Minggu, 30 November 2008

Sabar Menunggu Giliran

Sore itu aku megunjungi perpustakaan Indonsia yang ada di Wisma Nusantara, Rab’ah. Kebetulan, bis yang kunaiki mengambil jalur belakang, bukan seperti biasa dengan jalur depan. Jadi memang ada dua jalur keluar dari distrik Sepuluh kediamanku saat ini. Pertama, jalur depan dengan rute distrik delapan, Makram, Awal Abas dan seterusnya. Dan kedua, jalur belakang dengan rute distrik Tujuh Enpi, Hadiqah Dauli, Awal Abas atau langsung jalan lurus menuju distrik Tujuh menuju Rab’ah.
Seperti biasa, jalanan perempatan distrik Tujuh macet sore harinya. Lalu lalang kendaraan penuh sesak memadati simpang tempat toko Syabrawi itu. Mulai kendaraan pribadi orang-orang yang baru pulang dari kantor, hingga angkutan umum yang saling berlomba mengejar setoran.
Kemacetan itu sampai Mahkamah, sekitar lima puluh meter dari perempatan. Semua kendaraan terhenti, tidak berpindah sedikit pun lima sampai sepuluh menit. Layaknya setiap kemacetan yang ada, kendaraan-kendaraan yang terjebak, berusaha memutar haluan dan mencari jalur beda untuk keluar dari kemacetan tersebut. Semula ada beberapa celah antara satu kendaraan dengan lain, namun setelah orang berebut putar haluan, jalur menjadi tidak teratur. Wal hasil, arus jalan tertutup dan kemacetan tambah lama.
Sudah bisa dibayangkan, kondisi seperti ini, saat semua orang ingin cepat, maka satu sama lain saling hujat. Belum lagi ada yang mengucapkan kata-kata kotor dan lain sebagainya. Semua jadi lebih kacau, dan tidak terkendali dalam waktu yang cukup lama. Seharusnya kemacatan hanya makan waktu sepuluh sampai lima belas menit, tapi dengan kondisi demikian baru selesai sekitar setengah jam.
Beberapa hari sebelumnya juga, saat pulang kuliah dengan bis delapan puluh coret, di perempatan Awal Abas terjadi tabrakan ringan. Bis yang kutumpangi itu menyerempet mobil pribadi. Tak sempat jatuh korban jiwa memang, tapi korban moral. Pasalnya, si pengemudi mobil pribadi itu keluar dan langsung melemparkan kata-kata kotor serta makian bertubi-tubi pada supir bis. Seorang wanita muda pemilik mobil itu dengan ringannya menyebut hewan pada supir bis yang sudah paruh baya.
Beginilah yang terjadi manakala kesabaran tidak diikutsertakan dalam menyikapi satu persoalan. Semua pandangan menjadi gelap, dan cara berpikir cenderung menyalahkan yang lain. Seseorang yang tidak sabar tidak akan bisa mengambil keputusan secara tepat. Oleh karenanya ia akan mudah mengenyampingkan hak orang lain. Dan tak jarang juga yang berujung pada pertengkaran.
Sabar butuh proses dan latihan. Kebanyakan sifat ini diperoleh bukan dari jalan warisan sifat keturunan. Sering kita lihat, terkadang ada orang tua yang sabar tapi anaknya tidak. Atau dalam keluarga, kakaknya sabar tapi adeknya tidak. Oleh karenanya sifat ini harus terus dilatih dan dibina. Agar sifat ini bisa menjadi pendamping kita manakala menyikapi permasalahan.
Rasulullah saw mengibaratkan sifat ini laksana cahaya. Seseorang yang memiliki kesabaran akan selalu menghadapi permasalahan dengan hati yang terang dan pikiran yang cerah. Semua akan berjalan normal. juga, orang-orang yang sabar akan terhindar dari mengambil hak-hak orang lain.
Kemacatan lalu lintas itu adalah salah satu potret kehidupan yang menuntut pelakunya harus mengambil keputusan dengan sabar. Alih-alih ingin cepat keluar dari kemacatan, para pengemudi yang mengambil jalan pintas, justru merusak jalur dan memperlambat kemacatan. Bukan hanya itu, bayangkan apa jadinya susana penuh sesak di tengah kota seperti itu seketika berubah kebun binatang. Karena memang tidak sedikit, diantara pengemudi yang berucap kasar, hingga mengutuk dengan panggilan binatang.
Andai saja mau bersabar menunggu giliran, jalan akan menjadi normal secepat mungkin. Dan tidak ada yang terzalimi, karena setiap hak pengguna jalan terpenuhi. Setiap jalan digunakan sesuai jalurnya. Tidak akan muncul upatan, cacian, makian dan sumpah serapah lainnya.
Dalam lini kehidupan yang lain juga seperti itu, orang yang mencari rezeki diiringi sifat sabar ia akan selalu berjalan di atas rel kebenaran. Setiap usaha dan inovasi yang dilakukan untuk menambah penghasilannya diperoleh dengan jalan yang baik. Tidak mengambil hak orang lain. Kalau ia sebagai bawahan tidak akan menjilat ke atasan dan menyikut kanan kirinya. Kalau ia wirausaha tidak akan bersaing dengan curang terhadap orang-orang yang membuat usaha yang sama dengannya.
Allah swt berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas” (QS. 39:10)

Sumber: Fery Ramadhansyah / Eramuslim
Guru Sampah

Anda Eko Prasetyo dari Resists Book itu?" Pertanyaan ini sering masuk di e-mail saya."Bukan. Hanya kebetulan nama kami sama," jawab saya singkat. "Tapi, saya sering membaca tulisan Anda di beberapa media dan situs," ucapnya."Itu hanya kebetulan, Pak," ujar saya meyakinkan. Salah seorang di antara sekian penanya tersebut adalah seorang guru. Tak butuh waktu lama, kami lantas akrab meski hanya bertukar kabar lewat e-mail. Guru tersebut kemudian memaparkan pengalamannya sebagai guru honorer di Kabupaten Madiun. Usianya sekitar 35 tahun, jauh di atas saya. "Jika tak sedang mengajar, saya memungut sampah plastik bekas air mineral, Mas," tuturnya.Saya terdiam sejenak, lalu melanjutkan membaca kisahnya tersebut. "Lumayan hasilnya bisa buat nambah beli keperluan rumah," lanjut dia. Bukan kali ini saja saya dicurhati oleh orang lain. Namun, saya justru kian tertarik menyimak pengalaman beliau yang luar biasa tersebut.Dia menceritakan bahwa niatnya untuk menjadi guru tetap masih tinggi meski dirinya nyaris putus asa dengan keadaan yang sekarang. Sebagai guru tidak tetap di sebuah SD, beliau menerima upah tak sampai Rp 500 ribu. "Justru hasil dari menjual sampah plastik lebih besar dari itu," ucapnya dengan nada berbesar hati. Dia mengisahkan, hasil dari memulung plastik air mineral kadang berpihak pada nasib dirinya ketimbang pemerintah yang belum mengoptimalkan kuota tenaga honorer dalam pengangkatan guru PNS di daerah setempat. Betapapun, keluarganya merasa tertolong karena dapur mereka bisa tetap mengepul berkat hasil memulung sampah plastik. "Yah, ibaratnya saya ini bisa disebut guru sampah," ucapnya setengah berkelakar. Mungkin, perkataan jujur yang terlontar dari beliau adalah upaya menghibur diri sejenak di tengah impitan kesulitan ekonomi yang memang dirasakan oleh banyak guru senasib. Kami tetap intens berkomunikasi meski hanya bersua lewat dunia maya. Saya pun mengajak beliau untuk ikut serta dalam Klub Guru Indonesia untuk berbagai pengalaman luar biasanya. A good teacher mixes with people of noble character. He strives for people's benefits and seeks to protect them from harm.
Kiranya, saya menaruh respek yang tinggi atas perjuangan seorang guru. Dia harus menunaikan tanggung jawabnya yang mulia untuk kelangsungan pendidikan para muridnya. Guru tersebut mengajarkan kepada saya banyak hal, termasuk menghadapi tantangan hidup dan bertahan hidup.Persoalan perut kadang dapat membuat orang bisa melakukan apa saja, tak peduli bahwa dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Cuaca Surabaya di antara kering dan basah, tapi tak sebasah hujan menabur kasih di tengah riamnya krisis moral di negeri ini. Semoga Allah selalu memudahkan hamba-hamba- Nya yang mau berusaha dan bekerja keras, amiin Ya Mujibasailin.

Sumber:Eko Prasetyo/Eramuslim

Senin, 24 November 2008

Mbah Jaritan

Mbah Jaritan, begitu aku waktu kecil memanggilnya. Sosok wanita yang tiada hari menggunakan jarit (sejenis kain batik yang dipakai nenek-nenek di Jawa ). Kenapa Mbah Jaritan? Karena pasangannya adalah Mbah Sarungan. sepasang kakek nenek yang sudah berusia hampir 80 tahun dan tinggal di sebuah desa terpencil di bawah Gunung Slamet Jawa Tengah.
Jika di luar desa itu orang banyak berbicara tentang kesejatian cinta, maka dari pasangan kakek inilah saya banyak belajar. Sederhana saja ungkapan cintanya yaitu "kesetiaan." Sudah hampir 18 tahun Mbah Sarungan mengalami lumpuh di jari-jari tangan dan kaki, sehingga praktis pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan tangan maupun gerak kaki tidak bisa dilakukannya lagi. Praktis Mbah Jaritan mengambil alih tugas tugas rutin yang biasanya dikerjakan laki-laki. Mulai dari mencangkul, menyiangi sawah dari rumput yang menganggu pohon padi, mencari kayu bakar, mencari rumput untuk kambing sampai menggendong gabah untuk diselip di desa sebelah karena tangannya sudah tidak kuat menumbuk gabah di lesung.
Bukan waktu yang sedikit, 18 tahun berjibaku dalam peran ganda. Dia juga harus memasak, membuat gula jawa karena pohon-pohon kelapa di sekitar rumahnya menghasilkan nira sampai membuat tempe sendidri untuk dijual. Kira-kira beginilah jadwal rutin Mbah Jaritan. Pagi, memasak nasi, memanaskan nira hingga mendidih, kemudian pergi ke sawah atau ke kebun tergantung mana yang membutuhkan prioritas untuk dirawat hari itu. Siang sudah siap-siap memasak sayur, merebus kedelei sebagai bahan dasar tempe. Sore sembari menunggu Maghrib tiba biasanya melakukan pekerjaan ringan menyiapakan daun pisang untuk bungkus tempe, atau membuat makanan ringan. sesekali berkeliling desa untuk silaturrahim dengan para kerabat.
Diapun harus mempunyai tenaga untuk mencuci bajunya dan baju kakek, memandikan kakek dan menyiapkan makan kakek. Walau hampir tiap hari marah sama kakek, beliau masih mendudukkan kakek sebagai suami sebagaimana beliau masih sehat. Jika makan kakek dululah yang diutamakan, tak lupa lauk atau sayur tidak boleh diambil yang lain jika sudah disediakan untuk kakek, kecuali jika kakek merelakan.
Ketika kutanya apa yang membuat energinya begitu berlebih untuk melakukan hal yang luar biasa tersebut? Beliau dengan bersahaja menjawab, "Wong wedo iku surgoe nunut nang wong lanag."(Orang perempuan itu surganya ikut ke laki-laki). Mbah putri percaya walaupun kakek tidak menafkahinya tapi kakek adalah ahli ibadah, guru ngaji kampung dan imam sholat di masjid. Sedangkan nenek adalah wanita buta huruf yang tidak bisa baca tulis latin maupun Al-Quran. Maka bagi Mbah Jaritan pengabdiannya berbuah surga.
Sederhana ungkapan cinta mereka. Terkadang kulihat kakek sering menangis mungkin terenyuh dengan kesetiaan Mbah Jaritan sementara ia tak biasa memenuhi kewajibannya. Kesejatian cinta yang tidak membutuhkan kecantikan maupun rupa fisik, hanya janji surgawi yang mempertahankan mereka hingga 18 tahun. Subhanallah...
Di sinilah mestinya para selebritis kita yang hobi bercerai berkaca tentang cinta sesungguhnya...
Pada mereka bukan hanya pernikahan emas tapi jamrud.
Untuk Mbah Jaritan I miss U
Tidak ada Hari Ibu untukmu karena setiap hari adalah Hari Ibu.
Engkaulah ibu sejati itu

