Rabu, 13 Mei 2009

Biarlah Rindumu Kau Bawa Hingga ke Tidur Panjangmu

Pagi itu saya masih tiduran santai dikamar kost yang mungil, tiba -–tiba ada bunyi sms di Hp saya. Saya segera mengambil Hp dan membuka isi sms yang ternyata dari kakak saya yang dikampung. “Innalillahi Wainna Ilaihiroojiun….” Spontan kalimat itu keluar dari bibir saya sementara hati saya sangat kaget, sedih dan terharu. Isi sms dari kakak saya itu ternyata kabar duka tentang meninggalnya salah satu kerabat saya yang masih berusia 13 tahun.
Dia adalah anak lelaki yang baru duduk dikelas 5 SD, anak pertama dari salah satu kerabat saya (cucu dari sepupu saya). Sejak dia berusia balita kedua orangtunya sudah berpisah (Cerai). Entah apa penyebabnya, mungkin alasannya kalsik yaitu perbedaan prinsip, saya tidak tahu pasti. Selama sepuluh tahun lebih Angga tinggal bersama neneknya dikampung sedangkan mamanya lebih sering merantau ke jakarta untuk memberikan jasanya kepada orang yang memerlukan jasanya untuk mengurus pekerjaan rumah mereka. Itu semua ia lakukan demi menghidupi anak semata wayangnya kala itu.
Dari kecil sudah terbiasa hidup terpisah dari kedua orang tuanya dan mungkin itu yang membuat dia berpikir lebih dewasa dari anak -–anak seusianya. Waktu itu meski dia masih Tk, tapi dia sudah belajar memelihara hewan ternak seperti ayam dan entok (dalam bahasa jawa). Bahkan dia mampu memahami mana hewan piaraanya dan mana yang milik neneknya. Ternyata dibalik pembawaannya yang pendiam itu dia mampu berpikir dewasa untuk membantu beban mamanya yaitu dengan mengumpulkan uang yang ia punya untuk belajar beternak. Dengan tujuan apabila sewaktu -–waktu dia butuh uang maka dia bisa menjual hewan ternaknya itu tanpa meminta kepada mama atau neneknya.
Usianya semakin bertambah maka semakin bertambah pula pola pikirnya. Di usianya yang sudah 13 tahun, dia sudah mulai memikirkan tentang kehidupan sehingga dia merasa membutuhkan dan kangen terhadap bapak kandungnya yang sudah bertahun-tahun berpisah dan hampir lost contac. Sampai pada suatu saat dia sakit parah dan berhenti sekolah, dia terpaksa harus tinggal kelas karena selama berbulan-bulan sakit dan tidak bisa masuk sekolah.
Meskipun sempat dia sembuh dan ketika lebaran kemarin dia sudah terlihat lebih sehat dan ikut berkeliling bersilaturahmi ke tetanga-tetangga bersama saudara-saudaranya yang lain. Waktu itu saya ikut bersyukur ternyata Allah masih memberi kesembuhan padanya. Apalagi jika melihat mukanya yang kelihatan berseri-seri waktu itu, saya makin terharu. Tapi ternyata Allah memilki rencana lain, Lebaran itu adalah lebaran terakhir kali untuk dia dan terakhir kali saya melihatnya.
Beberapa bulan setelah lebaran saya sudah kembali lagi bekerja di Jakarta, secara saya tidak tahu lagi bagaimana perkembangan kesehatannya saat itu. Yang saya tahu mamanya sudah menikah lagi dan waktu lebaran sudah mengandung beberapa bulan dan mereka hidup rukun dengan bapak tirinya yang baru. Senang saya mendengar cerita tentang keakraban dia dengan bapak tirinya yang mana dulu dia sempat tidak setuju jika mamanya menikah lagi. Waktu itu dia sedang sakit parah, menyadari kondisi kesehatnnya yang sudah minim dia mengatakan kepada mamanya bahwa mamanya boleh menikah tapi kalau Allah sudah memanggilnya.
