Rabu, 28 Oktober 2009

Saat Istri Enggan...

Sore itu, saya datang ke rumahnya. Wajahnya tampak lesu. Tidak seperti biasanya, semangat hidup yang selama ini terpancar dari raut mukanya seakan mulai redup. Saya mencoba untuk menelusuri apa yang tengah terjadi pada dirinya.
Ia bercerita, "Akhir-akhir ini, rumah tangga kami kurang harmonis, saya mudah terpancing emosi. Itu bermula sejak beberapa waktu yang lalu, saat istri saya menolak 'keinginan' saya. Jiwa saya tidak bisa tenang, hati saya selalu resah dan berbagai pikiran jelek berkecamuk dalam otak saya..."
Ia berhenti sejenak, menghela nafasnya. Kemudian ia melanjutkan, "Apakah Arif pernah mengalami seperti yang saya rasakan?"
Saya hanya tersenyum, "Alhamdulillah, sejak menikah sampai saat ini, rumah tangga kami akur dan segala persoalan dapat kami atasi dengan baik," jawab saya datar.
"Arif beruntung, dikarunia seorang istri yang solihah dan sangat pengertian, beda dengan saya yang harus banyak sabar..."
"Ah, biasa saja akhi, namanya hidup, kita tak lepas dari masalah, barangkali saat ini ujian kehidupan yang menimpa kami masih belum sekuat akhi, mudah-mudahan saja, kami bisa tetap harmonis selamanya". Iapun turut mengamini doa saya.
Ia kembali bertanya, "Apa rahasianya akhi, untuk bisa hidup tentram, bahagia dan harmonis?"
"Saya belum tahu banyak, hanya saja saya pernah membaca, bahwa dengan selalu menjalankan perintah Allah swt, dan menghidupkan suasana agama di dalam rumah, rumah akan terasa tentram dan hubungan antar keluarga akan harmonis", jawab saya seadanya.
Itulah sepenggal kisah seorang sahabat saya, yang telah menikah sejak tiga tahun yang lalu. Kisah yang barangkali juga dialami sebagian pasangan suami-istri. Diantara mereka ada yang dapat bersikap bijak dan lapang dada, dan tak sedikit yang larut dalam emosi dan mencari pelampiasan pada yang haram, nau`zubillahi mindzalik!
Keharmonisan rumah tangga merupakan harapan pasangan suami-istri. Hidup yang selalu dihiasi dengan kata-kata cinta, belaian kasih sayang, pelukan kemesraan dan kecupan- kecupan rindu. Hidup yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah. Betapa ketentraman, dan ketenangan itu selalu menjadi sumber kekuatan untuk menyapa hari, mendaki puncak prestasi dan melewati berbagai rintangan hidup.
Namun, kehidupan di dunia butuh proses. Semua yang kita inginkan tidak bisa didapatkan begitu saja. Ia perlu usaha, kerja keras dan doa yang tak pernah henti.
Membina sebuah rumah tangga yang bahagia, tentram dan damai, butuh kesabaran dan kelapangan hati. Banyak hal yang barangkali kita temukan dari pasangan yang kita sendiri belum bisa menerimanya. Tapi, jika hal itu dapat kita atasi dengan bijaksana, ia akan menjadi sarana untuk saling berbagi dan melengkapi.
Seseorang pernah bercerita pada istri saya, bahwa ia butuh waktu 5 tahun untuk menyesuaikan diri, saling memahami dan pengertian antara dirinya dan suaminya. Waktu yang cukup lama memang. Tapi itulah proses yang mesti dijalani, dan ketika proses itu sanggup dilewati maka kebahagiaan pun bersemi indah.
Penolakan istri terhadap 'keinginan' suami mungkin berat untuk dirasa oleh suami. Disaat keinginannya harus dipenuhi, disaat ia butuh belaian cinta dan kemesraan, istri seolah tidak peduli. Dalam keadaan demikian, seorang suami tidak boleh bersikap egois, gegabah dan emosi. Tidak hanya mementingkan kehendaknya saja, tanpa mencoba mengetahui alasan dan memperdulikan kondisi serta keadaan istri.
Ada 2 faktor yang bisa kita ketahui. Pertama faktor zahir yaitu jasmani. Dan kedua adalah faktor batin, yaitu hati dan pikiran. Dalam hal faktor jasmani, barangkali istri sedang tidak sehat, kondisi tubuhnya lagi capek, setelah seharian bekerja, sehingga membuatnya kurang bersemangat memenuhi ajakan suami.
Sedangkan dalam hal faktor batin, barangkali istri sedang mengalami ketidak tenangan hati, karena banyak beban pikiran dan masalah atau karena hal lainnya.
Suami pun perlu me-muhasabahi dirinya. Barangkali selama ini ada hak istri yang tidak terpenuhi, janji-janji yang tidak ditepati, berbuat salah, melukai perasaan istri, istri jarang disayang, selalu di-cuekin, suami terlalu sibuk dengan kerja di luar rumah, suami egois, tidak perhatian, tidak pernah membantu kerja istri mengurus rumah, anak, dan lainnya.
Maka sebagai solusi terhadap faktor pertama; suami harus pengertian, lapang hati dan sabar, memaafkan sikap istri, dan memahami kondisi istri. Dan faktor kedua; dekati istri, berbicara dari hati ke hati, pada saat yang tepat, seperti usai baca al-Qur`an, setelah shalat, ketika hati dan pikiran lagi tenang, ajak dengan penuh cinta dan kasih sayang dan perhatian tulus. Berikan pengajaran yang baik pada istri, jika ia salah dan keliru, sampaikan dengan penuh hikmah dan mau`izhah hasanah.
Dan jika penyebabnya berasal dari suami, maka minta maaflah pada istri, berjanjilah padanya untuk tidak mengulangi lagi kesalahan itu, memperbanyak kebaikan setelah itu, beri istri hadiah, ajak ia jalan-jalan, dan lainnya.
Dengan demikian seorang suami harus bisa berpikiran positif, selalu berbaik sangka dan berlapang hati. Tidak berpikiran jelek dan cepat berburuk sangka pada istri. Hendaknya suami dapat bersabar dan bertanya secara baik-baik.
Menghidupkan nuansa dan suasana agama di dalam rumah merupakan diantara faktor tentram dan damainya suasana di rumah. Hal itu dapat dilakukan dengan merutinkan setiap hari shalat malam, shalat fardhu tepat waktu, membaca azkar pagi dan petang, membaca dan mentadabburi al-Qur`an. Mempelajari buku-buku agama, seperti buku tafsir, hadits, aqidah, fiqh, sirah Rasulullah saw, para sahabat-sahabat beliau, dan seterusnya. Jika suasana agama hidup dalam rumah tangga, bisa dipastikan, insya Allah rumah itu akan senantiasa dinaungi rahmat Allah swt, dikunjungi malaikat dan dijauhi setan.
Nah, hal ini patut untuk dievaluasi bersama, dengan keterbukaan hati dan kelapangan dada serta kejernihan fikiran. Seorang suami adalah imam bagi istrinya. Ia harus menjadi teladan dalam setiap hal. Ketika istri melihat suami begitu giat beribadah, istri akan terpacu untuk mengikuti. Disamping itu, sehendaknya seorang suami meluangkan waktunya setiap hari untuk membimbing istrinya ajaran-ajaran agama, membacakan padanya buku-buku tafsir, hadits, aqidah, akhlak, dan lainnya.
Hal itu haruslah dilakukan dengan penuh cinta dan kasih sayang, perhatian yang tulus dan secara istiqamah. Kesalahan istri diluruskan dengan cara yang bijak dan lembut dan kekeliruan istri diperbaiki dengan belaian cinta dan kasih sayang.
Sehingga dengan itu, hati istri akan terpanggil untuk merubah prilakunya yang selama ini salah dan mungkin menyimpang.
Pada akhirnya, setiap orang dari suami dan istri harus selalu mentajdid (memperbaharui) niat, apa sesunggguhnya niat untuk menikah dahulu, apa harapan dan cita-cita yang ingin diwujudkan dari pernikahan itu. Juga memperkuat keimanan, selalu bertaqarrub pada Allah, karena ketika kita dekat dengan Allah swt, hati akan baik, dengan baiknya hati, akan baiklah kata-kata, sikap, buah pikiran, pribadi, akhlak, dan pergaulan dengan manusia.
Dan juga harus saling mengingatkan akan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Menghilangkan sikap ego, selalu berpikiran jenih, berbaik sangka, mudah memaafkan, dan senantiasa berdoa kepada Allah swt.
Barangkali sidang pembaca belum puas dengan apa yang saya tuliskan, saya menyarankan anda untuk (lebih mendalam) membaca buku-buku yang berkenaan dengan pembahasan di atas. Apa yang saya tulis hanyalah sekelumit dari ilmu, pengalaman dan nasehat berharga yang saya dapatkan dari orang lain. Semakin anda membaca, mengamati dan mendengarkan pengalaman-pengalaman berharga dari orang lain, akan banyak nilai positif dan solusi yang akan anda dapatkan.
Semoga kebahagiaan selalu menemani hari-hari kita. Amin
Salam cinta dari Kairo

Sumber: M. Arif As-Salman / eramuslim

Selasa, 27 Oktober 2009

Pensiun dari Facebook

Awal September 2009.Telepon Jamal bordering, terdengar suara istrinya diseberang sana.“Papa, Rastri udah ngelahirin, bayinya cowok. Ga jadi cesar, karena menurut dokter bisa normal” telepon Jasmine ke suaminya Jamal.“Alhamdulillah, akhirnya lahir dengan normal” jawab Jamal mengingat adik bungsunya Rastri yang kesulitan dalam proses persalinan. Buru-buru dia menelpon adiknya Rastri untuk menanyakan kabarnya dan kesehatan bayinya.“Hai, Rastri aku kirimin dong foto baby-mu?” Tanya Jamal via telepon ke adiknya itu.“Aku udah upload di facebook. Bisa dicheck statusku” jawab Rastri ke abangnya*****************************************Oalah, Jamal demam facebook juga. Dulu pernah istrinya Jamal membuka account friendster untuk pertemanan, namun Jamal tidak menyukainya. Alasannya, tidak ada gunanya dan membuka peluang pertemanan dengan cowok lain. Pokoknya bisa jadi akan timbul gejolak di hati yang bisa menjadi fitnah!*****************************************Begini awalnya. Januari 2009. Jamal bertemu teman lama di SMA. Dari temannya ini, Jamal tahu bahwa teman-teman SMA berkumpul di ajang facebook. Mereka berdua berhaha-hihi menanyakan kabar teman-temannya yang lain. Ujung-ujungnya, si kawan lama ini minta Jamal gabung dengan grup alumni SMA di facebook. Biar gaul, alasan kawan tersebut!Jadilah Jamal berkutak-katik bagaimana caranya gabung ke facebook. Beli blackberry nggak mungkin. Akhirnya ketemu juga settingan GPSR di hape Nokia-nya, biar bisa akses internet. Jadi juga Jamal “main” facebook. Ketemu banyak teman SMP, SMA, kuliah dan teman-teman kantor di pelosok daerah. Gak pandang bulu, cowok ataupun cewek. Hati Jamal sedikit gundah, dia merasa mengkhianati istrinya. Dulu dia melarang istrinya maen friendster, eh sekarang malah Jamal kegilaan facebook. Ah, ini kan Cuma pertemanan biasa, kata hati Jamal yang lain. Dari melihat update status dan comment status kawan-kawan di facebook, Jamal mulai melihat foto-foto kawanya yang perempuan atau foto istri-istri kawannya. Hati Jamal berdesir, ah ini kan tidak boleh. Tapi ini khan buat pertemanan, lagian tidak ada niatan apa-apa koq, hibur hati Jamal yang lain.***************************************Pertengahan September 2009. Klik, Jamal mengunci pintu rumah. Jamal melepas sepatu dan bergegas ke meja makan. Maklum belum makan malam, kena macet di jalan. Istrinya Jasmine menyiapkan makan malam.“Papa, tadi Rastri sms-an sama aku” cerita Jasmine“Oh ya, bagaimana kabar Rastri?” Tanya Jamal sambil mengambil piring.“ Kabar baik, katanya anaknya mirip ama Rastri” jawab Jasmine. “ Mirip Rastri ya, pasti matanya besar” cetus Jamal.“Papa gak usah pura-pura deh. Bukannya Papa yang bilang begitu di comment statusnya Rastri. Papa mainan facebook khan” serang Jasmine.Jamal terdiam. Sebuah vonis dijatuhkan. Satu sisi dia bersyukur bisa sembuh dari kemunafikan. Sisi lain dia tidak tahan melihat Jasmine bersedih dan tubuhnya bergetar.“Papa dulu khan melarang Mama ikut friendster. Alasannya karena banyak mudharatnya, sekarang malah Papa mainan facebook. Papa sudah menodai kepercayaan Mama pada Papa” tangis Rastri.“Tapi ini khan gak ada apa-apa Ma” elak Jamal.“Bagaimana tidak ada apa-apa, bukannya setiap komentar ada foto-fotonya. Kalo ada foto teman Papa yang wanita, apa Papa merasa nyaman melihat wanita bukan muhrim. Bukankah hati kita mudah tergoda untuk melihat lawan jenis” jelas Jasmine. “Iya, Ma. Papa salah. Mohon dimaafkan” jawab Jamal.“Jangan karena takut sama manusia Pa. Takutlah kepada Allah akan dosa zina mata dan hati” saran Jasmine sambil menangis. “Pokoknya Papa harus tutup itu facebook, kecuali kalau sama Rastri ya boleh saja berkomunikan. Mama ikhlas dunia akhirat hanya itu saja. Terus copot itu foto Papa, bikin wanita lain tergoda juga. Istighfar Pa” pinta Jasmine. “Bukannya Papa bilang ih, amit-amit, facebook khan bikinan Yahudi. Kenapa sekarang Papa lupa semua itu.” Kata JasmineJamal lirih “ Astaghfirullahal azhim. Ya Ma, besok Papa akan hapus pertemanan dengan kawan-kawan lain”. Jamal terdiam, lidahnya kelu, matanya menangisi dirinya yang bodoh selama 9 bulan terakhir ini.Betapa banyak waktu tersia-siakan untuk update status dan baca komentar status “yang nggak penting banget” atau status “saru” dari kawan-kawannya. Betapa sering mata melihat foto-foto teman wanitanya di facebook. Hati Jamal sempat berdesir, ah cantik juga ya sekarang. Beda sama Jasmine ya. Nah, setan mulai menggodanya untuk menjadi teman dari temannya di facebook itu. Tidak, saya harus berhenti dan bertaubat dari kegilaan ini, tekad Jamal. Biarin saja dibilang nggak gaul, yang penting agama saya selamat dan rumah tangga utuh.*****************************************"Telah ditulis bagi setiap bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara qalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan (merealisasikan) hal itu atau mendustakannya". [HR. Al-Bukhoriy (5889) dari Ibnu Abbas, dan Muslim (2657) dari Abu Hurairah]*****************************************Akhir September 2009. Update status. Jamal : “MOHON MAAF REKAN-REKAN, KALAU ADA SALAH KATA. MAU PAMITAN DARI facebook”. Dhes, Jamal menghapus semua pertemanan di facebook. Juga men-delete foto profilnya. Jamal pensiun dari facebook yang diminatinya 9 bulan terakhir. Hal-hal yang mungkin bisa menyelamatkan agamanya dan menghindarkannya dari zina mata-zina hati dan fitnah yang lebih besar. Kapan Anda pension?(inspirasi dari curhat teman)