Sumber: Ekaerawati / Eramuslim

Minggu, 23 November 2008

Allah Dalam Kehidupan Kita

”Bu, saya menawarkan barang, ini madu baik untuk kesehatan”. Jawabku, ”waduh baru saja kemarin beli, itupun belum dibuka”. Ia pun berkata, ”Wah berarti saya terlambat dong. Bagaimana bu kalau ambil obat herbalnya.” Aku meresponnya ”Itu juga, saya masih punya, belum habis.”
Ia berkata lagi, ”Begini, bu, tolonglah saya di kasi kerja, gosok atau cuci.” Akupun berucap, ”Ada teman, perlu pembantu tapi jauh letaknya”. Dengan nafas berat, ia berkata ”Kalau jauh, saya tidak bisa meninggalkan anak yang masih kecil.”
Akhirnya pulanglah tetanggaku tersebut.
Malam itu aku sampaikan cerita ke suami tentang tetangga yang datang tadi siang untuk menawarkan barang.
Suamiku akhirnya berkomentar, banyak pelajaran yang kamu belum lulus hari ini, intinya hari ini, Allah menyapa dalam kehidupan kita, Allah hadir dalam kehidupan kita melalui kesusahan orang lain, tetapi kita tidak menyambutnya. Pelajaran hari ini tentang tetangga yang membutuhkan pertolongan dan bila diteruskan melatih umat dalam berbisnis. Aku menanggapinya, ’bukankah selama ini kita sudah beramal dari setiap rezeki dengan selalu berinfak sekitar 5 sampai 10%, haruskah kita masih direpotkan dengan hal-hal seperti itu’.
Suamiku menjawab, inilah ujian kenaikan tingkatnya, ibadah kita dengan segala doa, akan menjadi berkah bila diiringi dengan amal-amal nyata, yaitu mudah menolong orang, apalagi yang berpengharapan pada kita, menolong orang yang memang kita lihat nyata-nyata mengalami kesusahan merupakan modal untuk mengetuk arasy Allah, karena kita akan meletakkan semua pengharapan pada Allah. Allah hadir dalam kehidupan rumah tangga kita melalui kesusahan dan kesulitan orang lain.
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS: 2 ayat 274)

sumber : Alam Latansa Sabili / Eramuslim
Buktikan Syukurmu dengan Berkurban

Rasulullah Saw adalah pemimpin ummat yang konsisten dalam menegakkan qiyamullail. Beliau rela bersusah-payah menahan kantuk dan berdiri lama, bahkan dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa beliau-demi menahan kantuknya itu-mengikatkan badan beliau pada suatu penahan agar belia tetap tegak berdiri (tidak jatuh), padahal beliau telah dijamin oleh Allah SWT dengan surga-Nya.
Tak ayal, bengkak-bengkak pada kaki Rasulullah Saw pun timbul akibat lamanya beliau berdiri ketika bermunajat di sepertiga malam terakhir itu. Subhanallah. Ketika isteri beliau bertanya, “Wahai Rasulullah Saw, kenapa engkau bersusah payah dalam beribadah padahal Allah telah menjaminmu dengan surga?” Dengan retoris Rasulullah Saw menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba-Nya yang bersyukur?”
Kisah tersebut adalah kisah indah yang membekaskan banyak hikmah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh isteri beliau seakan mewakili sebuah pertanyaan yang lazim pada diri kita sekarang ini. Kita heran ketika seorang hamba diberikan dispensasi untuk bersenang-senang atau bersantai-santai, dia justru tidak mau memanfaatkannya.
Kita heran ketika menyaksikan orang yang sudah kaya tetapi dia tetap terus bekerja, kita heran menyaksikan orang yang sudah pintar tetapi dia tetap terus belajar, dan sebagainya. Pertanyaan ini boleh jadi timbul karena yang bertanya adalah hawa nafsu kita bukan hati nurani kita. Hawa nafsu cenderung pada kesenangan yang menipu, namun hati selalu cenderung pada kesenangan yang hakiki.
Terus belajar, terus bekerja, terus berinstospeksi dan memperbaiki diri adalah wujud kesenangan hati yang tidak disukai oleh hawa nafsu. Dia rela melakukan semua itu sebagai wujud cinta, bakti, dan syukur kepada Allah SWT. Posisi yang menguntungkan bukan makin melemahkan semangat, justru makin melejitkan semangat untuk terus berbuat sesuatu yang berarti demi meraih ridho-Nya.
Dalam kaitannya dengan ibadah kurban, saya mengambil pelajaran bahwa Rasulullah Saw bercapai-capai, bersusah-payah mengurbankan fisiknya menegakkan qiyammullail hanya karena ingin membuktikan bahwa beliau adalah hamba Allah yang bersyukur.
Menjadi hamba Allah yang bersyukur (abdan syakuran) agaknya bukan menjadi hal yang mudah, terlebih bagi kita yang masih banyak berkubang dengan dosa. Membuktikan syukur tidak sekedar dengan cara lisan mengucap “Alhamdulillah”, tetapi yang lebih essensial adalah dengan ketatatan dan pengorbanan (baik harta atau jiwa) demi menegakkan suatu ibadah kepada-Nya.
Cobalah kita renungkan. Setiap ibadah pasti membutuhkan pengorbanan baik materi maupun fisik. Sholat berjamaah di masjid misalnya, secara materi ia mensyaratkan pakaian yang menutupi aurat dan bebas dari najis dan secara fisik ia mensyaratkan keringanan langkah menuju masjid. Mengenakan jilbab syar’i bagi muslimah.
Misalnya, secara materi ia mensyaratkan bahan pakaian yang tidak transparan, longgar agar tidak membentuk lekukan tubuh, nyaman dipakai, sedikit mahal, dan lain-lain dan secara fisik ia mensyaratkan kesabaran ekstra dari sang muslimah untuk istiqomah mengenakannya. Bukankah mengenakan busana muslimah terkesan lebih “ribet” bagi orang tertentu dibanding dengan hanya menggenakan celana pendek dan kaos oblong saja? Hal ini cukup menunjukkan bahwa mengenakan jilbab pun memerlukan pengorbanan fisik di sana.
Contoh yang lebih gamblang adalah menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Secara materi, ia mensyaratkan sejumlah dana harus dikeluarkan dan secara fisik, ia mensyaratkan kondisi kesehatan yang cukup prima untuk melaksanakannya. Dalam ibadah kurban pun, selain secara materi disyaratkan adanya sejumlah dana senilai hewan ternak tertentu, secara fisik dianjurkan adanya upaya tertentu, misalnya mengusahakan (memilih) kambing terbaik dan menyembelih sendiri hewan kurban itu.
Suatu ketika, Aripin seorang anak muda yang bekerja di perkantoran elit, ditawarkan oleh ayahnya apakah ingin berkurban atau tidak, untuk masyarakat di sebuah desa kecil di Sipirok (kampung ayahnya). Sebagai anak muda yang baru beberapa tahun menikmati uang hasil dari bekerja, tentu keinginan yang ada dibenaknya cukup beragam, yang jelas bukan untuk urusan ibadah seperti berkurban itu.
Namun kali ini, ia merasa bimbang. Sudah beberapa kali ia ditawari untuk berkurban oleh ayahnya, namun selalu saja ia mengelak dengan alasan masih banyak kebutuhan ini dan itu. Di tengah kebimbangan yang masih menggelayuti hatinya, di depan rumah ia bertemu dengan Pak Hasan, kawan ayahnya yang kini sama-sama sudah pensiun. Beliau adalah sahabat ayahnya yang jujur, terpercaya dan sampai saat ini masih menjalin hubungan baik meski terpisah dengan ayahnya yang kini berada Medan.
Pagi itu, Pak Hasan yang sedang berjalan-jalan mengelilingi komplek. Ketika bertemu di depan rumah, beliau berhenti dan menanyakan kabar ayahnya,
“Assalamu’alaikum. Eh Pin, gimana kabar papa? Katanya ada acara kurban di kampung papa.”“Waalaikum Salam, Baik Om. Iya, Papa memang selalu berkurban untuk masyarakat di sana.” “Siapa aja yang berkurban. Kamu kurban juga ngga?”
Ia pun menyebutkan beberapa saudara yang telah berkomitmen menyerahkan hewan kurban untuk kampung papanya, ketika menjawab pada pertanyaan menyangkut dirinya ia berujar, “Kalau saya, nggak tahu ni Om. Penginnya sih berkurban, tapi kayaknya masih banyak kebutuhan Om.”
Buru-buru Pak Hasan itu langsung menyahut dan memotong ucapannya,
“Gini Pin, kalau di hati kamu sudah terbetik niatan untuk berkurban, jangan kamu tunda, berkurbanlah. Saya tahu, sebagai anak muda, kamu pasti pengin yang macam-macam. Bersenang-senang lah, jalan-jalan lah, tapi yakinlah dengan berkurban kamu akan merasakan kenikmatan yang luar biasa dan kamu akan mendapatkan rezeki yang jauh lebih besar dibanding jika kamu tidak berkurban. Yakin itu.”
Selanjutnya, mengalirlah dari mulut Pak Hasan itu beberapa kata hikmah tentang ibadah kurban dan pengalaman-pengalaman ibadah yang selama ini beliau lakukan.
Kata-kata Pak Hasan yang dipanggilnya Om oleh Aripin itu, begitu menghipnotis dan mengunci mati keinginan hawa nafsunya yang masih ingin berhura-hura dan bersenang-senang itu.
Di akhir pembicaraan, tekad Aripin untuk berkurban pertama kali itu pun membulat. Hal itu dibuktikan dengan kata-katanya,
“Iya dech Om. Saya akan berkurban. Terima kasih ya Om.”
Pak Hasan tampak tersenyum puas karena bisa menundukkan jiwa anak muda yang semula diliputi kebimbangan itu.Adakalanya kita bersikap seperti Aripin tatkala muncul dihadapan kita peluang untuk menyisihkan sebagian harta guna berkurban. Tiba-tiba saja terbayang dibenak kita aneka kebutuhan yang masih tertunda dan “harus” dipenuhi segera. Padahal jika kita pikir ulang, kebutuhan itu bukanlah kebutuhan sebenarnya yang bersifat mendesak melainkan hanya sekedar keinginan hawa nafsu belaka.
Dalam kondisi seperti itu, bagi yang memiliki kelebihan harta, sebenarnya kita sedang diuji, apakah kita termasuk hamba Allah yang bersyukur atau tidak. Bukankah harta yang diperoleh selama ini adalah anugerah dan pemberian-Nya? Kenapa ketika Allah Swt menghendaki kita menyisihkan sebagian kecil saja, timbul rasa berat di dalam jiwa? Sungguh jika kita mau berinstrospeksi betapa anugerah Allah Swt yang dilimpahkan kepada kita begitu banyak dan tak terhingga, hati kita akan merasa sangat ringan untuk berkorban.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (108:1-2)
Jelas bahwa Allah memberikan kepada kita nikmat yang banyak. Kita lahir dalam kondisi tidak memiliki apa-apa. Maka segala apa yang ada pada kita kini adalah semata-mata karena nikmat dari-Nya. Guna mewujudkan rasa syukur atas kenikmatan itu, maka jalan terbaik adalah memperkuat ketaatan kepada Allah SWT. Dan ibadah kurban adalah salah satu bentuk ketaatan yang dianjurkan oleh-Nya.
Semoga kita bisa membuktikan rasa syukur kita dengan berkorban. Secara simbolis kita memang mengkorban hewan ternak, namun secara substansi kita mengkorban sifat-sifat buruk dari dalam diri kita.
Wallahua’lam bishshawaab

