia baca. Mungkin, seperti itulah perasaan Aisyah terhadap Rasulullah ketika beliau saw. begitu menjaga perasaan isterinya. Apa yang kurang dari Aisyah: cantik, cerdas, salehah, dan begitu taat dengan suami. Hanya satu yang tak mampu diberikan Aisyah buat suami tercintanya: anak. Walaupun perkawinan hampir berjalan sepuluh tahun. Dan walaupun, keduanya adalah hamba-hamba Allah yang teramat saleh. Siapa yang lebih saleh melebihi Rasulullah saw. Tapi, beliau saw. pun harus menerima kenyataan bahwa Aisyah tak bisa memberinya anak.
Sebuah pelajaran menarik untuk ia renungkan. Di satu sisi, ia memang butuh kehadiran anak. Tapi di sisi lain, penghargaan buat orang yang selama ini begitu baik pun harus tetap terawat. Teramat zhalim kalau ia mampu meraih sesuatu dengan mengorbankan rasa orang lain. Terlebih orang lain itu adalah wanita yang telah membuktikan cinta dan kesetiaannya.
Mungkin, masih ada cara lain buat dapat anak. Dan cara itu mesti terlahir dari ungkapan ridha Pak Karno dan isterinya. Pak Karno memang tak mau berputus asa. Tapi, ia pun tak mau memutus asa isterinya. Biarlah sesuatu yang akan ia dapatkan akan terus ia usahakan. Tanpa harus melepas sesuatu yang telah ia pegang. Bersama kesukaran pasti ada kemudahan. “Insya Allah!” tekad Pak Karno bulat.
Memang, tak semua pohon bisa berbuah. Tapi, akan ada buah-buah dalam bentuk lain yang diperlihatkan sang pohon. Hingga, tak sedikit pun keindahan dan keserasian alam terusik dengan ketidakmampuan itu.
Sumber: Muhammad Nuh/Eramuslim
Rahasia Suami
Bahagia dalam keluarga kadang abu-abu. Dari luar terlihat cukup, tapi di dalam justru was-was. Orang boleh mengatakan: di atas langit ada langit. Tapi, di atas gunung bukan ada gunung. Melainkan, jurang.
Hidup berumah tangga memang unik. Satu tambah satu yang selalu dua dalam rumus matematika, tidak begitu di keluarga. Terutama soal cinta suami isteri.
Orang luar boleh-boleh saja menilai tentang kebahagiaan seorang isteri terhadap kelebihan suami dan keluarganya. Betapa tidak; suami ganteng, penghasilan lebih dari cukup, rumah bagus, kendaraan dua. Apalagi? Wajar kalau ada yang iri dengan tampilan luar begitu. Karena hampir semua wanita pasti ingin seperti itu.
Tapi gimana kalau di balik kebahagiaan itu ada was-was. Lho? Soalnya, bukan rahasia lagi kalau setelah ada cukup, pasti ada kurang. Artinya, kelebihan buat isteri kadang bisa menjadi kekurangan buat suami. Isteri boleh bahagia dengan kelebihan yang ada, tapi suami justru jadi merasa kurang ‘tantangan’. Tantangan?
Ada banyak cara yang mungkin dilakukan suami mencari tantangan baru. Di antaranya, membangun rumah baru, menyekolahkan anak keluar negeri, dan ada satu yang biasa dikhawatirkan seorang isteri: kawin lagi. Setidaknya, hal itulah yang kini dirasakan Bu Wiwin.
Ibu tiga anak ini memang patut bersyukur. Jarang muslimah yang bisa hidup sebahagia Bu Wiwin. Punya rumah bagus, kendaraan lebih dari satu, serta suami yang saleh dan ganteng. Kemana pun Bu Wiwin pergi, selalu bertabur hormat dan pujian. Tidak heran jika Bu Wiwin selalu senyum tiap kali ketemu orang. Sapaan dibalas senyuman. Dan senyuman dibalas dengan senyum yang lebih manis lagi. Indahnya!