Tapi Allah maha pembolak-balik hati bagi hamba yang dikehendakinya, maka menikahlah mamanya dengan seijin dia. Sampai pada suatu hari saya mendapat sms dari kakak saya bahwa mamanya melahirkan 2 anak perempuan kembar tetapi yang satu lahir secara normal di rumah dengan dibantu bidan dan dukun beranak sedangkan yang satunya lagi harus lahir secara Caesar di Rumah sakit karena detak jantungnya yang lemah. Jarak Rumah sakit itu cukup jauh sekitar 30 km dan jika ditempuh dengan kendaraan roda empat sekitar 1,5 jam. Saat itu perasaan saya campur aduk, seneng, sedih, cemas dan haru.
Beberapa hari setelah mamanya melahirkan saya dapat kabar bahwa mamanya masih harus dirawat dirumah sakit. Sedangkan adik kembar yang kedua sudah dibawa pulang. Dalam keadaan kesehatan yang belum terlalu pulih dia harus membantu neneknya untuk merawat kedua adik kembarnya. Meskipun usianya masih sangat belia namun tanggung jawabnya begtu tinggi untuk merawat kedua adiknya. Ternyata sebelum ibunya melahirkan mereka sudah berencana untuk bersilaturahmi ke bapak kandungnya yang mana sudah sangat dirindukannya. Untuk kesekian kalinya Allah berkehendak lain atas dirinya.
Selama beberapa hari bahkan mungkin sudah hitungan minggu, setiap malam dia harus siap terjaga untuk mangganti popok maupun membuatkan susu untuk adeknya sementara anak-anak seusianya yang lain masih tertidur pulas tanpa rasa was-was. Tapi meskipun begitu, dia masih lebih peduli kepada neneknya sampai suatu malam salah satu adiknya sangat rewel dia berkata kepada adek kecilnya itu “ Dek udah jangan rewel terus, kasihan nenek cape merawatmu”. Padahal dia sendiri waktu itu kesehatannya sudah mulai drop lagi, mungkin karena terlalu cape dan kurang tidur sampai dia mengeluh kepalanya pusing. Tak disangka ternyata sakitnya ini kambuh parah dan untuk yang terakhir kalinya.
Dini hari sekitar jam 2 adalah awal klimaks penderitaannya untuk yang terkahir kali. Dia sudah pasrah dan selalu mengeluh tidak kuat, sambil menahan sakit dia memohon “ Ya Allah jika memang kau berkehendak memanggil hamba saat ini maka berikanlah hamba kemudahan dan panggillah hamba secepatnya jangan kau siksa hamba seperti ini….” Mungkin dia sudah merasa bahwa ajalnya sudah dekat, dan orang-orang disekitarnyapun sangat panik dan ikut menangis melihat penderitaannya, bagitu juga salah satu adik kembarnya yang biasa dia handle dalam perawatannya, dia menangis sepanjang malam seolah ikut merasakan penderitaan kakaknya dan tidak ingin berpisah darinya. Pagi hari kalau tidak salah hari kamis sekitar pukul 5.30 WIB Allah SWT. memanggilnya tuk kembali kepangkuan-Nya. Innalillahi Wainna Ilaihiroojiun “sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada Allah lah kita akan kembali”.
Dihari yang cerah bermandikan sinar matahari pagi yang hangat kau bawa kerinduanmu kepada bapak kandungnmu hingga ke tidur panjangnmu…… Namun tak mengapa, Insya Allah kau akan mendapatkan kasih sayang yang jauh melebihi kasih sayang ayah kandungmu di dunia. Semoga Allah menerima amal ibadahmu dan mengampuni segala dosa-dosamu, menempatkanmu di tempat yang mulia. Semoga saat ini kau telah menemukan cinta dan kasih sayang Allah yang hakiki dan kebahagiaan yang abadi di Syurga nanti…..Amin….
Untuk keluarga yang ditinggalkan semoga diberi ketabahan dan kekuatan atas kepergiannya dan semoga kedua adek kembarnya bisa menjadi anak yang solehah yang selalu mendo’akan kebaikan untuk kedua orang tua dan untuk kakaknya Amin…… Ya Robbal A’lamin…..