Sumber: Muhammad Rizqon / Eramuslim

Kamis, 20 November 2008

Untuk-Nya Cukup Sisa Waktu

Entah untuk yang ke berapa kali pagi itu shalat subuh si Fulan tertinggal untuk berjamaah. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi dan pada jam segitu masjid sudah barang tentu kosong dari jemaah. Kemudian dengan mata yang masih sepet Fulan beranjak untuk mengambil air wudhu dan dilanjutkan dengan shalat subuh secara munfarid. Saking seringnya tidak ada perasaan sesal yang singgah di benak Fulan ini. Seolah hal yang wajar apabila shalat subuh dikerjakan pukul 05.30 pagi.
Bukan hanya itu, sebagai orang yang tinggal di kota yang padat dengan aktivitas mengharuskan untuk selalu berburu dengan waktu. Otomatis selepas shalat subuh sendirian tidak bisa melakukan dzikir pagi karena harus segera merapikan diri untuk berangkat kerja, apalagi baca quran, satu ayat pun tidak akan keburu.
Tapi entah kenapa untuk masalah pekerjaan Fulan selalu berusaha untuk tepat waktu masuk kantor. Jam masuk kantornya adalah jam delapan pagi dan Fulan sering sampai disana sebelum jam delapan. Setiap pergi ke kantor Fulan selalu berusaha untuk tampil rapi dan wangi dan hal ini sangat bertolak belakang dengan aktivitasnya ketika bangun tidur. Aktivitas shalat subuh Fulan cukup dengan menggunakan pakaian tidur, tanpa gosok gigi, apalagi wangi-wangian. Intinya yang penting kewajiban sudah gugur.
Sebagai seorang karyawan Fulan selalu mendedikasikan dan mengerjakan segala tanggung jawabknya dengan sungguh-sungguh dan senang hati. Hal ini diperlukan agar kinerjanya baik yang akan berakibat bagusnya karir di kemudian hari. Karir bagus akan berbanding lurus dengan penghasilan tentunya. Boleh di bilang Fulan ini seorang yang perfectionist. Apabila terjadi suatu kesalahan, Fulan akan dengan segera menelusuri akar penyebab masalahnya dan mencari solusi terbaik sehingga masalah ini tidak muncul lagi.
Pada jam istirahat, selepas makan siang, biasanya Fulan asyik ngobrol dengan teman-teman kerjanya. Biasanya Fulan shalat Dzuhur lima menit menjelang bel masuk berbunyi. Walhasil shalat dzuhur yang dikerjakannya sangat minim waktunya. Dari mulai wudhu pun terlihat terburu-buru. Maka selepas salam Fulan langsung kembali bekerja. Tidak ada dzikir ataupun shalat ba’diyah dzuhur.
Gambaran di atas bisa jadi merupakan refleksi dari rutinitas harian kita. Di sadari atau tidak terkadang kita tidak adil dalam menyikapi urusan dunia dan akhirat. Meski kita sering mengatakan bahwa dalam hidup ini harus seimbang antara dunia dan akhirat kita. Tapi, tanyalah ke dalam lubuk hati ini, benarkah perkataan itu? Benarkah kita sudah memposisikan timbangan dunia dan timbangan akhirat pada posisi yang sama tinggi jika takarannya harus seimbang?
Kalau boleh jujur kita lebih cenderung memperhatikan kepeluan dunia kita. Dalam arti nilai-nilai agama jarang sekali dilibatkan dalam seluruh aktivitas kita.
Dalam pekerjaan kita sering berusaha untuk datang tepat waktu. Jika sekali saja terlambat maka keesokan harinya akan bangun dan berangkat lebih awal agar tidak terlambat lagi. Tapi kita jarang sekali khawatir karena telah mengakhirkan shalat, bahkan kalau sedang asyik biasanya kita dengan tenang meninggalkan kewajiban tersebut tanpa ada sesal yang singgah di hati.
Kita selalu berpenampilan rapi, harum dan segar setiap pergi ke kantor. Kita selalu memberikan penampilan terbaik dalam bekerja bahkan memakai seragam sesuai peraturan perusahaan. Namun dalam sujud kepada Alloh kita cukup memakai kaos oblong dan sarung seadanya. Bahkan hal yang wajar memakai pakaian yang terlihat aurat dalam keseharian meski dalam aturan Alloh kewajiban untuk menutupnya cukup jelas.
Agar mudah mendapatkan pekerjaan banyak dari kita sekolah sampai jenjang yang tinggi. Latar belakang pendidikan akan mempengaruhi masa depan kita nantinya, terutama dalam masalah jenjang karir. Lagi, sampai saat ini kita masih belum mengetahui bagaimana cara wudhu yang baik sesuai dengan petunjuk nabi. Artinya, bagaimana shalat kita diterima apabila kita keliru dalam berwudhu. Ajaibnya hal itu tidaklah dianggap terlalu penting karena tidak pernah ditanyakan dalam setiap interview di perusahaan.
Masih banyak hal-hal lain dimana kita tidak adil dalam menempatkan antara dunia dan akhirat. Padahal, seandainya kita mau sedikit mempelajari, apa yang kita lakukan dalam 24 jam bisa bernilai ibadah. Namun untuk mempelajarinya badan ini sudah terlampau letih oleh setumpuk pekerjaan. Saking letihnya kita sering ketiduran untuk melaksanakan shalat isya. Namun, meskipun badan ini letih terkadang kondisi badan bisa menjadi fit kembali ketika ada panggilan dari atasan meskipun itu tiba-tiba.
Begitu pun pada hari libur di akhir pekan. Dengan alasan istirahat kita menghabiskan waktu dengan tidur, nonton tv, shopping, ke bioskop, hang out, dll. Sangat jarang dari kita untuk meluangkan waktu sesaat untuk sekedar membaca satu ayat dari ribuan firman Alloh. Apalagi membaca satu bab tata cara berwudhu. Bahkan meskipun tidak dalam kondisi bekerja kita masih saja tidak dapat melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Tetapi jika sang pacar meminta waktu untuk bertemu, kita akan dengan sigap memenuhi permintaannya itu tanpa pikir panjang dan tepat waktu.
Tidak salah jika sesakali kita memanjakan diri dengan hiburan di tengah kesibukan sehari-hari. Tapi apakah tidak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap dengan Alloh meski dengan shalat di awal waktu? Atau sekedar membaca satu ayat saja setiap minggunya?
Sebenarnya hukum untuk mendapatkan kebahagiaan dunia sama dengan kebahagiaan akhirat. Kita akan mendapatkan kemapanan hidup apabila memiliki bekal ilmu yang cukup dan bersungguh-sungguh bekerja. Tentunya untuk mendapatkan ilmu tersebut kita memerlukan waktu untuk mempelajarinya bahkan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semua itu kita lakukan dan jalani dengan kerelaan.
Untuk mendapatkan akhirat pun demikian. Diperlukan ilmu yang cukup dan kesungguhan untuk mengamalkannya. Ilmu tersebut pun harus diusahakan dengan cara menuntut ilmu dan itu memerlukan waktu dan biaya. Namun kenapa kita menjadi pelit untuk segala hal yang dapat membuat kita lebih memahami ajaran islam. Membeli buku aqidah seharga lima puluh ribu akan terasa mahal apabila dibandingkan dengan jalan-jalan yang bisa menghabiskan uang sampai ratusan ribu rupiah.
Berhenti sejenak dan merenungi atas apa yang telah kita kerjakan mungkin salah satu sikap yang bijak. Mencoba berfikir atas semua aktivitas kita apakah sudah proporsional dan adilkah kebutuhan dunia dan akhirat kita tunaikan?
Akan terlalu berat mungkin apabila kita mengikuti Rasulullah dalam semua hal. Paling tidak ada proses untuk berkeinginan mengenal Alloh dalam ibadah-ibadah pokok dan milibatkan-Nya dalam seluruh aktivitas kita. Setidaknya untuk tidak lupa mengucapkan basmalah dalam setiap memulai aktivitas sehingga akan bernilai kebaikan. Alloh pun tidak membebankan syariat-Nya melainkan sesuai dengan kemampuan hamba-Nya.
Wallahu’alam
Renungan kala menyadari diri ini telah banyak berbuat dzalim atas hak-hak-Nya. Diri ini memang bukan seorang hanba yang taat melainkan penuh dengan kekhilafan. Namun masih berharap untuk datangnya secercah hidayah yang akan menggerakkan hati ini untuk lebih dekat mengenal Tuhannya.

Sumber: Galih Ari Permana / Eramuslim
Ikatlah Untamu, dan Pasrahlah Pada-Nya

Stadion olah raga terbesar di kota kabupaten kami itu bak lautan manusia. Penuh sesak dengan calon haji dan para pengantarnya. Yang perempuan berjilbab dan yang laki-laki berbaju muslim dan berpeci. Sebuah potret religius yang setiap tahun berlangsung di tempat ini saat musim haji tiba.
Suatu pemandangan yang sangat indah sekaligus menyentuh hati. Bagaimana tidak, tempat yang dalam kesehariannya lebih banyak dimanfaatkan untuk aktifitas olah raga ini, sekarang berubah menjadi lautan jilbab. Sebuah suasana yang menggiring kita kepada nuansa ke- ilahi-an.
Saya juga banyak melihat bibir dan lidah calon haji serta pengantarnya, basah dengan alunan dzikir. Atau paling tidak mereka sedikit sekali bicara kecuali hal-hal yang penting saja. Mereka khusu, seolah ini semua merupakan rangkaian dari ibadah haji.
Melihat ke-khusu-an dan tenangnya wajah-wajah calon haji dan para pengantarnya, saya pun ikut larut di dalamnya. Hati ikut berdzikir. Bahkan terkadang air mata ini ikut keluar saat melihat calon haji berpelukan dengan para pengantarnya untuk pamit ke tanah suci. Sebuah pemandangan yang sangat menggetarkan jiwa.
Ketika saya masih larut dengan suasana ‘magis’ itu tiba-tiba telinga saya terusik oleh kalimat yang keluar dari seorang polisi yang sedang mengatur lalu-lalang orang di stadion itu: “Pak, Bu, hati-hati dengan barang-barang berharga yang anda bawa. Sebab tak semua orang yang masuk kompleks ini berniat baik.”
Kalimat dari pak Polisi itu saya perhatikan. Saya tersadar dengan himbauan pak polisi itu. Ahirnya pesan pak polisi itu juga saya teruskan kepada teman dan rombongan lain. Paling tidak agar lebih berhati-hati, dengan kondisi desak-desakan ini.
Pak polisi sampai perlu mengucapkan hal seperti itu bukannya tanpa alasan, tapi disebabkan karena melihat kondisi orang-orang yang ada di dalam stadion itu sedang konsentrasi penuh dengan para calon jamaah haji yang mau berangkat ke tanah suci. Dan dia takut mereka lengah dengan apa yang mereka bawa ataupun mereka kenakan.
Tak lama kemudian, seorang teman yang satu rombongan dengan saya memberi tahu, bahwa salah satu keluarga calon haji yang kami antar, tasnya sobek dengan bekas irisan silet sangat tajam. Dua buah ATM, satu HP dan uang tunai enam ratus ribu rupiah lenyap digondol copet.
Benar juga omongan pak polisi, bahwa tak semua orang yang datang ke tempat ini, berniat baik, walaupun nuansanya ibadah. Jika mereka yang datang berniat baik, tentu tak akan terjadi hal yang demikian. Termasuk berlaku di masjid-masjid, tentu tak akan ada sandal, sepatu dan juga motor hilang digondol maling. Padahal masjid ataupun tempat-tempat pengajian adalah simbol ketaatan kita kepada yang Maha Kuasa.
Boleh saja kita heran dengan kejadian-kejadian demikian. Tapi fakta menunjukan bahwa pencopet dan pencuri sekarang banyak membidik tempat-tempat yang secara lahir aman dari gangguan seperti itu
Semoga para pencopet, maling dan juga orang-orang yang berniat kurang baik di tempat-tempat ibadah segera mendapat hidayah dari Allah SWT. Dan tak akan mencopet ataupun mencuri lagi di tempat-tempat sakral seperti itu
Dan kepada para pengantar calon haji, serta para jamaah shalat dan pengajian di masjid-masjid, juga harus meningkatkan derajat tawakalnya kepada Allah dengan dibarengi usaha yang maksimal. Jangan karena kita datang ke tempat ibadah, ataupun ke tempat yang bernuansa ibadah, lantas kita hanya pasrah tapi tidak diikuti upaya ke hati-hatian. Kata Nabi, “Ikatlah untamu, baru engkau pasrah kepada Allah.” Maka himbauan pak polisipun sebanding lurus dengan hadits ini.
***

Sumber: Sus Woyo / Eramuslim
Menjadi Kaya dengan Memberi

Sebut saja namanya Izul, kawan sedaerah satu keberangkatanku ke Kairo ini adalah tipe orang yang supel. Wajahnya yang murah senyum membuat orang senang berteman dengannya. Sikapnya luwes, dan selalu ringan tangan untuk membantu siapa saja yang membutuhkan. Makanya tidak heran, ia memiliki relasi yang cukup banyak semasa dia berada di negeri kinanah tempat kami belajar sekarang.
Kebanyakan kawan Medan yang kujumpa di sini cenderung kurang bergaul dengan kalangan luar. Kecuali bagi sebagian mereka yang memang menekuni usaha bisnis kecil-kecilan di samping belajar. Atau juga mereka yang aktif di beberapa organisasi masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir). Ini sangat beda dengan kawan yang berasal dari daerah lain. Mereka lebih terbuka, dinamika belajarnya lebih tinggi, ya walaupun dari sisi akademis semuanya sama, tapi dilihat dari kreatifitas yang dibuat serta pergaulan yang ada, mereka bisa diandalkan.
Izul bukan orang yang kaya dari segi finansial, tapi bukan pula orang yang tak punya. Kehidupannya sama seperti kebanyakan mahasiswa kita. Namun yang saya perhatikan kebersahajaan dalam hidupnya lebih bernilai dari orang yang tergolong “punya”.
Hal yang paling dikenal darinya adalah sikap sigapnya jika di antara kita butuh flat untuk tempat tinggal. Ia banyak kenal dengan penduduk setempat, dan dari gurunya (orang Mesir) kita sering dapati flat yang lumayan bagus dengan harga terjangkau. Di samping itu, jika kita butuh bantuannya ketika ingin pindahan, maka ia berusaha selalu hadir di selah-selah kesibukannya.
Mungkin bisa dikatakan, dia bukanlah orang yang sering memberi bantuan uang kepada orang lain. Tapi, sumbangsih dalam pergaulannya sehari-hari membuat orang menaruh hormat dan banyak terima kasih. Prinsipnya, ia akan berusaha memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain. Sebab ia ingin menjadi orang yang terbaik seperti yang disebutkan rasul.
Dalam salah satu hadis disebutkan; seseorang akan diperlakukan bergantung pada bagaimana ia memperlakukan orang lain. Ungkapan ini cukup ma’ruf, dan realitanya yang berlaku juga seperti itu. Orang bilang, memberi dahulu baru menerima. Dalam masyarakat, orang akan dihormati manakala ia menghormati orang lain. Ia tidak akan diremehkan kalau ia selalu menghargai orang lain. Orang tua misalnya, pasti akan selalu dihargai oleh anaknya kalau mereka selalu menyayanginya. Seorang guru akan dihormati oleh murid-muridnya jika ia menaruh perhatian yang serius terhadap potensi yang dimiliki para muridnya.
Sikap memberi ini sangat dianjurkan oleh agama. Dalam hadis yang lain, rasulullah pernah memberitahukan bahwa Allah swt senantiasa memberikan pertolongan kepada hamba-hambanya yang gemar menolong sesama. Dalam Al quran juga diperintahkan agar kita senantiasa memberi pertolongan dalam hal kebaikan dan takwa.Berkaitan hal ini W. Clement Stone mengungkapkan; untuk mendapatkan lebih banyak kehidupan, pertama-tama anda harus memberi lebih banyak. Dalam prinsip ekonomi juga dikenal, untuk memperoleh pemasukan yang banyak harus melakukan produksi yang banyak pula.
Begitulah hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Makanya tidak heran kalau ada orang yang sering membantu, hidupnya akan lebih mudah sebab saat ia membutuhkan bantuan maka banyak orang yang mengulurkan tangan untuk membantunya.
Itulah kekayaan yang diperoleh dari memberi. Dengan memberi bantuan, diri kita akan menjadi kaya melalui jaminan dari bantuan orang lain. Bukankah salah satu karakteristik orang yang kaya adalah mereka yang saat butuh sesuatu maka mereka bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Dan kalaupun orang yang gemar memberi pertolongan ini tidak mendapat bantuan dari orang lain, namun Allah tetap akan membantunya dan akan memenuhi hajatnya di dunia dan akhirat.