Begitukah sebenarnya perasaan Bu Wiwin? Ini memang menarik. Tak seorang pun bisa menduga kalau Bu Wiwin sebenarnya gelisah. Ia tidak menihilkan nikmat Allah yang begitu banyak. Tapi, ada perasaan gundah ketika melihat kecukupan itu.
Entah kenapa Bu Wiwin punya perasaan lain kalau ada temannya bertanya soal suaminya. Dalam hal apa pun: pekerjaan, kesukaan, dan lain-lain. Terlebih ketika yang bertanya belum dan atau tidak lagi bersuami. Wah, bisa tidak tidur tiga malam.
“Memangnya Bu Wiwin kenapa?” tanya seorang teman ketika kegelisahan tak lagi bisa disembunyikan. Tak satu pun kata terucap dari Bu Wiwin kecuali untaian senyum.
Sepertinya, Bu Wiwin tidak ingin seorang pun tahu apa masalahnya. Soalnya, ia sendiri bingung mau bilang apa kalau was-wasnya terungkap. Apa yang kurang dari suami Bu Wiwin. Tampang oke, kocek tebal, akhlak jempolan. Semua syarat nyaris terpenuhi. Cuma satu yang masih tersangkut kalau dugaan Bu Wiwin tentang suaminya itu benar: ketidaksetujuannya. Dan itu justru menjatuhkan dirinya sendiri.
Duh, Bu Wiwin benar-benar bingung. Gelisah. Terlebih akhir-akhir ini. Ia menangkap ketidakwajaran suami tercintanya. Entah kenapa, Bu Wiwin merasakan kalau suaminya terlihat sering grogi. Kalau sendirian, suaminya seperti membayangkan sesuatu. Dan, kemudian senyum sendiri. Gila?
“Astaghfirullah!” ucap Bu Wiwin dalam hati. Tidak mungkin suaminya sakit jiwa. Justru, suaminyalah yang dikenal masyarakat sebagai dokter jiwa. Orang-orang yang gelisah akan menemukan mata air ketenangan saat mendengar nasihat suami Bu Wiwin. Lembut, tapi berbobot.
Bu Wiwin khawatir, bayang-bayang yang dianggapnya hitam selama ini terwujud. Ia bukan tidak setuju. Tapi benar-benar tidak kuat kalau suaminya nikah lagi. Berat!
Ia sudah mengantongi alasan kenapa muslimah lebih cepat bersedia menjadi isteri kedua daripada isteri pertama. Alasannya sederhana, tapi agak filosofis. Kalau isteri kedua, dari tidak ada menjadi ada. Tapi buat yang pertama, dari ada menjadi berkurang. Beda kan!
Dan suatu malam, kekhawatirannya kian menjadi. Ketika itu, Bu Wiwin mendapati suaminya menyebut-nyebut nama seorang wanita dalam keadaan tidur. “Mutia! Mutia! Mutia!” Saat itu juga ia terperanjat bukan main. Diingatnya nama itu kuat-kuat. Biarlah hafalannya berkurang asal nama itu tidak menghilang.
Namun, peristiwa itu tetap menjadi rahasia dan misteri. Rahasia karena tak seorang pun yang ia ceritakan. Dan misteri, karena Bu Wiwin belum pernah dengar nama itu kecuali dari mulut suaminya.
“Siapa Mutia?” Bu Wiwin jadi penasaran. Rasa-rasanya, tak ada nama akhwat di daerah tempat tinggalnya. Begitu pun di kantor tempat suaminya bekerja. Apa itu cuma mimpi? Dan penasaran Bu Wiwin kian menjadi ketika di malam yang lain, nama itu kembali disebut-sebut suami.
Bu Wiwin kian yakin kalau suaminya sedang jatuh cinta. Keyakinan itu menjadikan pikiran Bu Wiwin tak bisa konsen. Hatinya gundah. Sesekali ia menangis. Pelan tapi pasti, suara hatinya seperti berujar, “Terimalah kenyataan ini, Win!” Dan tangisnya pun kian menjadi.