Sumber: Singgih H /Eramuslim
Hari Ini, Mungkin Kita Ada Dalam Daftarnya

Mungkin diantara kita ada yang sudah ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai. Ditinggalkan oleh istri, anak, saudara, teman, sahabat bahkan orang tua kita untuk selama-lamanya. Mereka telah di panggil oleh Allah SWT yang Maha Pencipta, yang telah memberikan nikmat hidup dan menentukan jatah hidup di dunia bagi tiap-tiap hamba-Nya. Tak perlu berlama-lama kita dalam kesedihan karenanya. Jadikan itu sebagai nasehat kauniyah kepada diri kita, bahwa tiap-tiap jiwa yang bernyawa akan merasakan mati.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Qs. Ali ’Imraan:185)
Tak ada yang kekal di dunia ini, semua bersifat fana. Orang-orang yang kita cintai, harta, tahta, semua yang kita miliki semua fana tak ada yang abadi. Hanya ada dua perkara di dunia ini, ditinggalkan atau meninggalkan. Istri, anak, saudara, teman, sahabat bahkan orang tua kita, bisa kita yang ditinggalkan terlebih dahulu oleh mereka atau kita yang meninggalkan mereka terlebih dahulu. Tinggal menunggu ketetapan Allah SWT atas tiap-tiap diri kita.
Begitupun harta, tahta, atau semua yang kita miliki, bisa kita yang ditinggalkannya lebih dahulu atau kita yang meninggalkannya lebih dahulu. Ditinggalkannya lebih dahulu karena harta, tahta, atau semua yang kita miliki adalah cuma titipan yang diamanahkan Allah SWT kepada kita. Sewaktu-waktu Allah SWT bisa saja mengambilnya kembali dari kita. Mengambilnya dengan bangkrutnya usaha kita, terkena PHK dari pekerjaan, diberikan ujian sakit yang membutuhkan biaya banyak, atau dengan hal-hal yang lainnya.
Atau kita yang meninggalkan semuanya itu lebih dahulu, karena memang jatah hidup kita di dunia yang fana ini sudah berakhir. Semua yang kita miliki tidak ada satupun yang dapat kita bawa, kecuali amal baik dan amal buruk yang telah kita lakukan selama hidup di dunia. Semuanya itu seberat apapun amal baik dan amal buruk yang kita bawa akan diminta pertanggungjawabannya kelak di yaumul hisab.
”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. Al Zalzalah:7-8)
Niatkanlah setiap langkah hidup kita hanya untuk mencari keridhaan-Nya. Mensyukuri nikmat hidup yang telah diberikan Allah SWT kepada kita untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Tentunya kita semua menginginkan ketika meninggalkan dunia ini dalam keadaan Khusnul khatimah.
Bila Izrail datang memanggilJasad terbujur di pembaringanSeluruh tubuh akan menggigilSekujur badan kan kedinginan
Gambaran dari syair nasyid tersebut adalah keadaan pada saat akan datangnya sakaratul maut, tetapi ketika sakaratul maut itu sudah waktunya, takkan terbayangkan dahsyat rasa sakitnya, seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.” (HR. Tirmidzi)
“Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek?” (HR. Bukhari)
Begitulah dahsyatnya sakaratul maut, yang bisa datang kepada kita kapan saja dan dimana saja, ketika kita sedang berbaring, ketika kita sedang berdiri, ketika kita sedang melakukan ibadah kepada-Nya atau bahkan ketika kita sedang melakukan maksiat kepada-Nya, Naudzubillahi min dzalik...
Hari ini, mungkin kita ada dalam daftarnya malaikat Izrail, ketika Allah SWT memerintahkannya maka detik itu juga malaikat izrail beraksi melaksanakan tugasnya.
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya….”(Al Munafiqun:11)
Wallahu a’lam bishshawab

Sumber: Addy Aba Salma/Eramuslim

Kamis, 07 Mei 2009

Adaptasi Pasangan Muda
Ketika pesta sudah usai, tenda sudah digulung, kerabat yang datang sudah kembali ke rumah masing-masing, kado sudah dibuka, dan pengantin tinggal hanya bersama keluarga terdekat mereka, maka adaptasi babak pertamapun dimulailah sudah. Ketika sejumlah momen kegembiraan sudah berganti menjadi momen ”hari-hari biasa”, maka perjalanan tersebut baru saja dimulai bagi pasangan baru tersebut.
Tahun-tahun pertama menikah merupakan tahun-tahun adaptasi. Itu pendapat para pengamat dan komentator soal pernikahan dan keluarga.
Orang umum menganggapnya sebagai masa bulan madu, menandakan romatisme, kesan akan manisnya hari-hari yang akan dilalui. Apalagi bagi pemuda dan pemudi Muslim yang sebelumnya ”berpuasa” menahan diri dari romantisme dan pacaran yang tidak halal, tidak heran jika bayangan bulan madu sedemikian menjanjikan bagi mereka.
Apakah selalu manis? Apakah selalu indah dan romantis?
Wahai para calon pengantin, jika itu yang kalian bayangkan dan tidak mengantisipasi kenyataan, maka kalian akan terkejut. Bulan madu pasti indah, namun jangan pernah lupa bahwa ini dunia fana.