Sumber: Anandita /Eramuslim
Televisi, Musuhku

Hari ini, sekian bulan sudah kami tidak menyetel tv. Antenanya kami cabut. Alhamdulillah anak-anak sudah terbiasa dengan keadaan tsb, walau pada awalnya susah, tapi lama-lama akhirnya terbiasa. Oya, program ini sudah 2 tahun kami coba, dan kali ini adalah interval yang paling lama - 2 bulan lebih. Kami pun, orang tua, mulai terbiasa. Mudah-mudahan ALLAH memberi kepada kami keistiqomahan untuk tetap teguh pada keputusan ini; tak ada tv di rumah, sampai acara tv melepaskan diri dari kontent maksiat, menunjang cita-cita kami; keluarga qurani.
Kami selalu berdoa agar ALLAH menghindarkan kami sekeluarga dari tv dan pengaruh buruknya, menjauhkan kami dari tv sejauh-jauhnya, sejauh timur dan barat. Kami amat khawatir jika tidak teguh denga pendirian ini, karena membawa tv ke dalam rumah adalah bencana. Bencana dunia dan akhirat.
------TV amatlah merusak. Sinetron yang mempertontonkan aurat perempuan; buah dada, rambut, leher, pundak, perut, paha, betis dll. Lalu iklan yang mempertontonkan hal yang sama di atas. Bahkan acara talkshow, berita dan acara informasi 'baik & berkualitas' yang semisal pun tak lepas dari tontonan aurat. Pembawa berita yang cantik, bibir seksi, rambut terurai, bahkan buah dada yang menonjol plus betis yang mulus. Mau kemana kita? kemana pun kita ubah channel tv kita, pasti kita akan menemukan hal-hal rusak tsb.
Belum lagi acara yang memang sengaja dikemas untuk memancing syahwat yang hostnya berpakaian seksi, tamunya perempuan-perempuan berpakaian seksi, obrolannya pun sengaja diarahkan kepada hal-hal yang seks, belum lagi kalau tamunya disuruh menyanyi, lalu bergoyang-goyang... sungguh sebuah bencana!
Juga film-filmnya, yang ini tak usah dibahas kerusakannya-karena pasti rusak. Siapa yang tidak setuju dengan ini, berarti otaknya telah rusak.
Ceramah agama? Acara ini memang mendatangkan manfaat, tapi setelah itu? kita akan disuguhkan dengan iklan yang merusak. 15 menit siraman ruhani, terhapus dengan tayangan iklan sabun atau shampoo.... mana tahannn.
Rumah menjadi seperti diskotik. Hingar-bingar. Kadang berisik dengan dialog,lalu senyap sebentar, setelah itu berisik dengan musik-musik iklan. Brang-breng-brang-breng, lalu berganti dengan yang lain. Rumah tidak membawa ketenangan, berisik, sempit sekali kesempatan untuk mengingat ALLAH, untuk merenung, karena hati kita telah dirampok oleh tv.
Belum lagi acara musik yang berisi lagu-lagu yang menyimpangkan kaum muslimin dari cita-cita mulia, syair-syair maksiat & cengeng, menyeru pada dunia, melupakan jihad, belum lagi penampilan mereka yang memalukan, gaya yang tak sesuai dengan nilai islami dll.
Kita bisa mengontrol tv?Ada yang bilang, tak semua acara tv rusak, masih ada manfaat yang bisa diambil. Memang betul. Tapi bagaimana mengambilnya? Apakah setiap saat kita memegang remote untuk menghindar dari pengaruh buruk tv? setiap saat kita memegang remote untuk mencari-cari acara yang bermanfaat? setiap saat kita memejamkan mata dari gambar-gambar yang merusak?
Apakah setiap saat kita mendampingi anak-anak kita? setiap saat kita menceramahi mereka sambil menonton tv, yang ini tidak boleh-yang itu boleh? Bukankah kita pasti keluar dari rumah, bekerja, dan mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan kita? bagaimana ketika anak-anak tak ada yang mendampingi?
Apakah kita bisa mengontrol tayangan iklan yang merusak? kita bisa memilih iklan apa saja yang ditayangkan untuk acara tertentu? atau kita bisa memprediksi iklan apa saja setelah itu? bagaimana saat di tengah acara tertentu lalu tiba-tiba datang iklan film india yang biasanya penampilan artis perempuannya mengundang nafsu syahwati? nehi, nehi... aca, aca...
Mengontrol, malah dikontrolKalaupun niat awalnya adalah untuk mengontrol, lama-lama kita yang dikontrol. Kita menjadi ketagihan dengan acara tv. Niat awal untuk mengambil manfaat, lama-lama tertarik dengan acara yang lain; lawak, ketawa-tawa, haha-hihi, lama-lama hati kita menjadi keras karena canda-tawa, lihat-lihat acara musik sedikit, lihat sinetron sedikit, "untuk memantau" katanya, lama-lama malah nonton film. Yang tadinya membatasi film yang 'biasa' menjadi film yang 'tak biasa', lalu film romantis, walah....
Ingat pribahasa "dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati". Niat awal hanya memilih yang baik-baik, lama-lama kecantol dengan yang sedikit tidak baik, lalu keterusan ke yang tidak baik. Itulah hati, ibarat perut, dari makan 1/2 piring, lalu 3/4 piring, meningkat 1 piring, lama-lama nambah...itulah tipu daya syaitan.
Hati menjadi gelisah. Satu hari tak melihat tv menjadi tidak tenang. Selalu cari alasan untuk menyetel tv. "Mau cari berita" katanya, padahal kalo ditelisik kepada hati yang lebih dalam adalah karena ingin memenuhi syahwat.
Hasbunallah wani'mal wakil, ternyata susah sekali mengontrol tv. Kita, jika ingin mengambil manfaat tv, ibarat ingin mengambil sebutir beras yang tertimbun di dalam tumpukan kotoran sapi. Tak bisa tidak, pasti terkena kotorannya. Daripada repot membersihkan tangan, mending tak usah diambil sama sekali. Ingatlah akan sebuah kaidah ushul fiqih: "menghindar dari keburukan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat". Cari media lain; koran, internet, radio - yang relatif lebih bisa dikontrol.
Rumah, benteng pertahanan terakhirRumah adalah benteng pertahanan kita. Setelah satu hari berkutat bekerja di luar rumah plus kemaksiatan yang banyak sekali, kita pulang ke rumah dengan harapan ia melindungi kita dari segala kemaksiatan. Tapi apa yang kita dapati di rumah? tv siap mengajak kita untuk bermaksiat kembali. Bukannya berkurang intensitas kemaksiatan, malah bertambah...tragis.
Tak ada ruang untuk istirahat dari maksiat. Di luar rumah kita bermaksiat, pulang ke rumah bermaksiat lagi. Padahal kita sering berdoa : "waj'alil mauta rohatan lana minkulli syarr (Jadikan ya ALLAH kematian kami sebagai istirahat dari segala keburukan)"
Ternyata benteng terakhir kita, telah jebol. Rumah kita, yang seharusnya menjadi tempat kontemplasi, merenung, tempat kita mendidik anak-anak kita, tempat mentarbiyah diri dan keluarga kita telah dimasuki oleh berhala baru, sumber maksiat baru, rumah kita telah berubah menjadi sarang maksiat, la haula walaa quwwata illa billah...
Cita-cita kita adalah menjadikan keluarga kita menjadi keluarga qurani, keluarga yang selalu berinteraksi dengan alquran, keluarga yang menjadi imam bagi orang-orang bertaqwa "waj'alna lil muttaqiina imaama (jadikan kami imam orang-orang bertaqwa)". Tapi bagaimana caranya jika pagi, siang, sore, malam selalu disuguhkan dengan acara-acara tv? kapan kita dan mereka belajar membaca alquran? kapan menghafal alquran? kapan mempelajari arti perkalimat dari alquran? kapan mempelajari hadist nabi yang mulia? menghafalnya? belajar fiqh? apakah setelah nonton lawak? atau setelah menonton gadis seksi? apa bisa mencampur alhaq dengan batil? "wala talbisul haqqa bil baatil - janganlah mencampur alhaq dengan albatil"
Anak-anak menjadi susah diatur, menjadi tidak disiplin dalam belajar, tidak disiplin belajar dan membaca alquran. Selalu cari alasan untuk mengundur-undur waktu. Setelah film kartun inilah, setelah acara inilah, nonton lawakan itu dululah dll. Fikiran mereka menjadi tidak fokus, secara tidak sengaja kita telah mengajarkan diri kita dan mereka untuk cinta kepada dunia, menjadi hamba dunia, diri kita menjadi lengket pada dunia (maa lakum idza qiila lakum infiru fi sabilillahi ats-tsaaqoltum ilal ardh? kenapa jika diperintahkan kepada kamu berperanglah di jalan ALLAH, kamu 'lengket' pada dunia?) diri kita tidak bisa 'terbang' ke langit menuju angkasa bebas, bebas mencintai ALLAH dan RasulNya, cinta kepada jihad. Kepala kita penuh dengan acara-acara televisi, tak ada lagi informasi mengenai almuslimun almustadhafun, kepada kaum muslimin yang tertindas di afghan, iraq, palestina, kaukasus, dll.
Hati ini tidak lagi indah. Tidak indah dengan muhasabah, dengan jihad, kerinduan syahid di jalan ALLAH, kebencian kepada musuh - malah kita satu barisan dengan musuh karena gandrung dengan produk mereka, nonton film mereka, suka dengan tokoh-tokoh mereka, tertawa bersama mereka.
Malam kita tidak lagi menjadi malam yang indah, malam penuh dengan kesenyapan, meresapi keheningan bersama ALLAH sebelum tidur, karena suara-suara tv selalu memanggil-manggil, malam kita tidak lagi seperti malamnya orang shalih, yang hanya diisi oleh suara senyap, tapi berganti dengan suara-suara yang menyimpangkan dari mengingat ALLAH - "waminannas man yattakhidzu lahwal hadist liyudhilla 'an sabilillah (dan diantara manusia itu ada yang membuat/mengambil suara-suara yang menyesatkan dari jalan ALLAH)"
Tidur kita menjadi tidur setelah maksiat, tidur setelah menonton acara syahwati, minimal setelah menonton pembawa acara / pembaca berita yang cantik, hati bergemuruh, tak tenang, mata kita yang terpejam diiringi dengan kelebatan gambar-gambar yang telah kita tonton sebelumnya, membuat syaithan lebih mudah untuk mengikat kita di tempat tidur, susah untuk bangun qiyamul lail maupun sholat subuh di masjid dan tilawah alquran setelahnya. Bangun tidur kita menjadi bangun tidur yang penuh dengan penyesalan, sesal karena telah bermaksiat yang menyebabkan kemaksiatan baru.
Lalu kita berazam untuk tidak terjebak lagi pada kesalahan itu, tetapi peristiwa itu berulang lagi, dan lagi, dan lagi.... Kenapa? karena berhala itu masih ada di rumah kita, ia masih hidup dan mampu menyihir kita, sedikit demi sedikit. Lain halnya jika kita ambil tindakan tegas : cabut antena!
-------
Menyingkirlah dari dunia, walau sebentar.Ada sebuah perkataan dari seorang sahabat yang mulia kepada sahabatnya yang juga mulia karena mereka adalah para sahabat-sahabat mulia dari seorang nabi yang teramat mulia - shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu Abdullah bin Rawahah kepada Abu Darda : "Akhi, ta'nul nu'minu sa'ah (marilah saudaraku kita beriman sebentar)" atau mu'adz bin jabal yang berkata kepada para sahabatnya "ijlis bina nu'minu sa'ah (duduklah bersama kami, kita beriman sejenak)". Menyingkirlah dari tv, menyingkirlah dari dunia, walau sebentar.
Ghuraba-un hakadzal ahraru fi dun-yal abiid (ghuraba, beginilah kami membebaskan diri dari penghambaan kepada dunia)....(nasyid ghuraba)
Ya ALLAH jauhkan kami dari tv, dari keburukannya, hindarkan kami dari tv, jauhkan kami sejauh-jauhnya, jauhkan kami sejauh timur dan barat, berikan kami keteguhan atas sikap ini, jauhkan kami dari kerinduan terhadapnya, berikan kami pengganti yang lebih baik dan lebih menyelamatkan dunia dan akhirat kami.
Allahumma ij'alil hayata ziyadatan lana fi kulli khaiir (Jadikan ya ALLAH kehidupan kami sebagai sarana menambah segala kebaikan), amiin.