Sumber:Fery Ramadhansyah / Eramuslim

Rabu, 19 November 2008

HaPe Ibuku...

Sederetan kata-kata muncul di layar Hand Phone-ku. “Nan, ini nomor HP ibu. Kemaren ibu beli HP dan tadi adikmu pasangkan kartunya. Telpon ibu ya..” Aku langsung membalas sms itu dan berjanji nanti akan menelpon beliau. Soalnya, saat ini tanganku lagi penuh dengan adonan tepung terigu. Aku di ruang makan. Aku menemui suami yang sedang asyik menyeduh teh di dapur. “Mas, coba tebak aku barusan menerima sms dari siapa?”. Suamiku menggeleng. “Dari ibu!”, seruku semangat.
“Wow, hebat. Alhamdulillah kalo gitu kita akan lebih mudah menghubungi beliau kalau kita kangen”. Kami berdua tersenyum. Tapi masih ada yang membuat aku bertanya-tanya. Maka dengan tidak membuang waktu lagi segera kucuci tangan dan kupencet HP ; menelpon ibu.
“Assalamu’alaikum… Bu, ini aku, Nana. Ibu apa kabar?”. Begitulah, siang itu aku menelpon ibu. Mengalirlah cerita bagaimana awalnya ibu ingin memiliki HP itu serta menjelaskan bagaimana ketidaksetujuan ayah dengan keinginan dan keputusan ibu tersebut. Tapi karena sayang sama ibu, ayah membelikan juga. Setengah hari itu aku sibuk memikirkan ibu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibuku yang telah berusia 62 tahun, tinggal di pelosok desa tapi memiliki HP.
Aku yakin sekali, pasti hanya ibu diantara ibu-ibu di kampungku yang memiliki HP. Di sana memang rata-rata dihuni keluarga petani, yang boro-boro mau punya HP, sedangkan penghasilan saja hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Kehidupan desa yang sangat bersahaja. Apalagi mengingat ini tahun 2000, harga sebuah HP masih mahal. Memang pernah terpikir untuk memasang telpon rumah tetapi kami masih menunda karena biaya pemasangannya juga cukup mahal.
Alhamdulillah, ayah dan ibu bertekad kuat menyekolahkan kami, sehingga kami berempat anak-anaknya semua bersekolah bahkan tiga diantara kami sudah menyelesaikan perguruan tinggi. Dan aku karena kehendak Allah, alhamdulillah sudah bekerja. Hanya saja perusahaan tempatku bekerja berada di provinsi lain. Jadilah aku berada jauh dari orang tua selama hampir tiga tahun ini. Deg, tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku tersentak. Astaghfirullah… aku seperti disadarkan oleh Allah. Apakah ini artinya aku tidak perhatian dengan kedua orangtuaku?
Sering kali seorang anak merasa telah ‘membalas’ jasa orang tua dengan mengirimkan sejumlah materi (uang) untuk mereka. Kita fikir, dengan begitu, seolah segala jasa orang tua sejak kita dilahirkan sampai kita mandiri sudah impas terbayar. Namun apakah cukup banyak diantara kita berpikir bahwa bukan hal itu semata yang mereka butuhkan? Melainkan sejumput perhatian sayang dari kita anak-anaknya? Saya yakin sekali, ibu membeli HP dengan maksud diatas. Ibu ingin sekali bisa sering-sering menelpon (atau ditelpon oleh) saya. Bisa dibayangkan, cuma saya anaknya yang berada jauh dengan mereka. Maka rasa kangen pasti sering kami rasakan.
Saya selalu menyempatkan diri untuk menelpon mereka sekali dalam 2 pekan. Namun memang sangat tidak nyaman hubungan kami via telpon selama ini, karena saya harus menelpon ke telpon rumah tetangga. Lalu telpon saya matikan dulu sementara tetangga akan memanggilkan orangtua saya kemudian kami baru bisa berbicara. Ini tentu saja akan merepotkan tetangga, walau mereka tidak pernah mengungkapkannya. Saya terbayang bahwa tidak selamanya tetangga saya di kampung itu memiliki waktu luang atau dengan senang hati memanggil orang tua saya untuk memberi tahu bahwa anaknya menelpon. Nah, apabila ibu memiliki HP, tentu masalah ini akan tepecahkan bukan? Kapanpun mereka ingin, bisa menghubungi saya. Tidak merepotkan orang lain, praktis dan cepat tentunya.
Terus terang hal ini belum terpikirkan oleh saya selama ini. Ada hal lain yang patut menjadi renungan kita bersama. Ternyata perhatian kita pada orang tua masih sangat kurang. Coba, berapa kali kita menelpon mereka untuk sekedar menanyankan kabar? Berapa sering kita mengucapkan sayang pada mereka, sehingga mereka tahu bahwa kita anak-anaknya memang sayang pada mereka? Astaghfirullah...sungguh sangat kurang hal itu hamba lakukan ya Allah.. Malam itu ketika kami sudah merebahkan diri di tempat tidur, saya berkata pada suami, ”Mas...kita memang senang karena ibu telah memiliki handphone. Tapi mungkin kita telah membuat beliau sedih karena kita kurang perhatian sama beliau. Yaa walaupun hanya perhatian dengan mengirim kabar berita lewat telepon”. Suami memandang saya,” Ya, Dek. Mulai saat ini ayuh kita sering-sering menelpon beliau ya. Buktikan bahwa kita adalah anak-anak yang menyayangi beliau. Tak peduli walau jarak kita jauh dengan beliau”. Kami tersenyum, insyaAllah kami berjanji. Semoga Allah memudahkan, amiin. Salam cinta dan sayang kami, untukmu ayah dan ibu

Sumber: Farhana / Eramuslim
Rahasia KeSyahidan Amrozi cs

Begitu Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas menjalani eksekusi mati tengah malam jam 00.15 pada tanggal 9 Nopember 2008 di Nusakambangan berbagai media Barat dan pro-Barat segera memberitakannya dengan suka-cita. Masyarakat Barat pada umumnya menganggap eksekusi mati ketiga muslim itu cukup memenuhi rasa keadilan, walaupun tidak mungkin menghidupkan kembali nyawa 202 korban jiwa efek ledakan Bom Bali.
Sebenarnya matinya tiga manusia di era penuh fitnah dewasa ini merupakan perkara biasa. Nyawa manusia kian tidak berharga. Inilah zaman dimana Nabi shollallahu ’alaih wa sallam telah sinyalir akan datang menjelang akhir zaman.
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ أَيَّامًا يُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ وَيَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيَكْثُرُ فِيهَا الْهَرْجُ وَالْهَرْجُ الْقَتْلُ
”Sesungguhnya menjelang hari kiamat akan datang hari-hari dimana ilmu diangkat sedangkan kebodohan merebak dan maraklah al-haraj, al-haraj, yakni pembunuhan.” (HR Bukhary 6539)

Lalu mengapa kita harus peduli dengan eksekusi ketiga muslim terpidana mati ini? Bukankah mereka merupakan parasit di tengah masyarakat yang telah menebar teror bahkan membunuh ratusan jiwa tidak bersalah di Bali? Begitulah opini yang dibangun secara sistematis oleh berbagai media Barat dan pro-Barat.
Sebelum eksekusi dilangsungkan, penulis tidak pernah memberikan perhatian terlalu serius terhadap ihwal Amrozi cs. Namun sesudah eksekusi berlangsung, apalagi setelah menyimak dan mengikuti liputan pemberitaan soal prosesi pemakaman ketiganya, maka penulis segera menyadari bahwa banyak pelajaran berharga yang harus dicatat.
Beberapa media memuat pemberitaan pemakaman secara biasa-biasa saja. Namun seluruhnya memberitakan bahwa lautan manusia -sekurangnya ratusan bahkan ribuan- turut menyolatkan dan mengantar jenazah ketiganya hingga ke pemakaman. Yang menjadi menarik ialah ketika sebagian media mewawancarai para pelayat. Bukan satu atau dua orang yang menceritakan adanya hal luar biasa yang mereka saksikan ketika hadir di ”rumah suka” (Catatan: fihak keluarga Amrozi-Mukhlas melarang menyebut tempat dimana jenazah disemayamkan sebagai ”rumah duka”). Di antara keunikan tersebut ialah fakta terciumnya aroma wangi, bahkan sebelum tibanya jenazah. Ketika jenazah tiba, aroma wangi tersebut menjadi lebih semerbak tercium oleh para pelayat termasuk para wartawan berbagai media yang hadir.
Di samping itu orang yang menyaksikan jenazah Imam Samudera ketika dimasukkan ke liang lahat melihat bahwa darah segar terus menetes dari balik kain kafan almarhum. Subhanallah..! Wajah ketiga jenazah disaksikan sebagai mirip orang yang sedang tidur dan jelas terlihat tersenyum seperti layaknya orang yang sedang tidur lelap tenggelam dalam mimpi indah. Belum lagi kesaksian para pelayat adanya tiga ekor burung beterbangan dengan indahnya di atas rumah dimana jenazah abang-beradik Amrozi-Mukhlas sedang disholatkan. Sebagian media mengabadikan gambar burung-burung tersebut saking menarik perhatiannya.
Apa yang bisa kita coba simpulkan dari fakta-fakta unik tersebut? Saudaraku, sesungguhnya semua hal ini mengindikasikan bahwa boleh jadi ketiga terpidana mati yang dikategorikan oleh kebanyakan manusia di muka bumi dewasa ini sebagai para teroris yang jahat, ternyata tidak dinilai Allah ta’aala sebagaimana penilaian manusia. Allah ta’aala tampaknya ingin memberitahukan kepada kita bahwa arwah ketiga muslim ini bukan saja sudah diterima dengan baik di sisi Allah ta’aala. Tetapi lebih jauh Allah ta’aala ingin melemparkan sinyal kepada kita manusia -yang seringkali sangat terbatas daya jangkau dan daya nalarnya- bahwa ketiganya merupakan manusia beriman yang telah meraih puncak penghormataan dari Allah ta’aala, yaitu disambut oleh para malaikat sebagai para syuhada.
Sungguh suatu ironi. Pada saat kebanyakan orang dengan mudahnya mencap mereka sebagai teroris dan pembunuh sadis berdarah dingin, malah Allah ta’aala justru memberikan kepada mereka penghargaan berupa penyambutan sebagai kumpulan manusia terbaik.
Ketika menegakkan sholat, seorang muslim wajib membaca surah Al-Fatihah. Ini syarat sahnya sholat seseorang. Tidak ada sholat tanpa membaca surah Al-Fatihah. Sedangkan di dalam surah tersebut kita mengajukan satu permohonan penting, yaitu:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka” (QS Al-Fatihah ayat 6-7)

Sementara di ayat lain lagi Allah ta’aala jelaskan jalan orang-orang yang telah Allah ta’aala anugerahkan ni’mat kepada mereka itu ialah orang-orang sebagai berikut:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
”Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa ayat 69)