Hanya ada satu cara untuk bisa memastikan: keterbukaan. Bu Wiwin sudah membayangkan apa yang akan diucapkan orang tua, kakak, adik, teman, dan tetangganya. Tapi, kenyataan tetap kenyataan. Ia harus mendengar langsung dari suaminya.
“Ayah sedang jatuh cinta?” tanya Bu Wiwin langsung ke suaminya. Walau berat, ia harus dapat kepastian. Yang ditanya tersenyum. “Apa kamu siap menerimanya?” tanya sang suami lebih terbuka. Bu Wiwin mulai menangis. “Silakan ayah ucapkan!” ucapnya sambil terisak.
“Isteriku. Kalau kamu tidak keberatan, aku akan mengangkat anak yatim Aceh sebagai anak kita. Namanya Mutia!” ucap suami Bu Wiwin tenang. “Kamu bersedia?” tanya suaminya seraya menatap sang isteri agak keheranan.
Sumber: Muhammad Nuh/eramuslim
Hasrat Anak
Orang tua buat anak menyimbolkan kekuatan, kebijaksaan, dan arah bahtera keluarga. Bayangkan jika simbol-simbol itu tak tertangkap jelas. Bisa jadi, anak akan mencari sendiri simbol yang pas buat orang tua mereka.
Anak-anak memang punya dunia sendiri yang seolah lepas dari kenyataan. Mereka membayangkan sesuatu menurut selera imajinasi seadanya. Satu kardus besar saja, bisa punya banyak arti. Bisa dianggap rumah, mobil, bahkan kuburan.
Begitu pun dengan sosok ayah dan ibu. Anak-anak biasa menggambarkan keduanya dengan sesuatu yang mampu mereka tangkap. Imajinasi mereka kian jauh ketika ayah dan ibu tergolong makhluk yang jarang melakukan penampakan. Terlebih buat ayah. Saat bangun tidur, ayah sudah tidak ada. Ketika akan tidur, ayah belum juga ada.
Dari kenyataan itu, imajinasi anak berkeliaran. Ada yang membayangkan ayah dan ibu sebagai pencari uang yang gigih. Ada yang menganggap keduanya sebagai aktivis yang super sibuk. Bahkan boleh jadi, ada yang merasa kalau orangtuanya tidak kerasan di rumah. Setidaknya, kesan-kesan itulah yang kerap diperbincangkan Andi dan Nina.
Bocah usia lima dan tujuh tahun ini seperti tak pernah henti mendiskusikan ayah dan ibunya. Sayangnya, peserta diskusi sangat terbatas: cuma dua orang. Walau sudah sering dijawab ibu, soal kesibukan ayah dan ibu masih tetap jadi isu hangat buat mereka.
Ketika ayah dan ibu tak di rumah, Andi menghampiri Nina. “Kak, ngapa sih ayah sama ibu jarang di rumah?” ucap Andi ke Nina. Nina tampak asyik dengan boneka yang terlihat kusam. Warnanya tak lagi jelas: dibilang putih, mulai menghitam. Dibilang hitam, masih ada bekas warna putih. Walau begitu, Nina menggendong sang boneka dengan penuh sayang.
“Kata ibu, ayah sama ibu sibuk cari duit,” jawab Nina enteng. “Emang kita miskin ya, Kak? Kok yang cari duit ayah sama ibu?” Andi mulai menampakkan penasarannya. Ia pandangi wajah kakaknya yang masih ngoceh sendirian dengan susi, si boneka kumal. Pelan, susi direbahkan di atas bantal, layaknya bayi yang akan ditidurkan.
Sesaat kemudian, Nina menoleh ke Andi. “Emang kamu nggak berasa?” tanya Nina agak diplomatis. “Nggak!” jawab Andi menggelengkan kepala. “Masak orang miskin makan soto ayam terus,” kilah Andi lebih memperlihatkan rasa bingungnya.