Sumber: Yudian Budianto / Eramuslim

Minggu, 25 Oktober 2009

Tobatnya Shahabat Anshar yang Melihat Wanita Mandi

Betapa generasi shalafus shalih telah melahirkan orang-orang yang terbaik di zamannya, yang sangat sulit akan ditemukan di zaman ini. Seperti diriwayatkan dari jabir bin Abdullah al Anshari radhiyallahu anhu: “Ada seorang pemuda Anshar masuk Islam, bernama Tsa’labah bin Abdurrahman”, ucapnya. Pemuda itu sangat senang dapat melayani Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Suatu ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk suatu keperluan, maka pemuda itu melewati sebuah pintu rumah lelaki Anshar, dan pemuda itu melihat seorang wanita Anshar sedang mandi. Lalu, pemuda yang bernama Tsa’labah itu, takut kalau Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan memberitahukan tentang perbuatannya, maka ia pun lari sekencang-kencangnya menuju gunung-gunung yang ada antara Mekah dan Madinah untuk bersembunyi.
Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, kehilangan Tsa’labah selama empat puluh hari, maka turunlah Jibril alaihis sallam kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan mengatakan, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu mengirimkan salam dan berfirman kepadamu , “Sesungguhnya ada seorang lekaki dari umatmu telah berada di gunung-gunung ini memohon perlindungan kepada-Ku”.
Maka, Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda, “Wahai Umar dan Salman carilah Tsa’labah bin Abdurrahman dan bawalah ia kepadaku”. Selanjutnya, Umar bersama dengan Salman berjalan keluar dari jalan-jalan Madinah, dan bertemu dengan seorang pengembala di Madinah bernama Dzufafah, dan Umar bertanya kepadanya, “Apakah kamu tahu seorang pemuda yang berada di gunung ini, namnya Tsa’labah?”. Dzufafah menjawab, “Barangkali maksudmu adalah lelaki yang lari dari neraka jahanam?”. Umar bertanya, “Apakah yang kamu maksudkan bahwa ia lari dari neraka jahanam?”.
Dzufafah menjawab, “Karena, jika di waktu malam telah tiba, maka ia datang kepada kami dari tengah gunung-gunung ini dengan meletakkan tangannya diatas kepalanya sambil berteriak, “Wahai, seandainya, Engkau cabut nyawaku, dan Engkau matikan tubuhku, dan tidak membiarkan untuk menunggu keputusan takdir-Mu”. Dan, Umar menjawab, “Dialah lelaki yang kami maksudkan”, ucapnya. Kemudian, Umar datang kepadanya dan mendekapnya, dan Tsa’labah bekata, “Wahai Umar. Apakah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, tahu tentang dosaku?”. Umar menjawab, “ Saya tidak tahu, hanya kemarin beliau menyebutmu, lalu menyuruhku dengan Salman mencarimu”. Tsa’labah berkata, “Wahai Umar, janganlah engkau bawa aku kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali beliau sedang shalat. Maka, Umar segera kedalam barisan shalat bersama dengan Salman. Dan, ketika Tsa’labah mendengar bacaan Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam jatuh pingsan.
Ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah salam, Beliau bersabda, “Wahai Umar, wahai Salman apa yang dilakukan Tsa’labah?”. Keduanya menjawab, “Ini dia Rasulullah”. Kemudian, Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri menggerak-gerakan badan Tsa’labah, dan membangunkannya”. Lalu, Rasulullah bertanya, “Mengapa engkau menghilang dariku?”. “Dosaku sangat besar, wahai Rasulullah”, ucap Tsa’labah. Dan, Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda, “Tidakkah aku pernah tunjukkan kepadamu ayat yang menerangkan penghapusan dosa dan kesalahan”. “Ya, wahai Rasulullah”, jawab Tsa’labah. Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda, “Bacalah”. “ …Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka”. (al-Baqarah : 201).
Tsa’labah berkata, “Wahai Rasulullah, dosaku sangat besar”. Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bahkan firman Allahlah yang paling besar”. Kemudian, beliau menyuruhnya pulang ke rumahnya. Sejak itu, Tsa’labah sakit selama delapan hari, kemudian datang Salman kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata, “Wahai Rasulullah, sudah tahukah engkau berita tentang Tsa’labah? Sesungguhnya, ia sedang sakit keras, karena perasaan dosanya”. “Marilah kita menjenguknya”, ucap Rasulullah.
Sesudah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai di rumah Tsa’labah, meletakkan kepala Tsa’labah diantas pangkuannya. Tetapi, setiap kepalanya diletakkan dipangkuan Rasulullah, selalu Tsa’labah menggesernya. “Kenapa kamu geserkan kepalamu dari pangkuanku?”, tanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Kapalaku penuh dengan dosa, wahai Rasulullah”, jawab Tsa’labah. Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya , “Apakah yang kamu lakukan?”, tanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Seperti rayap dan semut berada diantara tulang, daging dan kulitku”, jawab Tsa’labah. “Apakah yang kamu senangi?”, tanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Ampunan Tuhanku”, jawab Tsa’labah.
Kemudian, Jabir berkata, “Ketika itu turunlah Jibril Alaihisallam, mengatakan, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu mengirimkan salam padamu, dan berfirman, “JIka hamba-Ku ini menemui-Ku dengan dosa sejengkal tanah, maka Aku akan menemui dengan sejengkal ampunan”. Ketika itu, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam memberitahu Tsa’labah, dan seketika itu, Shahabat Tsa’labat menjerit, karena senang, dan kemudian meninggal.
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, menyuruh para Shahabat lainnya,memandikan dan mengkafaninya. Ketika, beliau meshalatinya, belaiu datang berjalan dengan merangkak. Ketika dimakamkan, beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, kami melihatmu berjalan merangkak”. Kemudian, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi Allah yang telah mengutusku sebagai Nabi dengan haq, aku tidak bisa meletakkan kakiku diatas bumi, karena banyaknya malaikat yang turun mengantarkan jenazah Tsa’labah”. Wallahu’alam.