Jadi, berdasarkan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa seorang muslim sangat ingin masuk ke dalam golongan orang yang taat kepada Allah ta’aala dan RasulNya secara istiqomah hingga dirinya akan bersama golongan orang-orang mulia dari kalangan para Nabi, pencinta kebenaran, para syuhada dan para orang sholeh. Artinya, tatkala ada salah satu dari golongan manusia mulia ini yang meninggal dunia, maka setiap muslim yang benar imannya pasti berharap dirinya bisa bersama mereka. Mustahil bagi seorang muslim untuk mencela para Nabi, pencinta kebenaran, para syuhada dan para orang sholeh. Apalagi mencap mereka sebagai teroris...!!
Di zaman Nabi dahulu ada seorang musyrik yang mengucapkan dua kalimat syahadat pada suatu pagi. Lalu siangnya ia berpartisipasi dalam jihad fi sabilillah memerangi kaum kuffar. Lalu ia menemui ajalnya hingga syahid dalam medan jihad tersebut. Ia belum sempat melakukan amal-ibadah maupun amal-sholeh apapun semenjak ia masuk Islam selain daripada berjihad hingga memperoleh mati syahid. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam kemudian bersabda: ”Itulah seorang yang modalnya sedikit namun untungnya banyak.” Artinya, seorang yang meraih mati syahid bukan berarti bahwa keseluruhan hidupnya sebelum syahid pasti layak dijadikan teladan. Kedudukan mati syahid adalah benar-benar karunia dari Allah ta’aala.
Untuk ketiga terpidana mati ini kita tidak bisa memastikan apakah mereka meraih mati syahid atau tidak. Tetapi beberapa fakta saat jenazah disholatkan dan dimakamkan menyajikan indikasi kuat bahwa ketiganya –insyAllah- mati sebagai para syuhada.
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا مِنْ كَلْمٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَهَيْئَتِهِ حِينَ كُلِمَ لَوْنُهُ لَوْنُ دَمٍ وَرِيحُهُ مِسْكٌ
”Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggamanNya, setiap tubuh yang terluka di jalan Allah, pada hari Kiamat kelak akan diperlihatkan sebagaimana keadaannya ketika ia terluka, warnanya merah darah dan aromanya harum semerbak minyak kesturi.” (HR Muslim 3484)
Ketika menjelaskan makna surah Ali Imran ayat 169 Abdullah bin Mas’ud berkata:
فَقَالَ أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ
“Arwah mereka (para syuhada) ada di dalam perut burung berwarna hijau. Sedangkan ruh-ruh tersebut memiliki beberapa pelita yang tergantung di ’Arsy. Mereka bebas menikmati surga, kapan saja mereka kehendaki. Setelah itu mereka singgah di dekat pelita-pelita tersebut.” (HR Muslim 3500)

Pertanyaan selanjutnya ialah: Apa rahasianya sehingga Allah ta’aala karuniakan Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas kemuliaan mati syahid?
Perlu diketahui bahwa kesalahan ada dua macam. Pertama, kesalahan dalam amal/perilaku. Dan kedua, kesalahan dalam sikap. Dalam bahasa Arab disebut dengan istilah:
الخطاء العملي و الخطاء الموقيفي
Kesalahan dalam amal/perilaku merupakan kesalahan yang disebabkan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang menyebabkan seseorang melakukan hal-hal yang dinilai tidak atau kurang bijaksana. Kesalahan jenis ini menimbulkan dampak negatif walaupun kategorinya tidaklah berat. Inilah jenis kesalahan yang bila di-istighfari oleh pelakunya dengan serius, maka insyaAllah Allah ta’aala akan mengampuninya.
Sedangkan kesalahan dalam sikap ialah bila seseorang bersalah karena menentang Allah ta’aala, RasulNya dan Islam dengan penuh kesadaran. Termasuk kesalahan dalam sikap ialah memberikan loyalitas kepada fihak musuh Allah dan sebaliknya membenci sesama orang-orang beriman yang istiqomah dan berjuang di jalan Allah ta’aala.
Menurut hemat penulis, ketiga tersangka ini boleh jadi punya kesalahan dalam amal. Mereka menempuh jalan radikal dalam mengekspresikan semangat amar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan kebaikan mencegah kemungkaran). Mereka berpandangan bahwa untuk memberantas kemaksiatan yang berlaku di masyarakat hendaknya lokasi kemaksiatan dibom.
Tapi benarkah bom yang mereka ledakkan telah menyebabkan tewasnya 202 jiwa tersebut? Bukankah saat ”bom kecil” mereka meledak sesungguhnya tidak ada korban jiwa yang terenggut karenanya? Sementara ketika ”bom besar” yang entah diotaki oleh siapa itu meledak, maka bom kedua itulah yang menyebabkan tewasnya ratusan orang? Suatu bom yang dinilai oleh para pengamat ahli bom sebagai tidak mungkin diracik oleh TNI atau POLRI sekalipun, jangankan lagi oleh ketiga terpidana mati tersebut. Bom kedua yang berdaya-ledak dahsyat itu disinyalir mengandung C4, suatu bahan yang sangat terbatas ketersediaannya. Hanya lima negara besar yang memiliki bahan C4, di antaranya Amerika dan Israel.
Kesalahan dalam amal lainnya yang mereka telah lakukan ialah tidak cukup baik menjaga kerahasiaan rencana mereka meledakkan bom kecil. Keteledoran mereka telah menyebabkan fihak lain dengan mudah ”mendompleng” dengan membuat ledakkan susulan yang jauh lebih dahsyat dan mematikan. Selanjutnya ditimpakan kesalahannya kepada ketiga saudara muslim ini. Lalu dengan konspirasi media-massa baik lokal maupun internasional Amrozi cs diasosiasikan sebagai penyebab matinya ratusan jiwa. Sementara otak sebenarnya di belakang ledakkan kedua yang dikategorikan sebagai micro-nuke (nuklir berskala mikro) tidak pernah terlacak bahkan tidak pernah dianggap ada samasekali...!!
Sedangkan kesalahan dalam sikap tidak pernah terindikasikan dari mereka bertiga ini. Sejak awal mereka diekspos oleh media mereka senantiasa menyatakan secara lantang al-wala (loyalitas) mereka hanya kepada Allah ta’aala, RasulNya dan Al-Jihad fi sabilillah. Bahkan mereka dengan gagah berani menyatakan al-bara (berlepas diri) dari fihak musuh-musuh Islam, yakni kekuatan global dunia yang diwakili oleh kaum Zionis-yahudi dan Salibis-nasrani dengan Amerika sebagai panglimanya. Tanpa keraguan mereka mengungkapkan kezaliman fihak Barat kafir di berbagai negeri Islam seperti Palestina, Afghanistan dan Irak. Ini sungguh keberanian yang luar biasa. Sesuai dengan hadits Nabi:
أَلَا إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Ketahuilah, sesungguhnya jihad yang paling utama ialah (menyatakan) kalimat haq (kebenaran) di hadapan penguasa zalim.” (HR Ahmad 10716)

Ketika saluran TV CNN menayangkan wawancara dengan Imam Samudera di bawah judul ”In the Mind of a Terrorist” dengan tegasnya beliau berkata: ”Apa yang kami lakukan hanyalah upaya membalas kezaliman Amerika Serikat dengan sekutunya yang telah membantai saudar-saudara muslim kami di berbagai belahan penjuru dunia seperti Palestina, Afghanistan dan Irak.” Allahu Akbar…!!
Di samping itu, ketiga muslim ini telah menunjukkan kesungguhan mereka dalam mengekspresikan ruhul jihad dan semangat ukhuwwah Islamiyyah yang tidak mengenal batas-batas geografis. Mereka telah ikut serta dalam jihad di bumi Afghanistan dan Ambon. Mereka telah menyerahkan pengorbanan harta dan jiwa di daerah bahkan negeri lain demi membela dan menjaga kehormatan kaum muslimin yang teraniaya oleh kaum kuffar. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjanjikan bahwa sepasang kaki yang pernah mengalami jihad di jalan Allah ta’aala akan menyebabkan neraka diharamkan untuk menyentuh mujahid tersebut.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اغْبَرَّتْ قَدَمَاهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُمَا حَرَامٌ عَلَى النَّارِ
“Barangsiapa yang kedua telapak kakinya berdebu di jalan Allah ta’aala, maka haram atas keduanya tersentuh api neraka.” (HR Tirmidzy 1556)

Bahkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda bahwa Allah ta’aala menjamin orang yang berjihad di jalanNya akan dimasukkan ke dalam surga.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَضَمَّنَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِهِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا
جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَإِيمَانًا بِي وَتَصْدِيقًا بِرُسُلِي فَهُوَ عَلَيَّ ضَامِنٌ أَنْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Allah ta’aala akan menjamin orang yang keluar (berjuang) di jalanNya, seraya berfirman: “Sesungguhnya orang yang berangkat keluar untuk berjihad di jalanKu, karena keimanan kepadaKu dan membenarkan (segala ajaran) para RasulKu, maka ketahuilah bahwa Akulah yang akan menjaminnya untuk masuk ke dalam surga.” (HR Muslim 3484)

Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas telah tiada. Mereka telah meninggalkan dunia fana dengan cara dieksekusi mati. Suatu eksekusi mati yang sarat konspirasi. Konspirasi bernama War On Terror. Konspirasi laksana nyanyian dipimpin oleh derijen Amerika dengan Zionisme Internasional sebagai not baloknya. Lalu seluruh dunia termasuk dunia Islam diharuskan menyuarakan kur bersama mengikuti irama nyanyian tersebut. Media-massa menjadi loudspeaker yang melabel mereka sebagai Para Teroris.
Padahal Allah ta’aala justru menyambut arwah mereka bertiga penuh penghormatan sebagai Asy-Syuhada. Subhanallah.... Maha Benar Allah dengan firmanNya di bawah ini:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ فَرِحِينَ بِمَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki, mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan ni`mat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat 169-171)

Sumber: Eramuslim

Selasa, 11 November 2008

Wanita Dicipta Untuk Dilindungi

Allah SWT tidak menciptakan wanita dari kepala laki-laki untuk dijadikan atasannya. Tidak juga Allah SWT ciptakan wanita dari kaki laki-laki untuk dijadikan bawahannya. Tetapi Allah menciptakan wanita dari tulang rusuk laki-laki, dekat dengan lenganya untuk dilindunginya, dan dekat dengan hatinya untuk dicintainya.
Allah tidak menciptakan wanita sebagai komplementer atau sebagai barang substitusi apalagi sekedar objek buat laki-laki. Tetapi Allah menciptakan wanita sebagai teman yang mendampingi hidup Adam tatkala kesepian di surga. Juga Allah ciptakan wanita sebagai pasangan hidup laki-laki yang akan menyempurnakan hidupnya sekaligus sebab lahirnya generasi, disamping tunduk dan beribadah kepada Allah tentunya.
Tetapi mengapa tetap saja ada laki-laki yang tunduk di bawah kaki wanita. Mengemis cintanya, berharap kasih sayangnya dengan menggadaikan kepemimpinan, bahkan kehormatan dan harga dirinya.
Wanita dipuja bagai dewa, disanjung bagai Dewi Shinta, yang banyak menyebabkan laki-laki buta mata, buta telingga, bahkan buta mata hatinya. Namun ada juga yang menganggap rendah wanita. Wanita dinista, dihina. Kesuciannya dijadikan objek yang tidak bernilai harganya. Tenaganya dieksploitasi bagaikan kuda. Kelembutannya dijadikan transaksi murahan yang tak seimbang valuenya.
Wanita dijadikan sekedar pemuas nafsu belaka, bila habis madunya, dengan seenaknya di buang ke keranjang sampah, atau dianggap sandal jepit yang tak berguna.
Jika wanita itu adalah ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, dan anak kita, relakah kita melihat mereka menjajakan diri di gelapnya malam yang mencekam. Relakah kita melihat mereka membanting tulang mengumpulkan ringgit atau real dengan mayat terbujur kaku sebagai resikonya?
Jika wanita itu adalah ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, dan anak kita, relakah kita membiarkannya seperti seonggok jasad hidup yang tidak memiliki nilai guna?
Jika wanita itu adalah ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, dan anak kita, relakah kita membiarkannya beringas, liar, ganas, tidak berpendidikan, bodoh, dunggu, hanya karena ketidakmampuan ayah memberi nafkah, karena ketidakmampuan kita medidik dan mencintainya, karena ketidakmampuan kita melindunginya, sebagaimana Allah menciptakan wanita dari tulang rusuk laki-laki, dekat dengan lengannya untuk dilindunginya, dekat dengan hatinya untuk dicintainnya.
Ia tetap wanita, yang diciptakan Allah SWT dengan segala kelebihan dan kekuranganya. Tidak bisa manusia dengan akalnya yang kerdil ini mengganti kedudukannya apa lagi fitrahnya. Ia bagaikan sekuntum bunga terpelihara, tidak semua kumbang bisa menghisap madunya. Lemah lembutlah dalam memperlakukannya, karena kalau tidak, ia bisa seganas srigala.