“Andi, kita tiap hari makan soto ayam karena ibu kerjanya dagang soto ayam. Gitu!” ucap Nina mulai serius. “Baju kita juga bagus. Tidak butut!” kilah Andi lebih diplomatis. “Lha iyalah. Kan ayah dagang baju loakan di emperan jalan. Kalau sisa, kita yang pake’,” jawab sang kakak lebih serius. Tiba-tiba, ia seperti mengingat sesuatu. Gadis kelas dua SD ini pun mengambil sebuah tas. Sebagian kulit tas tampak mulai berkelupas. Sambil bersenandung kecil, ia ambil buku tulis bersampul coklat dari dalam tas. “Ah, hampir lupa. Ada PR,” ucap Nina pelan. Andi tetap memperhatikan tingkah kakaknya.
Ruang berukuran tiga kali tiga meter itu memang serba guna. Bisa buat nonton tivi, nerima tamu, bermain anak, tempat belajar, bahkan transaksi bisnis. Tidak heran jika di ruang itu begitu ‘ramai’. Di pojok kanan ada tumpukan mainan, di pojok kiri ada lemari kaca berisi baju dagangan, ada tivi, dan ada dua gulungan kasur lipat. Ruang tidur?
Rumah Andi dan Nina cuma terdiri dari tiga ruang. Satu ruang serba guna tadi, yang tengah ruang tidur, dan satunya lagi dapur berhimpit kamar mandi. Di ruang terakhir itulah, ibu dua bocah itu memulai aktivitas bisnisnya sejak pukul tiga pagi. Biasanya, Nina dan Andi bangun satu jam kemudian. Mereka bangun bukan karena disuruh oleh ayah ibu mereka. Bukan juga karena kesadaran. Tapi karena bau masakan yang mengurung seisi ruangan tidur. Diawali dengan batuk, memincingkan mata, dan akhirnya terbangun. Sementara, ayah sudah berangkat bersama dagangannya.
Pernah beberapa kali, Nina terbangun karena ingin pipis. Saat itu jam menunjukkan pukul dua pagi. Setelah dari kamar mandi, Nina tak menemukan satu pun orang tuanya. Tidak ayah, tidak juga ibu. Kemana? Saat itu juga, Nina nangis. Mendapati sang kakak nangis, Andi pun ikut nangis. Hampir satu jam mereka nangis bersahut-sahutan.
Tangis Nina dan Andi baru berhenti setelah ayah dan ibu pulang. Saat itulah Nina paham kalau ayah ibunya keluar rumah untuk belanja. Beli sayuran, ayam potong, bumbu, dan lain-lain. Semua merupakan bahan baku membuat soto ayam. Sayangnya, Nina dan Andi tak bisa ikut ibu mendorong gerobak membawa dagangan. Pasalnya, mereka harus pergi ke sekolah, sekitar seratus meter dari rumah.
Sejak itulah mereka berpisah. Ayah sejak pukul empat sudah keluar. Dan ibu pergi berdagang saat Nina dan Andi ke sekolah. Dua bocah ini pun mesti berpisah. Nina ke SD. Sementara Andi masih TK. Tapi masih bersebelahan dengan sekolah Nina. Biasanya, Nina dan Andi pulang bareng. Kalau pun tidak, salah satu mesti menunggu. Ngapain sendirian di rumah!
Setelah perpisahan itu, ibu pulang sekitar jam tiga siang. Nina dan Andi senang bisa bantu mendorong gerobak dagangan ibu ketika tiba di pengkolan dekat rumah. “Asyik ibu pulang!” teriak Andi dan Nina hampir bersamaan. Hampir tiap hari kejadian itu berulang. Sayangnya, Andi dan Nina tidak bisa bantu membawa dagangan ayah. Karena mereka lebih dulu tidur sebelum sang ayah pulang.
“Bapak pulang! Bapak pulang!” teriak anak tetangga. Suara tawa riang pun mulai terdengar. Andi memperhatikan itu dari balik jendela depan rumah. Pikirannya menerawang. Enak kali ya ketemu ayah tiap hari. Bisa meluk ayah, digendong ayah. Tapi…, Andi seperti mengingat sesuatu.
“Kak, ayah sama ibu kasihan, ya!” ucap Andi sambil menoleh ke Nina. Sang kakak tampak masih serius dengan PR-nya. “Kasihan kenapa?” ujar Nina sekenanya.