Pernikahan, layaknya dua manusia bersatu dalam sebuah lembaga, akan mengalami pasang dan surutnya. Itu pasti.
Sebagaimana yang bisa kita lihat dari arti doa yang disunnahkan kia ucapkan untuk pengantin:
Semoga Allah berkahi kalian berdua dalam masa bahagia dan smoga Allah berkahi kalian berdua dalam masa sulit dan semoga Allah selalu himpun kalian berdua dalam kebaikan (di dunia & di Akhirat).
Dari doa yang diajarkan oleh Nabi kita SAW ini jelaslah bahwa pasangan suami istri akan mengalami masa bahagia dan juga masa sulit. Yang terpenting adalah selalu hadirnya keberkahan daam masa seperti apapun dan juga penting untuk selalu ”berhimpun dalam kebaikan”.
Ketika pesta sudah usai, tenda sudah digulung, kerabat yang datang sudah kembali ke rumah masing-masing, kado sudah dibuka, dan pengantin tinggal hanya bersama keluarga terdekat mereka, maka adaptasi babak pertamapun dimulailah sudah.
Ketika sejumlah momen kegembiraan sudah berganti menjadi momen ”hari-hari biasa”, maka perjalanan tersebut baru saja dimulai bagi pasangan baru tersebut.

Jika pada masa pra-nikah kedua sejoli masing-masing baru mengenali “daftar sifat”, maka pada hari-hari pertama hingga ke pengahabisan tahun pertama, sifat-sifat tersebut barulah muncul satu persatu.
Bukan hanya sifat keduanya yang segera muncul, namun juga berbagai aspek lain. Jika sebelumnya sudah ada perbedaan “kufu”, maka mosaik persoalannya segera mengemuka.
Berikut ini adalah beberapa aspek yang berpotensi muncul sebagai masalah dalam adaptasi pasangan suami istri yang baru menikah:
Perbedaan latar belakang sosial ekonomi; Perbedaan tingkat pendidikan; Perbedaan usia yang amat jauh; Perbedaan suku/ras/budaya; Berinteraksinya sifat-sifat keduanya; Perbedaan ideologi maupun agama, jika sebelumnya hal ini tidak diperhatikan; Perbedaan selera makanan, gaya bersantai, sikap terhadap waktu, dll
Pendek kata segala hal mungkin/berpotensi menjadi masalah antara keduanya sebab pada hakekatnya persatuan dua insan pasti butuh penyesuaian.

Lantas, jika segala hal dapat menjadi sebab persoalan, apakah itu berarti pernikahan merupakan suatu langkah yang nekat?

Menikah merupakan tuntutan fitrah, sehingga betapapun ada tantangannya, tetap saja pernikahan adalah kebutuhan. Persoalan adapatasi bukan merupakan suatu momok yang sangat menakutkan, terutama ketika calon pengantin sebelum menikah sudah mempersiapkan diri untuk itu.