Sumber:elsandra/yelsandra@yahoo.com / Dudungnet
Tanganmu, Ibu

Ibumu adalah Ibunda darah dagingmu Tundukkan mukamu Bungkukkan badanmu Raih punggung tangan beliau Ciumlah dalam-dalam Hiruplah wewangian cintanya Dan rasukkan ke dalam kalbumu Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan (Emha Ainun Najib)
Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang. Ba'da Ashar,
"Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. "Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya
"Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya ke halaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.
"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah" pinta Ibu.
"Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas saya memandang Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.
Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu, siapa itu.?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang" pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.
Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya tilawah selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak hal?
"Dingin" bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus tilawah, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga. Adzan isya berkumandang,
Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara mushala kecil rumah. Seperti biasa surat cinta yang dibacanya selalu itu, Ad-Dhuha dan At-Thariq.
Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh Allah, sayangi Mamah" spontan saya memohon. "Neng." suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya, kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya.
"Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum maniss sekali. "Penyakit orang tua" "Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil yang katanya biar saya lebih semangat belajar.
Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung : Kau adalah gemerlap bintang di langit malam Bukan!, kau lebih dari itu Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana, Bukan!, kau lebih dari itu, Kau adalah benderang matahari di tiap waktu, Bukan!, kau lebih dari itu Kau adalah Sinopsis semesta Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan.. Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?..Pernahkah..?
Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang" Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening. ***
Bagaimana dengan kalian para sahabat? Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau ada, duduk di depan komputer dan membaca tulisan saya ini. Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau bisa menjadi seseorang yang menjadi kebanggaan. Engkau sangat tahu, dibanding siapapun juga. Maka, usah kau tunggu hingga tangannya gemetar, untuk mengajaknya bahagia. Inilah saatnya, inilah masanya.

Sumber: dudungnet
Perang Terhadap Pokemon di Saudi, Emirat, Jordania dan Mesir

Di Saudi, Jordania dan Mesir misalnya, bertebaran berbagai selebaran yang menyerukan umat Islam untuk mewaspadai produk film kartun Jepang yang kini banyak digemari oleh kalangan anak-anak tersebut.
Segala bentuk interaksi dengan permainan yang diciptakan di Jepang pada 1995 dan hak ciptanya dimiliki Nintendo ini di Saudi telah dilarang. Baik dalam bentuk informasi iklan, jual beli produk berupa gambar yang biasanya ada pada kaos atau alat sekolah, maupun emutaran filmnya sudah tidak ada di Saudi. Kondisi di Saudi juga terjadi di Emirat Arab.
Sementara di Jordania , selebaran anti Pokemon juga tersebar hampir di seluruh tangan para orang tua. Isinya antara lain menjelaskan sejumlah arti kata-kata yang digunakan dalam permainan Pokemon. Seperti kata Pokemon sendiri, menurut selebaran itu berasal dari bahasa Suryaniya, yang berarti "saya Yahudi". Ada lagi kata Pikachu, yang juga berasal dari bahasa yang sama, artinya "jadilah Yahudi sejati". Selain itu, ada beberapa kata dalam permainan ini yang bermakna hinaan terhadap Allah.
Meski setelah dikonfirmasi ke sejumlah pakar bahasa, umumnya mereka menolak anggapan bahwa kata Pokemon memiliki hubungan dengan bahasa Suryaniya. Artinya, anggapan yang tercantum dalam selebaran itu sendiri belum tentu benarnya. Tapi tetap saja sejumlah pemuda dan nak-anak Jordania telah melakukan aksi pembakaran massal terhadap barang-barang yang memuat gambar Pokemon. Masalahnya memang bukan hanya terkait dengan arti-arti yang belum tentu benarnya itu, permainan pokemon ternyata telah memberi cukup banyak dampak negatif di kalangan anak-anak.
Majalah Time (22 Nopember 1999) dalam cover-storynya menyebutkan : "POKEMON. For many kids it's now an addiction: cards, video games, toys, a movie. Is it bad for them?" Poke-mania atau kegilaan akan pokemon memang telah menghasilkan ketagihan bahkan kecanduan bagi anak-anak, apakah ini jelek untuk mereka? Dan mengapa hal ini dipersoalkan? Rupanya yang jelek dan dipersoalkan adalah kenyataan kandungan ketagihan itu, dan inilah yang akan didiskusikan dalam nomor makalah ini.
Wabah Pokemon sejak lahirnya sudah berdampak terhadap perilaku dan kondisi kejiwaan anak-anak. Di Jepang ketika pertama kalinya ditayangkan sebagai serial TV, serial Pokemon telah menjadi tayangan yang paling banyak dilihat anak-anak, tetapi dampak yang negatip segera terjadi. Pada bulan Desember 1997, 700 anak-anak Jepang dilaporkan meng-alami gejala semacam kesurupan dan pingsan secara serentak dan terpaksa dibawa ke rumah sakit, ketika menyaksikan tayangan Pokemon di TV, dimana dipertunjukkan bahwa Pikachu dan kawan-kawannya mendapat serangan bom dan dalam waktu sejenak kilatan-kilatan listrik yang saling susul terpancar dari pipi Pikachu ketika Pikachu menyerang balik dengan halilintar 'thunder bolt'nya!
Rupanya, disamping kilatan-kilatan cahaya itu mata merah pokemon lain yang berkedip-kedip ikut memberi andil terjadinya gejala mirip kesurupan di kalangan penonton anak-anak yang rata-rata masih kecil itu. Sebagai akibatnya, tayangan itu ditutup selama empat bulan selama pemeriksaan oleh yang berwajib, dan dalam masa itu Nintendo melakukan revisi-revisi dan penghalusan adegan-adegan keras film Pokemon. Namun, sekalipun sudah diperbaiki dan akhirnya diizinkan lagi untuk ditayangkan, tidak urung dampak-dampak lain dialami anak-anak yang menonton serial yang lagi digandrungi anak-anak itu.
Pokemon sendiri banyak diilhami oleh paham mistik Jepang. Kebanyakan karakter dalam permainan ini muncul dari kepercayaan tradisional Jepang, Shinto, Budha, Hindu, kepercayaan-kepercayaan timur lain, serta filosofi-filosifi New Ages (Zaman Baru). Permainan ini mencerminkan prajurit Jepang masa lalu yang hidup dalam kekerasan. Ini direproduksi dalam perjuangan pokemon menundukkan para pokemon lain lewat kekuatan fisik dan kekerasan.
Tiap pokemon memiliki ciri khas atau tipe tersendiri mewakili energinya. Saat ini ada 7 jenis pokemon, yaitu rumput/tanah, api, air, kilat, cenayang/gaib, berkelahi, dan bening/tak berwarna. Sejumlah 150 pokemon memakai kekerasan untuk mengalahkan pokemon yang lain. Bentuk-bentuk kekerasan ini antara lain adalah dengan menggigit/menggerogoti, menebas, menendang, semburan api, getaran gempa, sengatan listrik, racun, semburan cenayang/gaib, pelumpuhan/membuat cacat, dan sebagainya.
Disinilah ide bisnis pokemon berkembang, karena dalam setiap set kartu pokemon tentu tidak semuanya memuat pokemon yang dicari sehingga untuk mengkoleksi lengkap 150 pokemon yang berbeda harus dibeli banyak set kartu. Apalagi, motivasi bisnis para pengusaha menyebabkan banyak kartu yang berisi pokemon populer hanya dicetak sedikit, ditimbun lalu dijual mahal. Untuk Base Set 2, disediakan 130 kartu baru yang tentu dibuat lebih menantang dari Base Set 1 yang sudah menjadi best-seller dimana-mana.
Majalah Newsweek (1 Maret 1999) melaporkan kesaksian seorang ibu bernama Aura Thompson menghadapi anaknya Spencer yang berumur 8 tahun. Ia biasa membangunkan anaknya sebelum jam sekolah, tetapi ini agak sulit ketika demam Pokemon datang, sebab sekarang Spencer bangun jam 6.25 pagi untuk menonton acara 30 menit Pokemon di TV dan bila ramai mengulangnya di siaran lain pada jam 7.00. Sepulang sekolah, pencer langsung bermain 'video-game' dan sekarang ia mulai kecanduan kartu-kartu pokemon.
Shota Yonekura seorang remaja sekolah dasar berumur 13 tahun dalam kurun waktu tiga setengah tahun sudah memainkan video-game pokemon selama 1000 jam dan 500 jam bermain kartu pokemon. Shota memiliki 500 kartu seharga 0 atau sebesar delapan juta rupiah. Bayangkan untuk memperoleh seri pokemon lengkap sebanyak 150 buah Shota menghabiskan uang membeli sampai 500 kartu pokemon, karena tidak semua set kartu berisi kartu yang dicari. Majalah Time juga mencatat bahwa di New Jersey sekelompok orang-tua menuntut penjual kartu ke pengadilan karena mereka berusaha menimbun kartu-kartu sehingga kosong dipasaran dan anak-anak harus membeli set kartu yang lebih banyak.
Yang ditakutkan orang tua lainnya adalah obsesi anak-anak untuk membeli sebanyak mungkin kartu-kartu pokemon karena mereka menganggap bahwa dengan memiliki makin banyak kartu mereka akan makin kuat dan berkuasa atas lawan karena itu terkenallah slogan 'gotta catch'em all' (mereka semua harus ditangkap).
Kata-kata dalam lagu yang dinyanyikan di setiap akhir acara televisi mendorong anak-anak untuk tidak pernah melupakan kekuatan yang ada di dalam kartu-kartu pokemon. Perintah juga ada di setiap kartu pokemon: "Bawalah pokemon bersamamu, maka kamu akan tetap siap untuk apa saja! Di tanganmu ada kekuatan, maka pakailah itu!" Tentu saja anak-anak menempatkan perintah-perintah ini dalam hatinya dan secara fisik juga nyata dengan membawa kartu-kartu pokemon ke mana saja mereka pergi.
Sudah banyak di temui anak-anak membawa kartu-kartu ini saat ke sekolah maupun ke tempat-tempat lain. Anak-anak terdorong untuk melekat kepada kekuatan supranatural daripada kekuatan dari Tuhan. Dikatakan juga bahwa semakin banyak kartu yang dibawa akan semakin besar kekuatan yang diperoleh. Tidak bisa tidak kita bisa simpulkan bahwa pokemon telah menjadi idola dalam hidup mereka, menjadi lebih penting daripada Tuhan.
Penggunaan kartu-kartu pokemon sangat berpotensi membuka peluang bagi kuasa kegelapan menekan anak-anak, setidaknya, lewat aktivitas-aktivitas berikut :
Keterikatan, sadar maupun tak sadar, kepada hal-hal gaib yang ada di dalam rekaman-rekaman, kaset, buku, gambar, alat-alat, permainan, dan sebagainya.
Mencari atau memberi perhatian besar kepada kekuatan gaib dan pernyataan gaib
Kekaguman kepada kekuatan gaib, pernyataan gaib, dan hal-hal mistik secara umum
Menghindarkan diri kenyataan, lebih mengandalkan khayalan
Tertarik dan terpesona kepada kekerasan, terutama kekerasan yang melawan hukum
Meditasi dan hal-hal lain selain mengenal Tuhan dengan benar
Pemujaan atau hal-hal lain yang berkaitan dengan penyembahan mistik
Pokemon juga mengajarkan konsep dan filosofi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Misalnya kekerasan untuk memperoleh kekuasaan, evolusi (perubahan wujud makhluk hidup), konsep new age atau reingkarnasi dan kekuatan mistik, pemakaian barang gaib untuk memperoleh kekuatan yang melebihi musuh dan sebagainya. Bagaimana para pakar pendidikan dan tokoh agama di Indonesia? Menunggu dampak negatif dahulu?

Sumber : ia-wutsqo / Dudungnet

Minggu, 09 November 2008

Ridha Dengan Apa Yang Ada

Ada kebiasaan manusia yang sulit untuk ditinggalkan, bahkan seakan telah menjadi jati dirinya. Hari ini orang menyebutnya penyakit hedonisme. Lebih keren dan memojokkan lagi anak-anak muda menyebutnya matre. Biasanya kata ini meluncur dari seorang bujangan kepada lawan jenisnya yang cendrung matrealistis. Segala sesuatu diukur dengan materi. Sehingga kebiasaan ini menjadi sebuah persaingan pesat pada akhirnya berbuah pada penyakit cinta dunia yang berlebihan. Selalu ingin lebih dari tetangganya, berlomba mengejar materi. Sampailah ia lupa akan tujuan utamanya tercipta. Yaitu mengabdi kepada Allah Swt.
Allah Swt. dalam firmanNya: “maka terimalah apa-apa yang telah aku berikan padamu dan jadilah kamu termasuk dari golongan yang bersyukur.”(al-A’raf: 144)
Allah Swt. telah memberikan ladang bagi kita berupa kehidupan dialam dunia. Darinya kita dituntut mendayagunakannya dengan sebaik mungkin. Sehingga segala potensi diri yang kita miliki dari Allah Swt. menjadi tersalurkan. Hal itu bisa kita lakukan dengan sikap ridha dengan apa adanya. Sehingga berkeinginan untuk menggunakan apa yang ada secara sungguh-sungguh.
Allah Swt. dalam firmanNya: “Kami telah berikan kepada mereka ladang kehidupan mereka dialam dunia.” (al-Zuhruf: 32)
Seorang penulis asal Mesir Mahmud Al-Mashri menuturkan: “ridha adalah ibarat sebatang pohon kebaikan yang senentiasa disiram dengan air ikhlas dikebun tauhid. Akarnya/pondasinya adalah iman. Dahan-dahannya adalah amal shaleh dan nantinya ia akan membuahkan buah yang matang dan manis.”
Ke-tidakridhaan dengan apa yang Allah berikan kepadanya menyebabkan kesesakan dihati yang sulit dibendungi. Rasa ke-tidakpuasan selalu menjadi bayang-bayang dilayar otak. Kenyamanan hidup seakan begitu jauh dari pandangan mata zahir. Indahnya panorama dunia berubah menjadi kegersangan menghantui.
Karenanya, tak heran kalau nanti siapa saja yang terhinggap penyakit ini jatuh stres, prustasi dan bahkan sampai melenyapkan nyawanya. Wal’azu billah. Ia terhelus semilir angin dunia, membuatnya terlelap. Aksesoris duniawi telah menggiringnya menjadi penghambanya. Padahal, meski kita juga dituntut aktif dalam kehidupan duniawi, berbuat yang terbaik untuk diri dan orang lain, namun kita juga mesti ingat ada kehidupan abadi diakhirat kelak yang menanti. Kita tidak tahu dikelompok mana kita akan dikumpulkan.
Ibarat penumpang kapal laut. Kita tergolong kelas mana, ekonomi, bisnis atau apa. Nah, alam dunia adalah ladang bagi kita untuk mendapat kelas-kelas tersebut. Dan kita mau kemana? Kejurang atau ketaman? Kalau ketaman disana terbentang lebar jalan. Kalau mau merintis menuju jurang juga disana tersedia jalan.
Mengakhiri tulisan ini mari kita simak penuturan Hasan Al-Bashri berikut ini:“sesungguhnya kehidupan duniawi adalah tempat transit, dunia ibaratkan racun, orang akan menyantapnya dengan lahap karena kejahilannya (kelalaiannya), tapi yang mengetahuinya ia akan menghindarinya (tidak terlalu menomorsatukan dunia).”
Jika demikian, masihkah kita berlomba mengejar ‘racun’? atau kita memilih ‘madu’ ridha dengan apa adanya yang nantinya berbuah ketentraman jiwa? Semoga.
Wallahu a’lam bisshawab