Sumber: Mashadi / Eramuslim
Dia Berhaji Dengan Berjalan Kaki

Sebuah kisah yang sangat mengharukan. Mengharukan bagi siapa saja, yang masih memiliki setetes iman. Hanya setetes iman, itu sudah cukup untuk memahami perubahan kehidupan yang terjadi. Peristiwa yang penuh dengan keniscayaan.
Adalah Abdul Hamid bin Muhammad mendengar Muhammad bin As-Sammak berkisah, “Sesungguhnya Musa bin Sulaiman Al-Hasyimi adalah anak muda paling kaya, dibandingkan dengan saudara-saudara lainnya. Dia selalu mengikuti hawa nafsunya untuk menikmati berbagai macam kelezatan, dalam makanan, minuman, pakaian, wewangian, dan dayang-dayang yang cantik. Sulaiman, tak pernah lepas dari pikirannya, bagaimana menikmati kelezatan hidup.
Musa merupakan pemuda yang tampan, wajahnya bulat seperti rembulan, jernih, putih kemerah-merehan, dan rambutnya hitam legam, hidungnya mancung, matanya bercelak sangat hitam dan lebar, seperti mata kijang, dan mampu menyihir orang yang memandangnya. Kelopaknya tinggi, kedua alisnya sejajar, bagaikan dilukis dengan pensil alis, mulutnya mungil, kedua bibirnya tipis, gigi seri putih cemerlang, lisahnnya fasih, bicaranya manis, suaranya lembut, dan memang dia mendapatkan nikmat dari Allah yang sempurna.
Penghasilannya dari perkebunan dan ladangnya setiap tahunnya berkisar tiga juga dirham. Semua kinikmatan ini berlanjut, tanpa pernah putus, sehingga membuatnya terpesona akan dirinya sendiri. Masa mudanya dan dunianya yang dapat memenuhi semua yang yang diinginkannya.
Musa mempuyai balkon yang tinggi tempat dia duduk di waktu sore sambil mengawasi orang-orang dibawahnya. Balkon itu mempunyai beberapa pintu yang menghubungkan jalan raya dan beberapa pintu yang menghubungkan ke perkebunannya. Selain itu, dipasang kubah gading gajah yang dibubut dan dilapisi dengan perak dan emas, lalu ditutup dengan kain tenun berwarna hijau dan dilapisi dengan kain sutera yang halus.
Dari atas kubah itu, digantungkan rantai yang diuntai dari permata dan intan, serta disinari dengan batu yakut merah, batu zabarjad (sejenis zamrud) hijau dan batu akik berwarna kuning. Masing-masing permata itu sebesar buah kenari. Pada masing-masing pintu diberi tenda yang ditenun dengn benang emas, dan di sekitar kubah itu diletakkan tiga puluh lilin yang dipasang di tiga puluh tempat lilin yang terbuat dari perak.
Sedangkan berat masing-masing lilin perak itu senilai seribu dirham,dan di setiap lima tempat lilin perak terdapat seorang pelayan yang berdiri memegang pemotong dari emas seberat seratus miskal. Para pelayan itu memakai pakaian warna-warni dan ikat pinggang yang ditaburi dengan batu permata. Di setiap pintu bagianlluar dari jendela digantungkan lampu-lampu yang diikat dengan rantai dari perak dan minyaknya terbuat dari air raksa murni.
Musa berada diatas tempat tidur memakai pakaian dalam yang ditenun garis-garis, kepalanya dihiasi dengan mahkota. Dia ditemani oleh beberapa orang kerabatnya, dan tempat pembakar dupa dipasang untuk mendatangkan asap yang harum. Di dekat kepala berdiri para pelayan yang memegang kipas dan tempat air, para penyanyi wanita berada di depannya, sambil menyanyikan lagu-lagu, yang meninakbobokkannya.
Tak pernah ketinggal dayang-dayang yang sangat cantik, tak beranjak dari tempat tidurnya. Dia terus bermain dengan teman-temannya, tak pernah melaksanakan shalat. Menikmati permainannya dengan dadu, dan minum-minum, tak sedikitpun mengingat kamatian, dan sepanjang hari, siang dan malam, hanyalah tertawa-tawa, penuh dengan kegembiraan, sambil mendengarkan cerita-cerita yang lucu, terkadang konyol.
Suatu ketika Musa ditengah malam, dia mendengarkan suara yang aneh, lalu menyuruh pembantunya mencari suara itu. Suara itu mampu menggelitik hatinya. Diatas kubahnya itu, Musa melihat keluar, dan ingin mendengarkan suara-suara yang menyentuh hatinya itu. Ternyata suara itu datang dari pemuda yang kumal, bernama Kamal, yang badannya kurus, berleher kecil, berkaki kuning, bibirnya kering, rambutnya acak-acakan, perutnya menempel ke punggungnya kempis kurang makan, memakai dua helai pakaian yang sudah usang dan tidak memakai alas kaki.
Pemuda kumal itu berdiri pada salah satu sisi masjid sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka para pelajan Musa mengeluarkan dari masjid, dan membawanya pergi tanpa mengatakan apapun kepadanya sampai dihadapan Musa. Maka, Musa memandangnya, seraya berakata, ‘Siapa ini?”, tanyanya. “Pemilik alunan suara yang anda dengar tadi”, jawab pelayan. “Di mana kalian menemukannya?”, tanya Musa “Di masjid sedang berdiri bersembahyang dan membaca do’a”, jawab pelayan itu. Kemudian, Musa bertanya kepada pemuda itu, “Wahai pemuda, apa yang kau baca?”, tanya Musa. “Perdengarkan aku dengan suara alunanmu”, kata Musa.
Maka pemuda itu mengalunkan suaranya, “Sesungguhnya, orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga), mereka (duduk) diatas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minuman khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya adalah kesturi, danuntuk yang demikian itu hendaknya orangt berlomba-lomba. Dan, campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah”. (Al-Qur’an :88 ;22-28)
Kemudian, pemuda yang kurus dan lusuh itu berkata, “Wahai orang yang terlena, sesungguhnya kenikmatan surga itu berbeda dengan kediaman, balkon dan pembaringanmu itu. Sesungguhnya pembaringan di surga itu adalah dipan-dipan yan digelari dengan permadani yang terangkat tinggi terbang”, ucap pemuda itu. Selanjutnya, pemuda itu menambahkannya, “Wali (kekasih) allah akan memperoleh kehormatan dari surga itu atas dua mata air yang mengalir dari dua surga”, tambahnya.
Mendengar alunan suara (ayat-ayat al-Qur’an) itu, lalu Musa memeluk pemuda yang kurus dan lusuh itu, sambil terus menangis yang tiada henti-hentinya. Besok paginya ia melaksanakan tobatnya. Musa al-Hasyimi terus di masjid, sambil beribadah, tiada putus menangis, menyesali dirinya yang penuh dengan dosa dan maksiat, serta tak pernah mengingat Rabbnya. “Wahai Tuhanku, aku tidak pernah mempertahikan-Mu dalam kesunyianku. Wahai Tuhanku, syahwatku telah tiada dan tinggallah kini pertanggungjawabanku. Mak neraka Wail bagiku pada hari aku bertemu dengan Mu, nereka Wail karena hari-hari ku penuh dengan kejahatan dan kesalah-salahan”, tangisnya.
Keesokan harinya seluruh harta bendanya, yang dia miliki dijual, berupa emas, perak, permata, pakaiannya, perkebunan, ladang, serta budak-budaknya yang cantik-cantik, semuanya dijualnya, dan hasilnya disedekahkan seluruhnya kepada fakir miskin.
Lalu, diakhir hidupnya yang sudah miskin itu, ia pergi haji dengan berjalan kaki, tanpa alas kaki, berjalan kaki menelusuri padang pasir yang panas terik, sebagai bagian dari penebus dosanya. Ia pergi ke Makkah, hanya berjalan kaki, tanpa alas. Sungguh, tak ada bandingnya penyesalan atas dosanya itu. Sampailah Musa di kota Makkah. Dan, setiap hari ia hanya beribadah dan memohon ampun kepada Allah Azza Wa Jalla, sambil mengilingi Ka’bah. Di waktu malam ia terus mengelilingi Ka'bah, dan masuk ke Ijir Ismail, seraya mengucapkan tobatnya :
“Ya Rabb, Engkau mengetahui segala perbuatanku. Ya Rabb, kepada siapakah aku lari, kecuali hanya kepada Mu. Dan, kepada siapakah aku berlindung, kecuali hanya kepada Mu. Ya Rabb, sesungguhnya aku memang tidak layak mendapatkan surga Mu, namun aku memohon dengan kedermawanan Mu dan kemuliaan Mu, agar sudilah Engkau mengasihiku dan memaafkanku”, tangis Musa. Sambil ia terduduk di depan Ka’bah.
Wajahnya penuh dengan kerut, seakan sudah sangat tua, dan hidupnya selalu dipenuhi dengan kepedihan mengingat dosa di waktu muda itu. Di saat munajatnya, yang dengan hati yang tulus itu, Musa al-Hasyimi kembali kepada Rabbnya. Wallahu ‘alam.

Sumber: Mashadi /Eramuslim
Karena Aku Memang Sudah Berkeluarga

Aku baru saja masuk kantor usai sholat Zhuhur di Masjid ketika hp di sakuku berdering. Kuperiksa hp ku, ternyata dari salah seorang teman sekolahku dulu , sebut saja namanya Heru. Saat itu dia sedang berada di warnet, da kebetulan menemukan blog ku hingga kemudian ingin ngobrol denganku. Cukup lama kami tak bertemu, mungkin hampir setahun. Ya, benar hampir setahun. Aku ingat pertemuan terakhirku dengannya, saat menghadiri undangan pernikahan Andri bulan Haji tahun lalu.
Setelah saling menanyakan kabar, kami mulai ngobrol soal blog. Kebetulan kami sama-sama memiliki blog, bedanya dia sudah mulai lebih dulu sedang aku baru belajar bahkan belum sempat memberi tahu dia perihal blogku. Beberapa masukan dan sedikit kritikan dengan lancar dia berikan, dan semuanya aku dengarkan dengan baik. Maklum, dibanding aku, dia lebih dulu mengenal dunia maya, dan tentunya dunia blog seperti yang sedang kami bicarakan.
Dari sekian saran dan masukan yang dia berikan, ada satu yang aku tak sejalan. Dia mengkritik soal profil dan headshot ku yang menurutnya terlalu polos. Menurutnya, profil dan photoku, selain kurang menguntungkan, menurutnya juga membahayakan.“ Memang mestinya gimana ?” aku belum pahan dengan yang dia maksudkan.
“ Ya, di dunia maya tidaklah semuanya harus di isi dengan jujur. Status perkawiannmu misalnya, kamu kan bisa mencantumkan status lajang di situ. Parahnya kamu malah menulis polos banget, sudah gitu kamu perparah lagi dengan photo kamu bersama anakmu” jawabnya bersemangat.
“ Salah dimananya, kan aku menulis apa adanya. Aku sudah mempunyai istri, dan satu orang anak. Photo yang kupasangpun photo aku dan anakku, masa iya aku pasang photomu ? “ jawabku sambil tertawa, mencoba membuat suasana lebih santai.
Panjang lebar temanku ini kemudian bercerita tentang segala kemungkinan yang bisa terjadi melalui dunia maya. Aku pikir dia bakal menceritakan kejadian-kejadian buruk yang berawal dari dunia internet. Tapi ternyata tebakanku salah, dia tidak menasihatiku dengan kemungkinan buruk dari sebuah blog, tapi menurutku malah dia yang berniat tidak baik melalui dunia maya ini.
“ Kalau kita mengaku lajang, akan banyak teman yang kita dapatkan. Dan, kita bisa lebih leluasa mencari kenalan “ kali ini dia yang tertawa.
“ Astaghfirulloh ………..! “ reflek aku menggelengkan kepala dan mengusap dada, seakan-akan temanku sedang duduk tepat di depanku, melihatku tak setuju dengan semua argumentasinya. Rupanya sahabatku yang satu ini masih belum berubah sifatnya. Dari dulu dia memang kukenal sebagai lelaki yang luas wawasan dan pergaulan, namun sayang seringkali kuanggap salah mengartikan sebuah pertemanan.
Aku baru paham, mengapa dia mengomentari profil juga photo yang kupasang diblogku. Rupanya pilihanku pada sebuah photo diriku bersama putri tunggalku yang menjadi penyebabnya. Dan ini berbeda prinsip denganku. Aku memang pernah membaca beberapa kejadian negatif yang terjadi berawal dari photo yang dipajang di internet, tapi toh tidak semuanya, tergantung materi foto dan juga tujuan publikasinya. Dan kalaupun saya memajang photo aku dengan anak atau istri, aku merasa tidak berlebihan karena memang aku sudah berkeluarga, memiliki istri dan seorang anak.
Soal teman atau sahabat, mungkin saja ada yang menjaga jarak dengan kita yang sudah berkeluarga, dan bagiku itu tidak masalah. Sebuah persahabatan ataupun sekedar pertemanan, menurutku tidak bisa dan tidak boleh dipaksakan. Prinsipku, sebisa mungkin aku berlaku jujur dan apa adanya, tentang bagaimana pendapat orang lain, apakah mereka mau berteman denganku atau justru menghindar lantaran status perkawinan dianggap sebagai penghalang, jelas aku tak bisa memaksakan dan tak mau menyalahkan. Menurutku, mudah saja menebak jenis pertemanan atau persahabatan seperti apa yang diinginkan, dan untuk mendapatkan teman tak perlu aku harus memalsukan status, mengaku masih bujangan dengan memajang photo jaman dulu yang masih imut atau bahkan memakai gambar orang lain. Bagiku melakukan semua itu adalah sebuah penghianatan terhadap keluarga, terhadap istri dan anak. Insya Allah, aku tak mungkin melakukan hal itu apalagi hanya untuk hal kecil seperti ini.
“ Halo…” teriakan sahabatku ini membuyarkan lamunanku.
“ Satu lagi, nama yang kau pakai itu lho, keliatannya kamu tuh udah tua banget! “ ia masih terus meledekku. Kudengar dia terpingkal-pingkal di seberang sana.
Aku hanya tersenyum, aku sama sekali tidak marah, tersinggungpun tidak. Aku tahu persis sifat humor dan kebiasaan sahabatku yang kini sudah memiliki dua orang anak ini. Kami memang akrab, sewaktu sekolah kami teman dekat. Kami memang terlihat kompak, tapi sebenarnya tidak dalam segala hal. Seperti contohnya masalah di dunia maya, dia lebih suka mencitrakan dirinya sebagai lelaki lajang, sedang aku dengan lugunya mengaku sebagai seorang suami yang sudah mempunyai satu anak. Tak apalah itu urusan dia, aku tak menuduhnya melakukan penghianatan, tapi bagiku, keluarga, istri dan anakku adalah salah satu anugerah terindah yang telah Allah berikan kepadaku. Mereka keluargaku, mereka amanah bagiku. Mereka kini bagian dari hidupku, tak mungkin aku menganggap mereka tidak ada hanya untuk kepentinganku. Aku bangga mengakui mereka, dan aku akan berusaha untuk tidak melakukan penghianatan sekecil apapun dan dalam bentuk bagaimanapun terhadap mereka.