Perbedaan latar belakang sosial ekonomi pada hakekatnya bukan masalah besar jika keduanya hidup di budaya terbuka dan modern, apalagi di perkotaan. Terutama ketika keduanya mempunyai latar belakang pendidikan yang sama, misalnya, dulu teman se-kampus. Selama keduanya sadar akan aspek perbedaan ini dan dapat saling menghormati, maka keduanya hanya perlu saling tenggang rasa terhadap berbagai perbedaan kebiasaan pasangannya ini. Contoh:
Ani (nama samaran) berasal dari keluarga berada khas golongan menengah ke atas di kota besar, sedangkan Toto, suaminya, berasal dari keluarga petani desa. Keduanya bertemu di kampus. Kembang kampus ini bersedia menikah dengan Toto sebab ia dikenal anak sholeh di kampus. Dengan agama dan akhlak yang baik ini pulalah kedua orangtua Ani menerima lamaran Toto. Tekad mengabaikan perbedaan latar belakang sosial ekonomi demi mengutamakan agama dan akhlak ini sudah dipertimbangkan kedua orangtua Ani maupun kedua orangtua Toto sebab para orangtua ini sadar bahwa yang terpenting adalah agama dan akhlak. Hari-hari pertama menikah pasangan muda ini tinggal di rumah orangtua Ani di kawasan elit Jakarta dengan segala fasilitasnya yang super modern. Kejadian lucu adalah ketika pertama kali Toto berkenalan dengan peralatan kamar mandi di rumah mertuanya. Tak terbiasa dengan sanitari super modern, Toto tidak tahu bagaimana menyalakan keran air dan bahkan bagaimana membuka pintu kamar mandi.....
Mungkin saja ia ditertawakan oleh adik-adik iparnya saat itu, namun jika Toto berkepribadian terbuka dan lega hati iapun dapat mengatasi persoalan ini dengan mudah. Dengan menenggang menantu baru ini, kedua orangtua Ani kemudian mengganti peralatan sanitari di ruang keluarga dengan model yang lebih ”umum” sehingga Toto maupun sanak keluarganya yang datang dapat dipersilahkan ke toilet ini saja. Hal kecil seperti ini jika tidak disikapi dengan tenggang rasa kedua pihak dapat menjadi tumpukan duri dalam daging. Satu pihak akan merasa tertekan dan pihak lain merasa kesal dan merendahkan. Jika harga diri sudah disinggung, persoalan dapat meruncing dan setan dengan mudah mengganggu keduanya.
Menyadari jurang perbedaan ini, Toto memutuskan untuk pindah rumah ke kontrakan satu pintu dan segaja ia pilih di wilayah yang dekat dari rumah mertuanya meskipun di lingkungan lebih sederhana. Di kontrakan mungilnya Ani dapat sedikit-demi-sedikit menyesuaikan diri menjadi istri Toto dengan latar belakangnya yang sederhana. Ketika ia mulai hamil muda dan kembali agak manja, ia dapat kapan saja pergi bertandang ke rumah ibunya untuk sekedar menikmati AC dan jus stroberi maupun apel yang dibuat pelayan ibunya. Toto mengizinkan istrinya melakukan hal ini karena sadar istrinya perlu waktu untuk diajak hidup sederhana, terutama ketika sedang ’ngidam’ (hamil muda) yang sering kali lebih sensitif. Ketika saatnya pulang kampung ke desa, Ani sudah dapat bersabar dengan kipas angin dan bahkan kipas bambu, juga dengan wc jongkok di desa. Makan sederhana lesehan di kontrakan juga membuat ia tidak lagi canggung makan lesehan di bale bambu di teras rumah mertuanya.
Kunci keberhasilan adaptasi sosial ekonomi terletak pada tekad untuk sama-sama mementingkan agama dan akhlak. Jika orangtua Ani tidak mempunyai sikap yang sama, bisa jadi merekalah yang akan memanas-manasi Ani untuk tidak dapat bertenggang-rasa dengan keluarga suaminya maupun dengan ”kebiasaan kampung” suaminya seperti misalnya kebiasaan makan tanpa sendok garpu, maupun kebiasaan makan comot sana sini di meja makan. Ani sangat butuh dukungan keluarga untuk tetap mementingkan yang penting dan memaklumi yang kurang penting. Demikian juga Toto.
Kunci keberhasilan ini (mementingkan agama dan akhlak) juga dapat diterapkan pada perbedaan latar belakang budaya dan suku. Misalnya keluarga Kraton Solo menikah dengan orang Batak asli, dimana yang satu biasa berbicara sangat teratur dengan hirarki bahasa dan juga sering berbahasa tidak langsung, sedangkan satu lagi terbiasa blak-blakan (terang-terangan) dengan suara keras dan lepas. Bahkan biasanya yang berbudaya Jawa pertama kali seringkali terkejut karena volume suara yang bebas lepas ini.
Persoalannya kembali kepada tenggang rasa.
Kedua pihak pada gilirannya akan salaing menyesuaikan diri. Toto akan belajar bagaimana kebiasaan yang ”dapat diterima” dan ”kurang dapat diterima” di rumah mertuanya, sementara Ani belajar hal yang sama di rumah mertuanya namun dengan arah yang berbeda.
Demikian juga dengan perbedaan budaya dan suku, yang asli Jawa lama kelamaan akan belajar menerima suara keras dan gaya terus terang sementara yang Batak mulai belajar merendahkan volume sambil mempelajari apa makna-makna dalam bahasa sindiraan.
Toleransi kedua pihak, artinya kedua pihak perlu sama-sama mengendurkan saraf dan saling terbuka satu sama lain sambil memasang sikap siap beradaptasi menyesuaikan diri satu sama lain.
Toleransi ini sangat tepat untuk konteks seperti di atas, BUKAN, sekali lagi BUKAN untuk bertoleransi masalah perbedaan agama dan ideologi.
Sumber: Eramuslim