Sumber: M.Harmin Abdul Aziz / Eramuslim

Jumat, 07 November 2008

Jamu Jilbab

Begitu banyak aktivitas ekonomi dhuafa di sekitar kita. Tapi terbayangkah jika seorang wanita harus berjalan kaki selama sekitar empat jam seorang diri, setiap hari. Belum lagi dengan ancaman pelecehan seksual yang mungkin terjadi.
Seperti itulah seorang penjual jamu gendong keliling di kawasan Jakarta Selatan. Berikut penuturannya kepada Eramuslim, termasuk kenapa ia mengenakan jilbab.
Nama Mbak?Lestari
Sudah berapa lama Mbak berjualan jamu gendong?Sejak saya lulus SMP
Usia Mbak sekarang berapa?Sembilan belas tahun.
Kenapa memilih dagang jamu daripada nerusin sekolah?Ya nggak ada biaya. Sebenarnya sih saya pingin sekolah lagi. Karena nggak ada biaya, biar adik saya saja yang terus sekolah.
Adik Mbak ada berapa?Satu
Sekarang sekolah di mana?SMP di kampung.
Kampungnya di mana?Boyolali.
Di Jakarta Mbak tinggal di mana?Di Tanah Kusir sama Mas (kakak, red).
Tiap hari Mbak dagang jamu?Ya. Kecuali Minggu, dagangnya sore.
Dari jam berapa Mbak keluar rumah?Dari jam tujuh pagi sampai jam sebelas siang.
Dari Tanah Kusir sampai ke Pondok Indah sini naik apa?Jalan kaki. Saya biasa keliling ke pelanggan ya dengan jalan kaki.
Berapa penghasilan per harinya Mbak?Lima puluh ribu.
Anak Mbak berapa?Saya belum menikah.
Sejak kapan Mbak pakai jilbab?Baru. Sejak bulan Ramadhan kemarin.
Kenapa Mbak pakai jilbab?Karena dalam Surah Al-Ahzab, Allah memerintahkan wanita muslimah untuk memakai jilbab supaya tidak diganggu.
Memangnya sering diganggu, Mbak?Waduh, sering. Tapi alhamdulillah, sejak pakai jilbab sudah tidak lagi. Paling-paling, mereka menggoda saya dengan salamu'alaikum.

Sumber: mnh / Eramuslim
Cermin

"Ternyata, aku cakep!" ujarnya setelah memastikan kalau bayangan itu memang benar-benar diri kancil sendiri. Dan, kancil pun melompat-lompat kegirangan. Tiap kumpulan hewan yang ia lalui seolah tersenyum memandangi dirinya. Bisikan yang selalu ia yakini pun mengatakan, "Kancil cakep, Ya! Kancil cakep!"
Begitu seterusnya hingga hewan periang ini menemukan genangan air yang lain. Warna air itu agak kusam. Beberapa dahan pohon yang mulai membusuk dalam air seperti memberi warna hijau pekat. Dan bayang-bayang yang dipantulkan genangan itu pun akan menjadi kusam.
"Hei, kenapa wajahku seperti ini?" teriak kancil sesaat setelah memandangi bayangan wajahnya dari permukaan genangan air itu. Ia jadi kian penasaran. Terus ia pandangi genangan itu seolah mencari detil-detil kesalahan. Tapi, bayangan itu tak juga berubah. Ia terlihat kusam, kumuh. Bulu-bulu coklatnya yang bersih tak lagi tampak seperti apa adanya. "Ternyata aku salah! Aku tidak cakep!" keluh kancil sambil beranjak meninggalkan genangan air.
Berjalan agak lunglai, kancil membayangkan sesuatu yang tak nyaman. Sapaan manis hewan-hewan yang ia lalui, terasa agak lain. Tiap sapaan seperti sebuah hinaan: "Kancil jelek! Sok cakep!" Itulah kenapa kancil selalu menunduk ketika berpapasan dengan siapa pun yang ia jumpai. Mulai dari kuda, kerbau, rusa, zebra, dan kambing. Ia merasa begitu rendah dibanding yang lain. Keriangannya pun berganti kesedihan. Pelan tapi pasti, bayang-bayang itu pun menjadi sebuah pengakuan. "Aku memang sok cakep!"
***
Hidup dalam sebuah kebersamaan adalah sama dengan memandangi diri dalam seribu satu cermin sosial. Masing-masing cermin punya sudut pandang sendiri. Bayangan yang ditampilkannya pun sangat bergantung pada mutu cermin. Tentu akan beda antara bayangan cermin jernih dengan yang kusam. Terlebih jika cermin itu sudah retak.
Memahami keanekaragaman cermin ini akan membuat seseorang seperti berjalan pada bentangan tambang di sebuah ketinggian. Ia mesti merawat keseimbangan: antara percaya diri yang berlebihan dengan rendah diri yang kebablasan. Percaya diri yang berlebihan, membuat langkah menjadi tidak hati-hati. Dan rendah diri yang kebablasan, membuat langkah tak pernah memulai.
Andai keseimbangan percaya diri ini yang dipahami kancil, tentu ia tak terlalu bangga dengan bayangan yang terasa begitu membuai. Karena di cermin yang lain, bayangan dirinya menjadi buruk. Sangat buruk. Andai keseimbangan ini yang dipegang kancil, insya Allah, ia tak akan jatuh.

Sumber: mnuh / Eramuslim
Puyuh

Di sebuah tepian hutan, seekor burung puyuh muda sedang termenung. Tiap hari, ia menghabiskan siangnya untuk cuma tergolek di atas bayangan dahan. Ia kerap membandingkan dirinya dengan siapa pun yang tertangkap lewat penglihatannya.
Suatu kali, serombongan anak itik berlalu bersama induknya. Mereka begitu asyik menikmati pagi yang cerah. Satu per satu, rombongan keluarga itik itu menceburkan diri ke telaga. Mulai dari sang induk, hingga semua anak itik tampak berenang penuh riang.
"Andai aku seperti itik...," ucap si puyuh miris. Itulah komentar pertama dari tangkapan penglihatannya. Sontak, ketidakpuasan pun menyeruak. "Enak sekali jadi itik. Bisa berenang. Bisa mencari makan sambil bersantai!" keluh kesah puyuh pun tak lagi terbendung. Ia sesali keadaan dirinya. Jangankan berenang, tersentuh air pun tubuhnya bisa menggigil.
Tak jauh dari telaga yang rimbun, seekor burung kutilang tiba-tiba hinggap di sebuah dahan. Ia seperti memakan sesuatu. Setelah itu, sang kutilang pun terbang tinggi ke udara.
Puyuh muda lagi-lagi berandai. "Andai aku bisa seperti kutilang!" keluhnya pelan. "Enaknya bisa melihat bumi dari atas sana. Bisa menemukan makanan sambil menikmati indahnya udara lepas," ucap si puyuh sambil tetap tak beranjak dari duduknya. Ia pun melirik sayap kecilnya. Sayap itu ia gerakkan sebentar, dan si puyuh duduk lagi. "Ah, tak mungkin aku bisa terbang!"
Masih dalam posisi agak berbaring, si puyuh mendongak. Ia seperti menatap langit. "Tuhan, kenapa kau ciptakan aku tak berdaya seperti ini! Tak mampu berenang. Tak bisa terbang!" ucap sang puyuh mengungkapkan isi hatinya.
Entah datang dari mana, tiba-tiba pemandangan sekitar telaga penuh dengan asap hitam. Udara menjadi begitu panas. Pengap. "Api! Api! Hutan terbakar!" teriak hewan-hewan bersahutan. Tanpa aba-aba, semua penghuni telaga menyelamatkan diri. Ada yang berenang. Ada yang terbang. Dan ada yang berlari kencang. Kencang sekali.
Menariknya, dari sekian hewan yang mampu berlari kencang justru si puyuhlah yang di barisan depan. Langkah cepatnya seperti tak menyentuh bumi. Ia berlari seperti terbang. Saat itulah, ia tersadar. "Ah, ternyata aku punya kelebihan!" ucap si puyuh menemukan kebanggaan.**
Hidup dalam kerasnya belantara dunia kadang membuat seseorang tak ubahnya seperti burung puyuh. Merasa diri tak berdaya. Tak punya sayap untuk terbang meraih cita-cita. Tak punya sirip untuk berenang melawan badai kehidupan. Tak punya taring untuk melindungi diri dari para pesaing.
Kalau saja ia mau menggali. Karena pada kaki kecil potensi diri, boleh jadi, di situlah ada kekuatan besar. Sekali lagi, gali dan kembangkan. Perlihatkanlah kegesitan kaki potensi yang teranggap kecil itu. Dan jangan pernah menunggu hingga 'kebakaran' datang. Karena bisa jadi, api bisa lebih dulu sampai.

Sumber : mnuh / Eramuslim
Pace

Tak banyak buah yang punya pengalaman buruk seperti pace. Sebelum tahun sembilan puluhan, buah yang biasa disebut mengkudu ini nyaris tak punya kebanggaan sedikit pun. Jangankan manusia, kelelawar pun tak sudi mencicipi. Selain baunya apek, rasanya pahit. Pahit sekali!
Belum lagi dengan bentuk buah yang aneh. Bulatnya tidak rata, dan kulit buah ditumbuhi bintik-bintik hitam. Warnanya juga tidak menarik. Mudanya hijau, tuanya pucat kekuning-kuningan. Berbeda jauh dengan apel, jeruk, mangga, dan tomat. Selain kulitnya mulus, warnanya begitu menarik: hijau segar, merah, dan orange.
Sedemikian tidak menariknya pace, orang-orang membiarkan begitu saja buah-buah pace yang sudah masak. Pace tidak pernah dianggap ketika muda, tua; dan di saat masak pun dibiarkan jatuh dan berhamburan di tanah; membusuk, dan kemudian mengering. Pace sudah dianggap seperti sampah.
Kalau saja pace bisa bicara, mungkin ia akan bilang, "Andai aku seindah apel merah. Andai aku seharum jeruk. Andai aku semolek tomat!" Dan seterusnya.
Perubahan besar pun terjadi di tahun sembilan delapan. Seorang pakar tumbuhan menemukan sesuatu yang lain dari pace. Kandungan buahnya ternyata bisa mengobati banyak penyakit: kanker, jantung, tulang, pernafasan, dan lain-lain. Orang pun memberi nama baru buat pace, morinda citrifolia.
Sejak itu, pace menjadi pusat perhatian. Ia tidak lagi diacuhkan, justru menjadi buruan orang sedunia. Kini, tidak ada lagi pace masak yang dibiarkan jatuh dan berhamburan. Ia langsung diolah dengan mesin canggih higienis, dan masuk golongan obat mahal. Kemuliaan pace sudah jauh di atas apel, jeruk, apalagi tomat.**
Jalan hidup kadang punya rutenya sendiri. Tidak biasa, lompat-lompat, curam dan terjal. Seperti itulah ketika realitas kehidupan memperlihatkan detil-detilnya yang rumit.
Di antara yang rumit itu, ada kebingungan menemukan tutup peti potensi diri. Semua menjadi seperti misteri. Ada yang mulai mencari-cari, membongkar peti; bahkan ada yang cuma menebak-nebak sambil tetap berpangku tangan. Dalam keputusasaan, orang pun mengatakan, "Ah, saya memang tidak punya potensi." Seribu satu kalimat pengandaian pun mengalir: andai saya...andai saya...andai saya, dan seterusnya.
Kenapa tidak berusaha sabar dengan terus mencari-cari pintu peti potensi. Kenapa tidak mencari alat agar peti bisa terbongkar. Kenapa cuma bisa menebak kalau peti potensi tak berisi. Kenapa cuma diam dan menyesali diri. Padahal boleh jadi, kita bisa seperti pace yang punya potensi tinggi. Sayangnya belum tergali.