Sumber: Nurudin / eramuslim

Kamis, 22 Oktober 2009

Tidur Isteri

Tidur merupakan anugerah Allah yang sangat mahal. Dari nikmat itulah, tubuh kembali segar, pikiran pun lancar. Tapi tidak semua tidur sebagai obat manjur. Karena ada tidur yang membuat keharmonisan luntur.
Keluarga memang tempat aman untuk buka rahasia diri. Nyaris, tak ada lagi rahasia pribadi yang terus tersimpan sesama anggota keluarga. Yang pelit terlihat pelit. Yang ramah teruji ramah. Yang malas pun begitu. Semua warna pribadi menjadi tampak jelas dalam kehidupan keluarga.
Itulah mungkin kenapa Rasulullah saw. melarang suami menceritakan keadaan isterinya ke orang lain. Dan begitu pun sebaliknya. Biarlah dinding rumah menjadi penutup aurat anggota keluarga. Buat selama-lamanya.
Menariknya, ketika bangunan keluarga masih seumur jagung. Masing-masing pihak, belum paham seperti apa rahasia diri pasangannya. Pelitkah, rewelkah, penakutkah, manjakah, boroskah? Dan sebagainya. Saat itulah, suami atau isteri coba-coba menyelami kekurangan pasangannya.
Tentu saja, kekurangan bukan untuk dijatuhkan. Karena manusia mana yang hidup tanpa kekurangan. Itulah batu ujian, agar keluarga bisa menapaki anak-anak tangga keharmonisan. Setidaknya, hal itulah yang kini dirasakan Pak Juned.
Pemuda usia dua puluh empat tahun ini sedang memasuki masa pengantin baru. Sebulan sudah, hari bersejarah akad nikahnya berlalu. Masih terasa degup jantungnya ketika itu. Bingung, grogi, penasaran jadi satu. Kini, ia sedang menelusuri dunia lain yang belum pernah ia alami. Apalagi rasakan.
Salah satu yang ia rasakan saat ini adalah bagaimana mengenal sisi lain orang yang tiba-tiba tinggal sekamar dengannya. Orang yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ia kenal. Kadang Juned mengangguk pelan karena ada yang baru ia pahami. Sering juga bingung.
Salah satu yang kerap membuat bingung Juned bukan karena isterinya rewel. Bukan juga pelit. Apalagi pemarah. Semua sifat buruk itu nyaris tak ada. Tapi, ada hal yang sulit dimengerti Juned. Isterinya punya dua sifat berlawanan dalam tidur: gampang di saat akan tidur, sulit ketika akan bangun.
Memang, sifat itu sama sekali tidak menyalahi akhlak Islam. Sungguh anugerah Allah yang luar biasa ketika seseorang bisa tidur dengan cara mudah. Tapi, kok ini mudah banget. Tidak boleh ada angin bertiup sepoi-sepoi, ada tempat buat sandaran kepala, cahaya redup; dan tidur pun datang membawa lelap. Tak kenal siang, apalagi malam.
Itulah sebabnya, Juned belum berani memboncengki isterinya dengan sepeda motor berjarak di atas dua puluh kilometer. Takut ketiduran. Kecuali di hari panas, atau di jalan yang belum beraspal. Mudah tidurnya bisa sedikit tertahan.
Buat sifat yang pertama mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi, yang kedua itu agak merepotkan. Dan di sinilah, kesabaran Juned mesti terus diuji.
Suatu kali, beberapa hari setelah habis masa cuti nikah, Juned pulang agak larut. Arlojinya menunjuk angka dua belasan. Dengan lembut, ia mengetuk pintu depan rumah kontrakannya. ”Assalamu’alaikum!” ucap Juned pelan. Tapi, kok nggak ada reaksi. Suasana rumah tampak masih belum ada tanda-tanda kehidupan. Sepi!
Ia ketuk lagi pintu agak keras. “Assalamu’alaikum!” suaranya berbeda dengan yang pertama. Tapi, respon tetap tak berubah. Hingga beberapa kali ia ulangi langkah satu dan dua, suasana mulai berubah. Akhirnya ada reaksi. Sayangnya, reaksi bukan datang dari dalam rumah. Tapi, dari sekitar rumah. Beberapa tetangga Juned terbangun dan keluar rumah. “Baru pulang, Pak!” ucap mereka agak menyindir. Tidak ada yang bisa dilakukan Juned kecuali senyum yang agak dipaksakan. “Maaf jadi terbangun,” ucapnya ramah.
Diam-diam, Juned memutar ke arah samping rumah. Persis di dekat lubang angin jendela kamarnya, ia berdiam diri. Mungkin, dari tempat itu suaranya bisa didengar sang isteri. “Assalamu’alaikum! Abang, Yang! Assalamu’alaikum!!” ucapnya hati-hati. Tapi, tetap belum ada reaksi.
Saat itulah, Juned teringat dengan akhlak Rasul. Beliau saw. memilih tidur di halaman ketimbang menyusahkan isterinya yang tertidur pulas. “Ah, kenapa aku tidak memilih cara itu,” batin Juned berbisik datar. Ia pun kembali ke halaman depan.
Dengan hati-hati, Juned menggeser rak sepatu, besi penjemur pakaian, dan dua kursi plastiknya. Setelah yakin lantai yang ia pilih tidak basah bekas siraman hujan, ia susun beberapa lembar kertas koran yang sempat mampir di tas kantornya. Dan, Juned pun mulai merebah.
Matanya mulai dipejamkan. Mulutnya pun berujar pelan, “Bismikallahumma ahya, wa....” Plak! Belum sempat doa tidurnya terucap rampung, beberapa nyamuk sudah menyerbu. Juned pun sibuk menangkal serbuan itu.
Posisi tubuhnya tidak lagi merebah. Tapi, duduk bersila. Sementara, nyamuk-nyamuk tak kenal kompromi, apakah Juned sedang mencontoh Rasul atau tidak. “Ya Allah, ternyata perbuatan Rasul itu tidak mudah. Sulit!” ucap Juned sambil mencoba berdiri.
Ia kembali ke tempat persis di sisi jendela kamarnya. “Yang, Abang pulang! Assalamu’alaikum!” ucap Juned agak mengeras. “Yang, Abang, Yang!” Tapi, suasana tetap tak berubah.
Juned seperti mencari-cari sesuatu. Ia kumpulkan beberapa koin limaratus rupiahan dari saku celananya. Sesaat kemudian, tangan kanannya melempar koin demi koin melalui celah lubang angin kedalam kamar. Klotak! Klotak! Hingga....
“Bismillah!” suara Juned sambil beraksi di koin keempat. “Aduh!” terdengar suara halus dari balik kamar. “Siapa, ya?” ucap sang isteri agak parau. “Abang, Yang. Abang. Assalamu’alaikum!” sahut Juned spontan. Dan, pintu depan pun mulai dibukakan seseorang.
sumber:Muhammad Nuh/eramuslim
Belajar Menantu

Menjadi ibu kadang mirip petani dengan tanamannya. Tiap saat, petani disibukkan dengan tumbuhkembang tanaman: membersihkan yang kotor, membasahi yang kering, dan meluruskan yang bengkok. Repotnya, jika seorang petani tidak paham mana yang bengkok dan mana yang lurus.
Ibu adalah sekolah buat anak-anaknya. Itulah ungkapan nasihat yang terkhususkan buat seorang ibu. Dari para ibulah, anak-anak bisa tumbuh lengkap dan sempurna: jasmani dan ruhani.
Namun, akan lain jika justru ibulah yang banyak belajar dari anaknya. Semakin ia ingin tahu sesuatu, kian dekat ia dengan anaknya. Anak menjadi tempat bertanya dan bertanya. Setidaknya, hal itulah yang kini dialami Bu Wati.
Ibu usia lima puluhan tahun ini termasuk mereka yang beruntung. Walau sudah ditinggal suami, ia masih punya satu buah hati tempat menumpahkan rasa sayang. Bisa berbagi rasa dan ilmu. Bahkan, gadis Bu Wati pun kini sudah jadi sarjana.
Awalnya memang berat. Bu Wati harus menyekolahkan gadisnya seorang diri. Ia tidak peduli harus jadi kuli cuci, dagang gorengan; asal anaknya bisa terus sekolah. Dan perjuangan itu kini hampir berakhir. Anak gadis Bu Wati sudah mandiri.
Ada satu hal yang selalu disyukuri Bu Wati. Gadisnya bukan hanya pintar, tapi juga salehah. Itu terlihat dari busana muslimah yang tidak pernah lepas kalau anaknya keluar rumah. Padahal, Bu Wati tidak pernah ngajari soal itu. Bahkan, dirinya pun baru dua bulan lalu mengenakan jilbab. Dan itu pun karena arahan dari anaknya.
Tapi, Bu Wati masih belum tenang. Masih ada satu amanah lagi yang harus ia tunaikan. Anak semata wayangnya belum menikah. Ia kadang heran kenapa. Nyaris tak ada yang kurang dari gadisnya: cantik, pintar, salehah, sarjana, dan mandiri. Kalau ia tanya soal itu ke anaknya, jawaban yang didengar selalu sama, “Belum Allah pertemukan, Mak!”
“Lha, gimana bisa datang tuh jodoh, kalau nggak usaha,” batin Bu Wati tak terdengar. Ia tidak berani berdebat dengan anaknya. Karena ujungnya selalu sama: kalah. Ia cuma bisa berdoa semoga anaknya cepat dapat jodoh. Ketika seorang tetangga menanyakan kriteria pemuda yang cocok buat anaknya, Bu Wati hanya bilang, “Siapa saja, yang penting ikhwan!” Sebenarnya, itulah jawaban yang selalu didengar Bu Wati dari anaknya.
Benar saja. Akhirnya, anaknya bilang, “Mak, insya Allah akan ada yang datang berkenalan sama Emak!” Ungkapan ini langsung dipahami Bu Wati. Karena seumur-umur, gadisnya belum pernah mengucapkan omongan seperti itu. “Ikhwan, Neng?” suara Bu Wati sambil senyum. “Insya Allah, Mak!” ucap anaknya nyaris tak terdengar. “Cakep, nggak?” tanya Bu Wati lagi. Kali ini, tak ada jawaban apa pun dari mulut anaknya.
Bu Wati yakin kalau anaknya belum kenal betul dengan si ikhwan. Soalnya, anaknya pernah ngajarin kalau nikah dalam Islam itu tidak pake’ pacaran. Paling-paling cuma kenal nama, alamat, foto, pendidikan, pekerjaan, dan hobi. Itu pun hanya dalam tulisan. Kalau mau bertemu, pasti nggak boleh berduaan. “Musti ada wasit, Neng?!” ucap Bu Wati ke anaknya seperti menyimpulkan.
Ternyata, si ikhwan bukan hanya kenalan. Calon mantu Bu Wati itu juga menyertakan kedua orang tuanya. Mereka langsung melamar. Tak banyak yang diucapkan Bu Wati kecuali, “Saya sih setuju-setuju aja, Pak, Bu!” Dan, tanggal akad nikah pun terputuskan: bulan depan!
Kalau soal waktu, Bu Wati tidak pusing-pusing amat. Soalnya, urusan biaya sudah disiapkan anaknya. Ia hanya penasaran sama calon mantunya. Selama kunjungan lamaran itu, calon mantunya itu hampir tak pernah ngomong. Cuma senyum-senyum saja. Selalu saja, bapak ibunya yang ngomong. Jangan…jangan…
“Nggak, Mak! Ikhwannya nggak gagu. Orangnya memang pemalu,” ucap anak Bu Wati tenang. “Neneng tahu dari mana?” tanya Bu Wati masih bingung. “Dari biodatanya!” jawab gadis Bu Wati meyakinkan. “Ooo, gitu!” ucap Bu Wati sambil mengangguk.
Hari pernikahan pun datang. Bu Wati mengenakan busana muslimah yang lain dari sebelumnya. Begitu pun dengan anaknya. Kalau soal itu, Bu Wati masih paham. Ada hal lain yang belum dipahami Bu Wati: ruangan para ikhwan dan akhwat harus dipisah. Tanpa kecuali, buat kedua mempelai. Karena rumah Bu Wati kecil, para tamu ikhwan termasuk menantunya menempati halaman rumah tetangga sebelah. Padahal, Bu Wati ingin sekali mendengar calon mantunya ngomong. Tapi, akhirnya ia harus puas cuma lewat pengucapan akad nikah.
Menjelang Maghrib, keluarga besar besan Bu Wati pamitan. Dan tinggallah, si ikhwan sendirian. Soalnya, sebagian besar tamu langsung menuju rumah Bu Wati, tanpa mampir ke ruang ikhwan. Bu Wati sebenarnya kasihan. Ingin rasanya ia menyingkap hijab pemisah. Tapi, ia khawatir disalahkan anaknya.
Saat Maghrib, Bu Wati mencari-cari menantunya. Seorang tetangga bilang, “Tadi jalan ke masjid, Mak!” Bu Wati pun lega. Ia khawatir kalau menantunya nggak keurus.
Lama Bu Wati menunggu. Hingga waktu Isya menjelang. “Mungkin sekalian salat Isya, Mak,” ucap seorang kerabat Bu Wati yang sedang repot-repot di dapur. Tapi, yang ditunggu tak juga datang. Beberapa tamu menanyakan sang mantu.
Hingga jam sembilan, menantu Bu Wati pun tak kunjung datang. “Katanya pulang dulu, Mak!” ucap seorang anak kecil yang ngaku dapat pesan dari mantu Bu Wati.
Sumber: muhammad nuh/Eramuslim
Melepas Ajal