Andi pun mendekati Nina. “Kak, kasihan ayah kepanasan kehujanan cari uang buat kita. Kasihan juga ibu. Capek-capek dagang buat kita,” ucap Andi menunggu reaksi sang kakak. Nina menoleh ke Andi. Dengan lembut, ia berujar, “Andi, masih banyak orang yang lebih kasihan dari kita!”
Sumber: Muhammad Nuh / eramuslim
Bayang-bayang Suami

Ada syair daerah yang sering dinyanyikan anak-anak Betawi: jamblang sepet, jambu manis. Abang ngumpet, Mbak Ayu nangis. Horee! Tapi, gimana jika justru Mbak Ayulah yang selalu ngumpet. Menangiskah Si Abang?
Pernikahan memang salah satu pintu keberkahan. Segala sesuatu tanpa terasa tumbuh dan berkembang. Yang sebelumnya tidak boleh, dengan pernikahan bukan sekadar boleh, tapi berpahala. Yang sebelumnya tidak ada, sudah mulai banyak. Ada anak-anak, rumah berserta perabot, kendaraan, dan tentu saja status diri yang mulai dianggap masyarakat.
Dari sekian buah keberkahan yang selalu bertambah, ada akar keberkahan yang tidak boleh kering. Apalagi mati. Itulah cinta suami isteri yang ternaung dalam cinta Yang Maha Pencinta, Allah swt.
Mungkin, ada perbedaan latar belakang budaya. Ada juga masalah suku, selera, daya tangkap hati, dan seputar kebiasaan masa lajang. Dari cintalah segala perbedaan tadi terjembatani. Tapi, dari cinta pula kekhawatiran bisa muncul berlebihan. Setidaknya, rasa itulah yang sempat dialami Pak Udin.
Bapak tiga anak ini boleh dibilang suami yang beruntung. Betapa tidak, ia dapat anugerah Allah berupa isteri salehah, cantik, lembut, sabar, dan pintar masak. Sebuah deretan kriteria yang sangat diidam-idamkan banyak calon suami. Dan yang paling membuat Pak Udin merasa beruntung, semua anugerah Allah itu ia peroleh sebagai berkah karena aktif di pengajian.
Pria asli Betawi ini sulit membayangkan kalau ia tidak ikut pengajian. Mungkin, sampai tua pun sosok isteri dengan kriteria yang ada pada isterinya itu cuma jadi khayalan. Apalagi modal luar yang dimiliki Pak Udin kurang meyakinkan. Wajah pas-pasan, modal dana tak bisa dibanggakan. Sekali lagi, Pak Udin memang mesti banyak bersyukur. Dan salah satu bentuk syukurnya itu, ia sangat sayang pada isterinya.
Kadang, di tengah rasa sayangnya itu, Pak Udin merasa bingung. Pasalnya, tiap kali datang proses melahirkan, ia seperti dihadapkan pada bayang-bayang kematian. Rasanya, ia seperti dihadapkan dengan sebuah pertukaran: dapat anak, hilang isteri.
Kegelisahan ini mungkin bisa dibilang wajar. Karena tiap kali menghadapi kehamilan, isterinya mengalami sakit lumayan parah: muntah, lemas, hilang nafsu makan, dan pusing. Itu bisa berlangsung hingga tiga bulan. Yang lebih parah di saat-saat menjelang kelahiran. Proses kelahiran yang dialami isteri Pak Udin begitu sulit. Itulah kenapa di tiga kali kelahiran selalu berujung pada operasi sesar.
Pak Udin masih ingat betul kegelisahan yang pernah ia alami di kelahiran anak pertama. Pada tiga bulan pertama, ia menatap isteri tercintanya yang tak lagi punya daya. Ia seperti sedang menghadapi seseorang yang sakit parah. Bahkan mungkin, koma. Bayangkan, ia cuma bisa berkomunikasi dengan isteri lewat mata. Mulut isterinya seperti terkunci, tangannya terkulai lemas, tubuh tak bisa apa-apa kecuali terbaring. “Ah, mungkin ini hari-hari terakhir bisa bersama isteri,” ujarnya dalam hati. Pak Udin menangis.