Sumber: mnuh / Eramuslim
Mental-mental Sakit di Sekitar Kita

Malam itu, saya membaringkan badan dengan menahan rasa melilit di sekitar perut. Mata berusaha saya pejamkan, tetapi rasa sakit yang intensitasnya makin sering terjadi itu mencegah saya dari tidur yang saya idamkan. Makin malam, rasa sakit itu makin menjadi-jadi. Sekitar pukul 2 malam, isteri saya menghubungi seorang dokter dan ia merekomendasikan suatu obat untuk meredakan rasa sakit itu.
Belum lama saya menelan tablet simpanan yang dianjurkannya, saya merasakan mual yang tertahankan. Secara reflek, langkah kaki saya menuju ke kamar mandi. Saya muntah-muntah dan menumpahkan semua isi perut di sana. Setelah isi perut itu tertumpahkan, badan terasa lebih lega.
Esok harinya, hari Ahad, perut saya masih terasa melilit namun sebentar timbul-sebentar tenggelam. Badan sedikit demam, pertanda masih adanya suatu perlawanan atas benda asing di dalam tubuh. Sore hari, saya memeriksaan diri ke dokter terdekat. Alhamdulillah, setelah mengkonsumsi beberapa obat, rasa sakit yang melilit itu berangsur-angsur hilang dan kondisi saya mulai membaik meski harus banyak istirahat. Dokter mengatakan saya mengalami infeksi usus, yang boleh jadi karena dampak dari suatu makanan yang saya konsumsi.
Senin pagi, saya menghubungi seorang rekan yang menemani saya bertugas di Bandung hari Senin hingga Jum’at sebelumnya. Ternyata ia mengatakan sakit juga. Tetapi ia berusaha berangkat ke kantor agak siang jika kondisinya lebih baik. Mendengar penuturannya yang hendak berangkat ke kantor meski badan merasa tidak enak, saya pun berusaha tidak memanjakan rasa sakit dan berusaha berangkat ke kantor juga.
Saat kami bertemu di kantor, saya tidak mengabarkan kalau dua hari terakhir saya menderita sakit. Saya langsung menanyakan bagaimana kabar sakitnya itu. Saat saya tanya barangkali ada makanan yang salah, ia langsung mencurigai sebuah tempat makan di Bandung yang menyebabkannya sakit itu. Saat itulah saya baru sadar, bahwa sakit yang saya alami dua hari terakhir, kemungkinan disebabkan oleh makanan serupa yang dimaksud oleh rekan saya itu.
“Pak, kayaknya kita sakit karena makan gudeg itu dech pak!”
Saya langsung ingat dan menimpali,
“Oh iya. Kamu mungkin benar. Saya ingat, sebelum makan gudeg itu, saya mencium bau tidak enak pertanda bahwa gudeg itu mungkin sudah dimasak berulang-kali. Warnanya pun sepertinya sudah tidak segar lagi.”
“Iya Pak, soalnya saya mikir-mikir telah makan apa ketika saya sakit kemarin. Dan yang mungkin ya karena makan gudeg itu Pak!”
Ya, selama sepekan di Bandung itu, kami merasa telah berkunjung ke tempat makan yang cukup bersih dan sehat. Kecuali ketika malam menjelang kami balik ke Jakarta, kami mengunjungi pusat jajan di sudut kota. Di sana, karena kami tidak menjumpai masakan yang pakai nasi selain nasi gudeg, maka kami memesan nasi gudeg itu.
Dampak dari makanan bermasalah itu, baru kami rasakan besok sorenya. Kami tiba ke rumah masing-masing dalam kondisi tidak nyaman. Kondisi itu berlanjut hingga esok harinya. Nampaknya makanan itu mengandung bibit penyakit yang kemudian berinkubasi di dalam tubuh. Kemudian pada saat yang tepat, bibit penyakit itu menyerang kami hingga kami demam dan mengalami kondisi yang serba tidak nyaman.
***
Kecurigaan kami terhadap makanan sebagai biang penyakit tersebut bukanlah kecurigaan yang tanpa dasar. Saat ini kejahatan manusia melalui penjualan makanan yang tidak layak konsumsi, sering saya jumpai. Baru-baru ini, isteri saya berbelanja beberapa ekor ikan di pasar sebagai variasi dari menu daging ayam yang biasa dikonsumsi. Ketika ikan-ikan itu sampai dirumah dan diperiksa lebih detail, ternyata ikan tersebut sudah tidak segar dan sangat mungkin mengandung bahan formalin. Kasus-kasus serupa cukup banyak terjadi dan sering saya saksikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang lebih miris adalah makanan yang beredar di kalangan anak-anak yang dijual oleh para penjaja di pinggir jalan dan di sekitar sekolahan. Seringkali mereka menggunakan zat warna/kimia yang berlebihan. Mereka sama tidak menyadari akan arti komposisi bahan dan dampak negatif yang bakal ditimbulkannya. Makanan kemasan yang berlabel halal saja, seringkali masih belum layak jika ditinjau dari segi ke-thoyyiban-nya. Telebih makanan yang tidak berlabel sama sekali.
Tentu tidak semua makanan itu membahayakan dan tidak baik. Namun kondisi marak beredarnya makanan yang mengancam kesehatan ini seyogyanya menjadikan kita lebih waspada terhadap makanan yang kita beli dan konsumsi. Nampaknya pengaruh budaya materialisme yang merusak tata kehidupan bermasyarakat, begitu merasuk dalam jiwa-jiwa yang hampa dari nilai-nilai keimanan. Jangan-jangan hasil riset yang mengatakan bahwa satu dari empat orang di Indonesia mengidap penyakit mental, adalah benar adanya. Dan mereka yang berusaha mengambil keuntungan dengan tidak memperhatikan kepentingan orang lain, adalah salah satu dari mereja yang mengidap penyakit mental tersebut. Sungguh memiriskan.
Kewajiban kita dalam memerangi penyakit mental ini, adalah amanah dari Allah SWT sebagaimana telah diamanatkan kepada Nabi Syu’aib, jauh sebelum Rasulullah SAW lahir ke dunia. Allah SWT berfiman,
Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan adzab hari yang membinasakan (kiamat)." (QS 11:84)
Motif utama dari mengurangi timbangan adalah mengambil keuntungan dengan mengorbankan kepentingan orang lain (konsumen). Hal ini tidak ada bedanya dengan mereka yang menjual barang busuk dengan menampakkannya sebagai sebagai barang bagus atau menyembunyikan cacatnya itu. Intinya, mereka berusaha menuai keuntungan dengan menipu konsumen, padahal asas utama jual beli yang diperintahkan Allah SWT adalah transparansi dan kejujuran.
Kini kita melihat bahwa adzab yang ditimpakan Allah SWT kepada kita begitu nyata. Sakitnya saya dan rekan saya itu adalah sebagian kecil saja dan sangat ringan. Dalam kasus lain lain, banyak anak manusia yang menjadi korban meninggal atau derita fisik yang cukup parah karena berawal dari mengkonsumsi makanan yang merusak, baik yang timbul secara tiba-tiba ataupun yang timbul setelah beberapa waktu yang cukup lama.
Semua berawal dari mental-mental yang sakit, bermula dari jiwa-jiwa yang kosong dari nilai keimanan, sehingga mereka merasa nyaman dengan menikmati keuntungan di atas penderitaan orang lain. Bahkan mereka tidak menyangka bahwa Allah SWT menurunkan adzab-Nya bukan karena siapa-siapa, melainkan karena ulah-ulah mereka. Naudzubillah min dzalika.
Rasa sakit yang kami derita membawa ibrah yang demikian besar. Semoga Allah SWT meneguhkan keimanan kita sehingga darinya Allah SWT membimbing kepada jalan-jalan penegakkan keadilan. Amin.
Waallahu'alam bishshawaab

Sumber: Muhammad Rizqon / Eramuslim

Kamis, 06 November 2008

Istiqamah Hingga Akhir Hayat

Yang sangat menarik dan dapat kita saksikan serta mungkin kita alami sendiri dalam bulan Ramadhan adalah peningkatan intensitas beribadah. Masjid yang biasanya sepi, mengalami peningkatan jama’ah sholat yang luar biasa.
Orang berlomba-lomba menginfaqkan hartanya dalam bentuk zakat atau shadaqah. Yang biasanya jarang tadarus dan tadabbur Al Qur’an, berubah menjadikannya sebagai kegiatan rutin harian. Fenomena yang sama dapat diamati pada jama’ah haji.
Sangat disayangkan, sebagian besar tidak bisa mempertahankan kondisi demikian setelah Ramadhan berlalu ataupun setelah kembali ke tanah air dari tanah suci.
Terkait dengan fluktuasi ibadah dikenal suatu istilah yang mungkin jarang kita dengar, yaitu futur. Futur adalah penurunan semangat dan gairah dalam beribadah. Hal ini bisa dialami oleh siapa saja. Dalam kadar yang ringan, gejala futur ditandai dengan kemalasan dan kejenuhan dalam melakukan ibadah. Selanjutnya, timbul keengganan untuk berbuat kebaikan.
Jika tidak terdeteksi secara dini dan tidak ditanggulangi dengan segera, futur akan menjadi semakin parah. Biasanya akan dibarengi dengan penurunan kualitas iman. Dampak negatif yang tidak bisa dianggap sebagai hal yang biasa. Dalam kondisi ini, seseorang akan berhenti menjalankan ibadah dan berhenti berbuat kebaikan.
Selanjutnya akan timbul dorongan untuk melakukan kemaksiatan. Bahkan, dalam kondisi yang ekstrim, seseorang bisa kehilangan karunia nikmat Allah SWT yang paling utama yaitu Iman dan Islam. Suatu musibah besar dan sangat merugikan seseorang. Tidak disadari bahwa futur telah mendistorsi kehidupan, dan berakibat penyimpangan dari jalan-Nya.
Jika dikaji lebih mendalam, ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya futur. Pertama, rendahnya kadar keikhlasan mengharap ridho Allah SWT dalam beribadah. Setitik noktah riya’ di hati akan menjadikan ibadah tidak bernilai di sisi-Nya. Kedua, tidak memahami dengan benar tuntunan syariat dalam beribadah. Sehingga diperlukan kemauan dan ketekunan untuk selalu mempelajari ilmu agama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadis dan menerapkan secara konsisten.
Media dan cara untuk pembelajaran ilmu agama sangat beragam. Harus dilakukan pemilihan yang tepat dan sesuai untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ketiga, terlalu membebani diri dalam beribadah sehingga menjadi rutinitas yang yang berat dan membosankan. Jika ibadah dilandasi dengan mahabbah (kecintaan), khauf (takut) dan raja’ (harap) kepada Allah, ibadah akan menjadi kebutuhan dan bukan merupakan beban yang berat.
Memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan, futur harus diwaspadai agar tidak terus berkembang lebih jauh di dalam diri kita. Ada beberapa tuntunan yang bisa diamalkan untuk mengatasi futur.Rasulullah SAW bersabda : "Setiap aktivitas ada saat-saat semangat untuk terus-menerus melakukannya dan setiap semangat ada saat-saat lemahnya.
"Barangsiapa yang lemah semangatnya kemudian mengikuti sunnahku, maka sesungguhnya ia akan menang. Dan barangsiapa lemah semangatnya kemudian ia tidak mengikuti sunnahku, maka dia akan celaka." (HR Ahmad). Ini adalah resep mujarab untuk mengatasi semangat dan gairah ibadah yang berfluktuasi.
Rasulullah SAW juga pernah ditanya tentang amal yang disukai oleh Allah SWT. Beliau menjawab : “Amal yang paling disukai oleh Allah SWT adalah amal yang dilakukan secara rutin walaupun sedikit.” (HR Bukhari & Muslim). Suatu tuntunan yang sangat jelas untuk membimbing kita agar selalu istiqamah dalam menjalankan ibadah.
Dua hadis di atas secara konkrit memberikan solusi yang efektif dalam mengatasi futur. Di samping itu ada dua do’a yang perlu diamalkan. Pertama, dari Al Qur’an : "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS Ali Imran[3] : 8). Kedua, diajarkan oleh Rasulullah SAW : ” Wahai Dzat yang membolak-balikkan kalbu, tetapkanlah kalbuku atas agama-Mu. ” (HR Tirmidzi).
”Dan beribadahlah untuk Tuhan-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS Al Hijr[15] : 99). Istiqamah dalam beribadah hingga akhir hayat adalah suatu keniscayaan yang bisa diraih. Hanya saja diibutuhkan modal keteguhan iman, sehingga timbul ketekunan dan kesabaran dalam mengahadapi halangan, rintangan dan godaan yang bisa menerpa setiap saat, sebagai ujian bagi orang beriman

Sumber: Sigit Indriyono / Eramuslim