Ajal tak ubahnya seperti tagihan utang. Tak diharapkan datang, tapi pasti menyambang. Siapa pun akan dapat giliran kunjungan ajal. Tak peduli usia, apalagi status sosial. Kadang, tak pernah terbayang, kalau ajal siap menjemput orang yang tersayang.
Tak semua kita siap menghadapi kematian orang yang kita sayang. Apakah ibu, ayah, suami, isteri, anak, dan sanak keluarga lain. Dalam ketidaksiapan itu aneka reaksi bisa kita ungkapkan secara tidak sadar. Mulai menangis, marah, bahkan pingsan. Dan itulah yang kini dihadapi Bu Neneng.
Sebulan sudah putera kedua Bu Neneng meninggal dunia. Si bungsu usia tiga tahun ini tak lagi berdaya menghadapi penyakit tipes. Padahal, anak itu menyimpan harapan besar buat Bu Neneng: cakep, pintar, lincah, dan penurut. Masih banyak sifat bagus lain yang hanya dipahami Bu Neneng sendiri.
Masih terbayang bagaimana anak itu shalat. Rajin, tapi lucu. Ia kerap memakai kopiah ayahnya yang tentu saja kebesaran. Satu rukun shalat yang paling si bungsu benci: ruku. Pasalnya, di saat rukulah kopiahnya jatuh. “Yah, copot!” ucap si bungsu dalam kenangan Bu Neneng.
Senyum si bungsu pun belum hilang dalam bayang-bayang Bu Neneng. Manis, menawan. Rasa capek selepas repot-repot di dapur bisa lenyap seketika kalau si bungsu senyum. “Capek ya, Ma?” ucapnya sambil melepas senyum. Bibirnya merekah indah. Tatapan matanya begitu tajam menafsirkan sebuah perhatian yang teramat dalam. Seolah, ia ingin memberikan hadiah sebagai ganti kepayahan Bu Neneng. Tapi, hanya senyum yang bisa dipersembahkan.
“Ah, anakku…,” suara Bu Neneng tertahan. Ibu yang juga pegawai di sebuah perusahaan swasta ini seperti terseret dalam bayang-bayang gugatan si bungsu. Kalau sudah begitu, ia tenggelam dalam perasaan bersalah. Ia merasa, kesibukannya di kantor telah memecah dua dunia miliknya. Dunia ibu dan wanita yang ingin mengembangkan potensi dan karir.
Namun, ketajaman gugatan itu acapkali ditumpulkan suami Bu Neneng. “Kamu bukan tipe ibu yang menelantarkan anak. Dan lagi, jam kerja kamu kan cuma enam jam sehari,” ucap sang suami meyakinkan. Saat itu juga, semangat Bu Neneng kembali segar. Ucapan suaminya benar-benar meluruskan kebengkokan rasa hatinya yang sedang tak karuan.
Bu Neneng juga pernah menyalahkan pembantunya. “Gimana sih, Mbok. Anak sakit kok nggak cepet dibawa ke dokter! Dasar dusun!” gertak Bu Neneng suatu hari. Marahnya tak lagi terkendali. Ia lupa kalau marahnya sedang tertuju ke seorang wanita tua yang sebaya dengan ibunya. Santunnya tiba-tiba menguap entah kemana. Dan, air mata Mbok Inahlah yang akhirnya meredam emosi Bu Neneng. Isak tangis wanita yang pernah merawatnya saat kecil kembali meluruskan nalar Bu Neneng.
Sayangnya, nalar itu datang terlambat. Mbok Inah sudah terlanjur sakit. Hatinya seperti terkoyak dengan ucapan majikan mudanya. Mbok Inah sebenarnya ingin protes. Bukan cuma Bu Neneng yang kehilangan, ia pun seperti kehilangan permata yang amat berharga. Itu saja sudah bikin hati terpukul. Apalagi kalau disalah-salahkan dengan sebutan ‘dusun’! Sejak itulah, Bu Neneng tak lagi bisa menikmati layanan Mbok Inah. Ibu tua itu telah pulang kampung.
Siapa lagi yang bisa disalahkan? Perasaan itulah yang kerap menusuk-nusuk hati Bu Neneng. Alam bawah sadarnya masih belum bisa menerima kenyataan yang terjadi. Kenapa harus si bungsu. Kenapa bukan orang lain. Kenapa Allah tidak adil!
Buat yang satu ini, kesadaran Bu Neneng benar-benar dalam tingkat yang paling rendah. Dan saat itulah konflik batinnya sudah merenggut pemahamannya tentang takdir. Ia kecewa dengan putusan Allah. Padahal, ia paham sekali kalau Allah Maha Bijaksana. Ia tahu betul kalau sebuah kejadian buruk punya dua sisi: ujian dan hikmah.
Tapi, di situlah masalahnya. Kekecewaan Bu Neneng telah mengubur kesadarannya. Ia tak lagi bisa melihat dua sisi itu. Ujian itu terasa berat buat takaran rasa Bu Neneng. Dan, pandangannya tentang hikmah di balik itu seperti tertutup asap buruk sangka pada takdir. Kenapa harus si bungsu yang baru menikmati hidup tiga tahun? Kenapa bukan dirinya. Ia lebih ridha kalau si bungsulah yang merasakan apa yang saat ini ia rasakan.
Mungkin, saat inilah Bu Neneng merasakan sesuatu yang nyata dari takdir. Bahwa takdir, apalagi yang bersentuhan dengan ajal akan bersinggungan dengan banyak hal. Soal pemahaman, kematangan, kesiapan, kesadaran, dan kesabaran. Betapa sering, ia mengucapkan ‘terimalah apa adanya’ kepada teman yang tertimpa musibah.Tapi, semua itu hanya sebatas pemahaman. Belum yang lain.
Kesadaran Bu Neneng mulai pulih ketika ia mengamati sekitar ruangan rumahnya. Sepi. Tak ada lagi cekikikan tawa renyah si bungsu. Tak ada lagi ucapan ‘Capek, ya Ma?’. Tak ada lagi hiburan kopiah jatuh. Tak ada lagi senyum menawan yang bikin hati nyaman. Itulah kenyataan. Kehidupan itu nyata, kematian pun ada. Kalau berani menerima kehidupan, kenapa takut menemui kematian. “Bungsuku memang telah tiada,” bisik hatinya yang paling dalam. Pelan tapi pasti, kesadarannya mulai bangkit.
Kesadaran Bu Neneng mengingatkannya pada sosok seorang muslimah di masa Rasulullah, Ummu Sulaim. Seorang ibu yang justru menyembunyikan berita kematian putera tunggalnya dari sang ayah yang berpergian jauh. Ia khawatir kalau suaminya kaget. Dengan kesabaran, kesadaran, dan kedewasaan, berita itu tertutur manis dari mulutnya. “Sang Pemilik telah mengambil milik yang dititipkanNya,” itulah ucapan Ummu Sulaim ke suaminya.
Betapa ia sudah sangat hafal tentang kisah itu, tapi baru kali ini bisa melahirkan kekaguman. Tidak semua pengetahuan membuahkan kesadaran. Dan kali ini, ia benar-benar merasa kerdil jika dibandingkan dengan kisah yang sering ia ucapkan itu. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa menyiasati berita kematian putera tunggalnya.
“Astaghfirullah!” Bu Neneng mulai menyesali diri. Entah berapa korban yang telah jadi sasaran kepicikannya. Entah bagaimana perasaan Mbok Inah yang kini di kampung. Dan satu lagi, ia telah menggugat kebijaksanaan Yang Maha Bijak, Allah swt.
Kehidupan dan kematian memang rahasia Allah. Tak seorang pun yang tahu, apa yang dilahirkan kehidupan. Dan tak satu pun mengira, siapa yang dijemput kematian. Ajal memang tak ubahnya seperti tagihan utang. Cuma bedanya, ajal datang tak bilang-bilang.
sumber: Muhammad Nuh/eramuslim