Baru beberapa bulan isterinya sembuh, saat-saat kelahiran juga membuat Pak Udin deg-degan. Ia sadar betul kalau melahirkan punya risiko kematian. Lagi-lagi, Pak Udin gelisah. Yang paling miris adalah ucapan sang isteri ketika keputusan operasi sudah diambil. “Bang, kalau Allah berkehendak lain, tolong jaga anak kita!” ucap sang isteri dengan logat jawa.
Dalam proses penantian itu, seribu satu masalah mondar-mandir di kepala Pak Udin. “Saya akan jadi duda,” batinnya mulai berbisik. Sesaat kemudian, ia pun istighfar. Ia baca berbagai dzikir agar hatinya bisa stabil. Tapi, lamunan buruknya kembali berulang. Seperti ada suara-suara yang terus berbisik. Kalau kamu duda, siapa yang akan mengurus bayi, siapa yang akan memberi semangat kalau ada masalah, siapa yang akan membuat nasi goreng jamur. Dan satu lagi, siapa yang mau sama ente?
Bayang-bayang tidak enak itulah lagi-lagi kini dirasakan Pak Udin. Urusannya bukan soal melahirkan. Itu sudah bagian masa lalu. Karena isterinya diminta dokter untuk tidak lagi melahirkan dengan alasan kesehatan. Ia kini bingung karena tidak sempat mengantar isteri pulang kampung. Ada kabar mendadak, bapak mertuanya di jawa timur sakit keras. Isteri Pak Udin diminta pulang.
Sebenarnya, ingin sekali Pak Udin mengantar sang isteri hingga ke rumah mertua. Tapi, urusan kantornya masih menumpuk. Dan anak-anak belum libur. Hanya bisa mengantar ke stasiun, Pak Udin melepas isteri tercintanya pulang kampung. Mudah-mudahan selamat!
Ada kabar buruk. Sebuah kereta menuju Jawa Timur mengalami kecelakaan. Beberapa gerbong keluar jalur. Dan sepuluh penumpang dinyatakan tewas. Siapa? Pak Udin memburu berita. Ia menemukan nama Tuti. Tapi tidak jelas Tuti apa. Cuma Tuti. Sementara nama isterinya Tuti Anisa. Tanpa hitung-hitung urusan kantor, Pak Udin langsung berangkat ke Jawa Timur.
Firasatnya makin tidak enak ketika setiba di gang rumah mertuanya, ia menemukan beberapa bendera kuning dari kertas. Langkahnya tiba-tiba melemas. Dadanya bergemuruh. “Isteriku...,” suara batin Pak Udin spontan. Air mata mulai menggenang di kedua matanya.
Rumah mertua Pak Udin mulai terlihat. Beberapa orang berkerumun. Di antara mereka tampak menangis. Pak Udin tak kuat lagi melangkah. Ia terkulai lemas di sebuah rumah. Seseorang menghampiri. “Udin?” suara orang itu. “Paman...!” jawab Pak Udin nyaris tak bersuara. Kedua lelaki itu pun menangis. “Sabar ya, Din. Sabar! Semua sudah kehendak Allah!” suara Paman di sela tangis dan dekapannya pada Pak Udin.
“Saya tidak nyangka, Paman. Dengan cara ini saya berpisah dengan Tuti,” ucap Pak Udin sambil terisak. “Tuti?” ucap Paman agak kaget. “Memang Tuti kenapa, Din?” ucap sang paman menatap Pak Udin. Dan Pak Udin pun ikut kaget.
“Astaghfirullah. Yang meninggal itu bapak mertuamu. Isterimu ada di dalam!” terang sang Paman sambil menggeleng.
“Alhamdulillah!” sambut Pak Udin gembira. “Apa?” tanya sang Paman cepat. “Eh, maaf. Maksud saya, inna lillah!” ucap Pak Udin dengan tak lagi bisa menyembunyikan bahagianya.
Sumber: Muhammad Nuh/Eramuslim