Senin, 19 Oktober 2009

Ternyata, Tak Sesholihah Yang Kukira

“Pagi yang istimewa”, sahutku. Sembari mengeluarkan motor dari garasi, aku baru saja menyadari ada yang berbeda di pagi ini. Nuansa alam yang kusuka : mendung. Itulah yang membuatku makin terbakar untuk bersemangat menuntut ilmu ke kampus. Ya, aku hanya butuh waktu tujuh menit untuk tiba dikampus. Kali ini aku tidak sedang ingin mengebut. Rasanya menikmati mendung pagi hari menjadi karunia tersendiri.
Setiba disana, aku menjalani kehidupan kampus dengan ceria. Kuliah kali ini cukup menyenangkan, setidaknya kali ini wawasanku teruji lantran beberapa kali diberi pertanyaan oleh dosen dan aku bisa menjawabnya. Meskipun tidak semua jawaban yang kuberi adalah sempurna, namun sang dosen cukup puas dengan argumen ilmiah yang kujabarkan. Hmm, menjadi wanita populer memang menyenangkan. disapa banyak kalangan, diperhatian banyak orang, dan yang pasti ini menjadi peluang agar bisa memberi lebih banyak manfaat bagi orang..
Sore menjelang petang. ” Saatnya pulang”, pikirku. Langkah kecil ini mengarah pada lapangan parkir yang terletak di sudut kampus. Masih tersisa 5 motor, motorku salah satunya. Hmm, cukup sepi ternyata. Tanpa pikir panjang, kusegerakan diri mengeluarkan kunci motor dari saku rok-ku dan mengeluarkan STNK yang nantinya akan kusodorkan pada pak satpam untuk di perikasa di ujung gerbang kampus. Namun tiba-tiba, aku mengernyitkan dahi dan tanganku tertahan.Ada amplop cantik berwarna biru muda terselip di keranjang kecil motor ”Mio” ku. Awalnya tangan ku ragu untuk mengambilnya, sampai akhirnya kuyakini amplop itu tak lain adalah untukku, walau identitas pengirim tak terbaca oleh mata jeliku.
Kucoba merobek tepi amplop itu, hingga kutemukan secarik kertas berwarna putih dengan tulisan besar memenuhi kertas ukuran F4.Deg!Seketika mataku terbelalak, bibirku tak bergeming, tanganku berkeringat dingin, dan ... ”Allah!” aku berteriak.
”Ternyata, tak sesholihah yang kukira”.Lututku lemas, dan tubuhku jatuh terduduk.. Aku.. aku menangis seketika itu juga membaca sepucuk surat yang hanya bertuliskan 1 kalimat itu. Tulisan tangan berwarna merah yang dibuat dengan ukuran ekstra besar.
Sepanjang perjalanan pulang dengan mengendarai motor, hampir sering aku melamun. Klakson motor dan mobil menegurku berkali-kali. Puffh, di otakku hanya ada kejaidan itu. Hanya itu. Hanya itu. Sampai akhirnya setibaku dirumah, wudhu menjadi pelarianku. Adzan magrib yang bersahut-sahutan itu makin membuatku ingin bergegas. Bergegas takbir, sujud dan salam. Sudah cukup, hatiku tak kuat lagi menahan teguran itu..
***Aku hanya wanita yang dititipkan keindahan oleh-Nya. Pintar, kaya, cantik dan sholihah. Begitu kebanyakn penilaian orang padaku. Namun, sejak kejadian sore itu, hatiku terhenyak, seakan aku disadarkan akan suatu hal sering terlupakan.
Kupikir aku termasuk muslimah yg cukup berilmu. Tapi ternyata, seminggu sekali meluangkan waktu untuk memperdalam ilmu agama, membuatku pandai mencari-cari alasan untuk menghindar dari kajian keIslaman. Ya, kupikir aku sholihah. Tapi ternyata, aku tak sesholihah yang kukira.
Kupikir aku termasuk muslimah yang dicintai banyak orang. Tapi ternyata, tak sedikit yang sakit hanya karena lisan. Apa karena aku masih kekanak-kanakan, sehingga tak cukup dewasa menanggapi omongan orang? Ya, kupikir aku sholihah, tapi ternyata, aku tak sesholihah yang kukira.
Kupikir aku termasuk muslimah yang teguh dalam pendirian. Tapi ternyata, aku sempat terpikir untuk melepas jilbab yang telah lama kupakai. Entah mengapa, hal itu justru kejadian. Kini aku bebas bermain dengan teman-teman lelaki hingga larut malam, berfoto bersama mereka, mengupload-nya di facebook kesayangan. Hmm, bertelanjang dada dan paha menjadi keseharianku. Mungkin sekarang aku terlihat makin cantik dihadapan orang lain. Tapi entah, apakah aku terlihat cantik dihadapan penciptaku? Ya, kupikir aku sholihah, tapi ternyata, aku tak sesholihah yang kukira.
Kupikir aku termasuk muslimah yang mampu menjaga pergaulan. Tapi ternyata, aku masih saja teguh dengan statusku sbg pacar dari lelaki yang bagiku dia adalah lelaki tertampan dan baik agamanya. Dulu, tepat 3 bulan yang lalu, aku sadar Allah sempat menegurku dengan ayat ini : ”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Surah Al-Israa’ : 32). Ya, mendekati zina! Aku.. aku mengakui itu adalah kebenaran. Tapi kini aku merasa aku menjadi wanita yang lemah tak berdaya, karena aku menyerah saat tahu bahwa aku terlanjur terpenjara oleh perasaan cinta yang tak halal. Ya, kupikir aku sholihah. Tapi ternyata, aku tak sesholihah yang kukira.
Kupikir aku termasuk muslimah yang mampu menjaga niatan dalam hati. Tapi ternyata, aku bangga menjadi wanita populer yang sering menampakkan diri di depan umum. Aku memang bukan sedang mengikuti ajang puteri indonesia yang intinya pamer kecantikan dan kepintaran. Aku juga bukan sedang mengikuti ajang miss universe yang salah satunyaa adalah pamer lekukan tubuh yg aduhaii.. tapi, hatiku gampang terkotori untuk bangga mendapatkan pujian. Hatiku mudah terprovokasi untuk riya’.. Ya, kupikir aku sholihah. Tapi ternyata, aku tak sesholihah yang kukira.
Kupikir aku termasuk muslimah yang istiqomah mengamalkan ilmu agama. Tapi ternyata, aku pernah berdua-duaan dengan seorang lelaki yang bukan mahram. Aku menyadari, ada muslimah lain yang bisa kuajak menamaniku bertemu lelaki itu, tapi entahlah.. aku segan memintanya menemaniku. Hhmm segan? Tidak. Aku hanya ingin sedikit menikmati rasanya berdua dengan seorang lelaki walau dalam tempo yang tidak lama Ya, kupikir aku sholihah. Tapi ternyata, aku tak sesholihah yang kukira.
Kupikir aku termasuk muslimah yang lembut hati dan tuturkatanya. Tapi ternyata, diusiaku yang dewasa, masih saja aku membentak orang tua. Sedikit membentak, lebih tepatnya.Aku tahu, orang tua adalah harta berharga. Aku tau lambat laun mereka akan dipanggil oleh-Nya, tapi entah mengapa.. aku tidak cukup sabar melayani nasihat mereka. Ya, kupikir aku sholihah. Tapi ternyata, aku tak sesholihah yang kukira.
Kupikir, aku termasuk muslimah yang berkontribusi banyak untuk umat. Tapi ternyata, aku menjadi muslimah yang tidak jauh beda dengan orang-orang yang sukanya menghina dan mencela jam'aah yang berjuang di jalan dakwah. aku sadar, menjadi orang yang tidak mencintai dakwah, menghambat dakwah, dan menjatuhkan citra dakwah, adalah sama halnya dengan menjadi musuh agama Allah. Ya, kupikir aku sholihah, tapi ternyata aku tak sesholihah yang kukira.
Aku hampir saja sombong dalam menilai diriku sendiri. Sampai akhirnya, Allah menegurku dengan kuasa-Nya. Aku tertipu tak lain oleh diriku sendiri. Ya, kupikir aku sholihah. Tapi ternyata, aku tak sesholihah yang kukira...
Sumber:Meralda Nindyasti /Eramuslim

Kamis, 15 Oktober 2009

Bukan Sembarang Istri

Ketika kita sudah berikrar menjadi sepasang suami istri berarti kita pun siap hidup bersama dalam suka dan duka, mendampingi suami hingga akhir hayat. Komitmen seperti itu bukanlah hal sulit bagi sebagian perempuan, apa sih susahnya hidup bersama dengan orang yang dicintai. Tapi jangan salah ada sebagian perempuan yang menghadapi dilema untuk mewujudkan komitmennya yang satu ini.
Terutama bagi para perempuan yang punya karier di luar rumah, ketika suatu saat suaminya pindah tugas ke luar kota atau harus melanjutkan study ke luar negeri. Mereka dihadapkan pada pilihan berat ikut suami atau tetap tinggal dengan pekerjaannya. Melepas suami seorang diri jauh-jauh dari keluarga bukanlah kondisi yang menenangkan, dan sebaliknya melepas pekerjaan begitu saja, padahal sudah diraih dengan susah payah adalah hal yang sangat berat.
Begitulah hidup penuh dengan pilihan. Setiap pilihan yang kita ambil menghadirkan konsekwensi yang harus kita hadapi. Hanya orang-orang bijak yang menentukan pilihan yang arif dan maslahat bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk orang disekitarnya. Dan saya bertemu dengan orang-orang bijak ini ketika merantau bersama suami ke negeri jiran. Saya banyak bertemu dengan para istri yang setia mendampingi suaminya belajar. Tidak sedikit diantara para istri ini yang rela meninggalkan pekerjaannya di tanah air.
Yang membuat saya kagum pekerjaanya bukanlah pekerjaan yang mudah diraih. Ada yang bekerja sebagai dokter umum di RS swasta yang cukup terkenal di Jakarta, ada juga yang bekerja sebagai sekretaris perusahaan besar, ada juga yang berprofesi sebagai dosen bahkan ada manager di perusahaan besar. Subhanallah, sungguh pengorbanan yang luar biasa dalam pandangan saya.
Saya yakin para istri ini memilih meninggalkan pekerjaan bukanlah hal yang mudah, apalagi disini mereka harus kehilangan penghasilan dan rutinitas yang sudah bertahun-tahun dijalani. Tapi mereka sudah menentukan pilihan yang suatu hari nanti akan menghasilkan buah yang tidak ternilai. Mungkin sekarang para istri ini kehilangan penghasilan dan status sebagai wanita karier, tapi kebersamaan dengan keluarga, suami dan anak-anak tidak bisa diukur oleh materi. Mereka sedang memberikan pupuk kehidupan yang sehat untuk buah hatinya, sebagai bekal untuk mengarungi samudra kehidupan. Pengorbanan para istri ini tidak berhenti sampai disitu, di medan perjuangan ini mereka dihadapkan pada kondisi yang sulit. Biaya hidup sangat tinggi sedangkan beasiswa yang diterima sangat kecil. Bahkan ada yang mengalami beasiswanya habis, Inalillahi. Dalam kondisi seperti inilah para istri tangguh ini tampil. Ada yang mengambil pekerjaan sebagai pengasuh anak, membantu pekerjaan rumah (alias pembantu sambilan), membuat kue untuk dijual di kantin-kantin, berjualan pakaian, penjaga kedai (walaupun harus siap ditangkap).
Pekerjaan kecil inilah yang menopang ekonomi keluarga hingga anak-anak bisa terus sekolah, dapur tetap ngebul dan suami bisa menyelesaikan studinya. Sungguh pengorbanan yang luar biasa bukan, sehingga layak menyandang gelar “Bukan sembarang istri ”. Tidak semua perempuan mampu mengambil langkah seperti mereka, banyak para istri yang lebih memilih karier sendiri dibanding harus mendampingi suaminya.
Sungguh beruntung suaminya bisa bersanding dengan istri seperti ini. Mau berkorban apa saja untuk kesuksesan suaminya, semoga suami senantiasa mengingat pengorbanan istrinya. Bahwa dalam kesuksesan yang diraihnya ada tetes peluh dan senandung do’a istrinya. Dan hanya Allah saja yang bisa membalas kebaikan para istri ini, Semoga Allah memudahkan urusan kita di dunia dan di akherat, Amin…..

Sumber: Meti Herawati /Eramuslim

Kamis, 08 Oktober 2009

Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India


Dalam sebuah ceramah akbar di Dubai-UAE beberapa tahun lalu, saya sempat bertanya kepada Dr. Zakir Naik, ulama besar asal India, ahli perbandingan agama yang tersohor namanya. Subyek pertanyaan saya adalah mengapa Islam boleh dikata tidak berhasil di India padahal India pernah di bawah sebuah kerajaan besar Islam, misalnya kekaisaran Mughal yang terkenal dengan Taj Mahal, atau Kerajaan Mysore yang terkenal pula dengan Isnata Maysore yang terindah didunia, bahkan melebihi Istana Birmingham. Dr. Zakir Naik menjawab, bahwa petinggi-petinggi kerajaan Islam di India waktu itu lebih memfokuskan kepada bangunan-bangunan fisik ketimbang dakwah Islam. Itulah salah satu faktor utama mengapa Islam malah menjadi minoritas di sana.
Ingin mengetahui lebih dekat jejak-jejak kebesaran Islam di India inilah yang manjadi salah satu motivasi saya untuk ingin melihat dari dekat apa dan bagaimana sebenarnya India. Disamping tentu saja banyak hal yang melatar-belakangi kunjungan saya, misalnya silaturahim dengan rekan-rekan kerja saya yang sudah mengundurkan diri, melihat institusi pendidikan serta mencari buku-buku India sesuai dengan profesi saya.
Banyak hikmah yang bisa depetik dari rangkaian perjalanan saya selama dua minggu di India, di empat negara bagian: Karnataka, Kerala, Delhi dan Uthar Pradesh. Jika dijabarkan satu persatu, terlalu panjang untuk diungkap di sini. Yang saya ingin soroti, dan semoga membawa hikmah bagi kita adalah, bahwa meskipun India kelihatannya miskin (padahal pertumbuhan ekonominya di atas Indonesia), nyatanya tidak semiskin yang kita sangka. Malah bumi kita yang dari kacamata saya, yang mestinya amat kaya raya ini, dihuni oleh orang-orang serta kepemimpinan bangsa yang serakah.
***** Saya mendarat di Bandara Internasional Bajpe-Karnataka, dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Tidak ada kesan bahwa bulan itu adalah Bulan Suci Ramadan. Maklum, India mayoritas penghuninya adalah umat Hindu. Saya sendiri berbuka puasa di atas pesawat, dengan suguhan Upuma dan Wadha. Dua makanan tradisional India yang amat murah harganya. Itu pun, sebenarnya jatah makan siang yang saya taruh di depan kursi pesawat untuk bekal berbuka. Saya tahu, mereka tidak akan menyiapkan untuk yang berpuasa. Lagi pula, budget airline seperti Air India Express yang kami tumpangi tidak memberikan pelayanan istimewa kepada penumpang.
Bandara Internasional Mangalore ini amat sederhana. Orang-orangnya tertib antri menunggu giliran pengecekan Flu Babi oleh petugas kesehatan. Tidak terlalu lama prosesnya. Saya segera keluar menuju kota Karkala, sebuah kota kecil sekelas kecamatan di negeri kita, sekitar 75 km dari bandara. Seorang rekan lama bersama keluarganya menjemput saya. Malam itu bandara diguyur gerimis.
Zahoor Ahmad, nama rekan saya, bersama keluarganya, begitu ramah menyambut kedatangan saya diteruskan dengan hari-hari berikutnya menjamu saya sebagai tamu. Mulai dari makanan, diantarkannya saya ke sejumlah tempat bersejarah serta wisata, menikmati suasana Lebaran di daerahnya, serta tentu saja mengunjungi sanak familinya di sejumlah kota.
***** Kekaguman di hari pertama saya terhadap orang-orang India (setidaknya itu yang saya temui di rumah Zahoor) adalah, binatang-binatang sekelas Burung Merak, berterbangan di halaman rumah. Bahkan masuk ke ruang tamu serta dapur. Padahal burung-burung indah ini tidak dipelihara alias liar. Orang India sepertinya tidak terbiasa memiliki burung-burung dalam sangkar. Atau pemerintah memang tidak mengijinkan, wallahu a’lam!
Di kota-kota lain yang saya kunjungi, seperti Kannur, Calicut, Mangalore, Maysore, Agra, Bangalore hingga Ibu Kota Delhi, juga saya tidak melihat orang-orang yang memelihara binatang-binatang langka di rumahnya. Barangkali hal ini yang membuat binatang-binatang atau burung-burung ini akrab dengan manusia-manusia India. Anak-anaknya Zahoor bahkan dengan akrabnya memberikan makanan pada Burung Merak. Padahal rumah indahnya tidak terletak di tengah hutan belantara seperti Papua. Burung-burung seperti Jalak, Merpati, Camar hingga Tupai yang beragam warnanya, saya temui di banyak tempat berkeliaran yang membuat lingkungan kita merasa asri.
Saya sering mendengar atau membaca di Koran tentang keburukan politisi India. Tapi rasanya tidak sebanding dengan di negeri kita utamanya dalam soal pemeliharaan lingkungan hidup. Saya pernah melihat sungai kotor di Delhi. Tapi pemandangan yang sama tidak saya temukan di kota-kota lainnya. Di Kannur misalnya, sungai masih hijau dan jernih. Padahal sungai besar, lebarnya tidak kurang dari 200 meter. Bau selokan di kota-kota India, tidak seperti yang saya temui di Jakarta atau Surabaya.
Hal ini pertanda bahwa orang-orang India tidak serakah terhadap kekayaan alam atau ingin memilikinya. Hutan Papua milik kita, gunung emas di sana ‘dirampok’ dan digadaikan ke orang asing. Orang kita secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan juga memeliharan binatang atau burung-burung langka, sebagai bagian dari kebanggaan mereka. Saya tidak melihat, jangankan pasar burung, orang jualan sangkar saja sulit ditemui, meski mungkin saja ada di sana. Pabrik-pabrik di negeri kita banyak yang (Baca: dengan ‘seijin’ penguasa) seenaknya membuang limbah.
***** Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah cara berpakaian orang India. Kita memang tahu, orang India suka mengenakan Sari, pakaian tradisional kaum Hawa yang melingkar di tubuh. Bagi kaum Hindu, memang tidak seluruh tubuh tertutup. Sebagian (maaf) perut, terbuka. Namun tidak semua orang Hindu mengadopsi cara mengenakan Sari seperti ini, terutama kaum mudanya. Apalagi Muslimah India. Tertutup. Laki-laki India juga bangga mengenakan Shalwar Gameez atau Kurta atau Dhoti dan lain-lain pakaian tradisional. Zahoor member saya Kurta yang saya kenakan pada saat Lebaran.
Perempuan India, betapapun dari kalangan modern di tengah kota, bangga dengan pakaian tradisional mereka. Sutera di India jauh lebih murah dibanding Indonesia. Kekayaan tekstil yang dimiliki India menjadikan salah satu modal mereka tidak tergoyah ingin meniru dengan pola berpakaian ala Barat. Sekalipun kita tahu di film-film India banyak yang berpakaian seronok. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, tidak demikian yang saya temui. Apalagi pakaian mini seperti yang kita temui di negeri ini. Sepertinya tabu, jika anak-anak atau perempuan-perempuan mereka mengenakan rok mini atau celana ketat. Padahal dalam segi pendidikan dan pergaulan, keponakan-keponakan atau saudara Zahoor misalnya, banyak yang berpendidikan tinggi setingkat dokter dan insinyur, mereka tidak tergiur dengan pola pakaian Barat yang mati-matian kita adop di negeri kita.
***** Budaya konsumsi orang India juga tidak seperti yang kita lihat dalam film-film mereka. Di Karkala, di tengah pasar, saya sulit mendapatkan kertas Tissue. Setelah mengunjungi 10 toko, baru saya mendapatkannya. Itupun sudah usang dan kartun pembungkusnya pun robek. Orang sana tidak tergiur dengan budaya menggunakan tissue. Mereka lebih senang mengantongi sapu tangan. Lagi pula di rumah-rumah, apakah itu di bagian depan, samping atau belakang, umumnya tersedia pipa air untuk cuci tangan atau kaki. Di ruang makan juga tersedia wastafel atau tempat cuci tangan. Jadi mengapa harus menyediakan tissue? Barangkali begitulah pola pikir mereka.
Pasar India tidak seterbuka pasar kita memang. Barang-barang yang ada di sana mayoritas buatan dalam negeri. Sepanjang perjalanan saya di empat negara bagian ini, jarang sekali saya menemui kendaran Toyota. Sesekali saya memang jumpai Innova. Selebihnya, entahlah, orang India lebih bangga mengendarai Maruti, Tata serta Bajaj, hasil rakitan mereka sendiri yang tidak semewah Corolla atau BMW.
India begitu bangga dengan hasil karya mereka sendiri serta tidak silau dengan buatan orang lain, apakah itu Jerman, Amerika hingga Jepang. Mulai dari pakaian, makanan, bahan bangunan, hingga gaya hidup. India tidak serakah dengan gemerlap dari luar pagar negara di anak benua Asia bagian Selatan ini.
*****Saya menyempatkan melihat buku-buku pelajaran milik dua anak rekan saya, bernama Zaman (kelas dua SMP) dan Zeeshan (kelas 2 SMA). Buku-buku mereka nampak sederhana sekali. Kualitas kertas nya tidak sebagus sebagian besar anak-anak sekolah kita. Saya menemui seorang Dekan di Universitas Manipal dengan mudah. Pula diterima oleh sekretarisnya penuh keramahan. Padahal saya hanyan ingin mmendapatkan sekedar informasi. Di perguruan tinggi kita, jangan harap diterima seorang dekan untuk urusan yang satu ini.
Saya mengunjungi sebuah perguruan tinggi terkenal, Manipal University di kota Manipal. Gedungnya tidak mentereng. Ruang-ruang kuliahnya tidak ber-AC, padahal jika musim panas tiba, suhunya bisa mencapai lebih dari 40 derajat. Berarti panas sekali. Bangku-bangku kayu juga sudah tua untuk ukuran kita, yang bisa diduduki oleh 4 mahasiswa. Dosen-dosen mereka juga kelihatan sederhana. Hal ini bisa saya ketahui lewat pola pakaian mereka serta tentu saja kendaraannya.
Biaya sekolah hingga kuliah tergolong murah sekali. Mengantongi MBA dalam dua tahun hanya menelan biaya sekitar Rp 10 juta, sebuah jumlah yang amat sedikit di negeri kita untuk program pasca sarjana. Uang saku Zaman, ketika saya tanya, dia bilang hanya diberi Ibunya Rupees 150 (tidak lebih dari Rp 40 ribu) per bulan. Berarti hanya Rp 1000 per hari. Apa artinya Rp 1000 di negeri ini? Dia juga berangkat ke sekolah dengan sandal saja. Tapi kemampuan Bahasa Inggrisnya ‘ngewes’, selancar anak-anak kita berbicara Bahasa Jawa saja di kampung-kampung.
Buku-buku India murah sekali. Saya belanja tidak kurang dari 18 kg untuk buku-buku yang sulit mendapatkannya di Tanah Air. Buku-buku profesi yang saya dapatkan dari sana hanya tersedia kalau mau ke Amerika Serikat atau Inggris saja. Buku terbitan India terkesan tidak serakah mengambil keuntungan. Saya jadi heran, kebijakan apa yang diambil oleh generasi-generasinya Jawaharal Nehru ini, sehingga pendidikan tinggi mudah terjangkau serta buku yang teramat murah, tapi kualitas lulusannya bisa duduk di NASA-USA, terbang ke bulan dan jadi dosen-dosen di banyak universitas ternama di Negeri Paman Sam.
***** Tempat rekreasi rata-rata murah sekali tiketnya. Padahal kelasnya tidak tanggung-tanggung. Taj Mahal, biaya masuknya hanya Rupees 20 atau hanya sekitar Rp 5 ribu. Coba kalau kita mau masuk Taman Mini atau Ancol? Bandingkan kelasnya dengan Taj Mahal!
Pemerintah India tidak rakus terhadap perolehan hasil pajak dari pariwisata sebagaimana di negeri kita. Travel package pula itungannya murah sekali. Di Delhi, mengunjungi 10 tempat wisata, hanya bayar tidak lebih dari Rp 100 ribu, naik bis Volvo ber-AC. Travel agent tidak terkesan serakah mengambil keuntungan banyak dari pelanggan. Padahal, kami diantar oleh guide-guide professional.
Sebagian tempat wisata malah tidak ditarik iuran (karcis) masuk sama sekali. Saya jadi heran, bagaimana dengan biaya pemeliharaan tempat-tempat ini? Padahal mereka punya tukang-tukang pembersih atau tukang sapu yang kebanyakan perempuan-perempuan bersari. Meski keamanan amat ketat di banyak tempat, tapi petugas keamanan India tersekan ramah terhadap pengunjung. Saya tidak menemui pengalaman yang kurang atau tidak mengenakkan sama sekali selama mengunjungi tempat-tempat wisata ini.
***** India memang bukan negara kaya. Orang miskin banyak sekali. Banyak tempat juga kurang terpelihara. Jalan-jalan juga banyak yang berlubang. Bangunan di Delhi juga tidak semegah di Jakarta. Komunal konflik juga acapkali marak. India barangkali bukan sebuah percontohan. Maklum, jumlah penduduknya lebih dari 5 kali jumlah penduduk Indonesia. Meski demikian, saya tidak melihat pengemis yang berkeliaran di sana-sini. Saya tidak melihat satu pengemis pun datang ke rumah Zahoor, Abdul Karim Mohammad Koya atau Abdul Azeem. Saya melihat ada pengemis di kota-kota. Tapi juga tidak ‘gentayangan’ seperti di negeri kita yang acapkali mengganggu pengguna jalan, masuk bis-bis, mengetuk jendela mobil hingga ngebel rumah kita yang bisa jadi lebih dari 5 kali sehari.
Tukang amen atau pemusik jalanan? Meski India amat terkenal dengan musik, lagu-lagu dan tarian-tariannya, saya tidak melihat tukang amen atau pemusik atau penyanyi jalanan ini di mana-mana. Tidak pula saya temui satu kali pun mareka masuk di dalam bis atau kereta api. Apalagi mereka yang naruh kotak amal di tengah jalan, tidak pernah saya jumpai.
Di negeri kita? Dalam perjalanan Malang-Surabaya, yang sepanjang 70 km, anda bisa menemui sebanyak angka itu pula yang namanya pemusik dan pengemis. Saya tidak membela pemusik atau pengemis atau penjaja makan di India. Tapi itulah kenyataannya. Mereka tidak serakah mencari pasar. Saya tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran meraka di tempat-tempat wisata atau rumah-rumah rekan yang kami kunjungi.
***** Pembaca….Saya tidak mau disebut sebagai orang Indonesia yang kufur akan nikmat Allah. Tapi bencana di Sumatera Barat, banjir si sejumlah daerah, mahalnya bahan-bahan pokok, sulitnya mencari minyak tanah dan gas, tidak terjangkaunya biaya pendidikan dan layanan kesehatan (yang ini di India juga murah sekali), semuanya jadi membuat saya iri dengan apa yang terjadi di India, sebuah negara besar yang mampu melahirkan manusia-manusia besar seperti Mahatma Gandhi, Nehru, Rabindranath Tagore hingga India Gandhi.
Ada banyak PR yang harus digarap oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Jumlah masjid yang bertebaran di negeri ini (sulit mendapatkan hal yang sama di India), berjimbunnya jumlah majelis taklim serta kajian Agama Islam di televise-televisi, maraknya Da’i-da’i yang bersemangat sekali dalam berceramah memikat umat, sepertinya jauh dari cukup tanpa ada langkah konkrit: bagaimana mengelola sumber daya alam dan potensi manusia Indonesia yang konon sering meraih prestasi di berbagai momen olimpiade ini, agar menjadikan negeri ini lebih baik.
India memang bukan segalanya. Tapi melihat Indonesia dari jendela India, saya jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan negeri ini?
Oh ya, pada hari terakhir kunjungan saya di India, di Bandara Mangalore, saya tidak perlu membayar pajak sepeserpun. Sementara di Cengkareng, saya yang asli orang Indonesia, harus bayar Rp 150 ribu, itu belum termasuk biaya fiscal yang konon ‘hanya’ Rp 1 juta, jika anda harus ke luar negeri. Ah, Indonesia!

Sumber: Syaifoel Hardy /Eramuslim