Rabu, 06 Mei 2009

Lelaki Lelah di Depan Masjid

Entah siapa namanya, aku tidak bertanya. Tapi dia terlihat berdiri dari tadi di depan masjid. Wajahnya tidak seperti orang Jepang. Aku pikir ia orang Turki.
“ Maaf, ada Mr. Harun di dalam ? “ tanyanya padaku. Walaupun ia mencoba ramah, tapi ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Aku berlari ke dalam mencari Mr. Harun yang di maksud.“ Tidak ada Mr. Harun,” kataku. Ia terlihat sangat gelisah seakan ingin aku mencari dengan lebih seksama. Aku menurutinya. Namun keluar dengan jawaban yang sama. Mr. Harun, orang Pakistan yang ia cari tidak ada. Aku menyuruhnya menunggu di dalam namun ia menggeleng.Dengan gelisah dan hampir menangis ia berkata, “…baiklah kalau begitu, aku akan tunggu disini sampai Mr. Harun datang. Aku tetap akan menunggu disini sampai bertemu dengannya.” Ada yang tidak beres dengannya, pikirku. Aku kedalam masjid dan menceritakan tentang lelaki tadi pada seorang sister.
Alhamdulillah, sister yang lembut perasaannya itu menghubungi istri mr. Harun melaporkan keadaanya. Dan alhamdulillah Mr. Harun akan datang.Lalu sister yang lembut perasaannya itu keluar menemui lelaki tadi. Agak lama ia berbicara. Saat sister itu kembali, ia mengatakan bahwa lelaki yang belum menjadi muslim itu ibunya adalah seorang Norwegia dan ayahnya orang Jepang. Ibu bapaknya tak percaya Tuhan. Tapi ia percaya Tuhan.“ Saya orang jahat…, tapi saya percaya Tuhan…” ujarnya lirih.
Dan kini ia sedang berada dalam kegelisahan dan kesedihan yang sangat. Saat ini seakan tiada tempat yang ia inginkan kecuali bersama Tuhannnya. Dan kini ia sedang menunggu satu satunya orang tempat curahan hatinya, Mr. Harun Jam menunjukan pukul setengah lima sore. Aku harus bergegas pulang. Saat aku dan sahabat lainnya bersiap akan pulang di depan, ia menyapaku dan meminta maaf atas sikapnya saat ini yang tidak bisa tersenyum ramah.
“… Tapi saat ini saya gelisah sekali, sayapun tak tau kenapa, saya tidak bisa mengontrol perasaan ini. Perasaan sedih, gelisah , benci pada semua orang disekitar saya, saya sangat tersiksa dan saya tidak tau mengapa ini bisa terjadi. Yang saya tau saat ini saya harus berdo’a pada Tuhan. “Dengan wajah yang gelisah, yang hampir menangis, ia menceritakan kelelahan hatinya. Aku dan sister memutuskan untuk menemaninya sampai ia bertemu Mr, Harun. Ia, seorang pencari Tuhan yang terdampar di masjid ini, berharap menemukan yang dicarinya.
“… Saya baru kehilangan pekerjaan. Sebentar lagi liburan panjang, dan orang orang akan tersenyum senang dengan liburan Golden Week mereka. Sedangkan saat ini saya dalam keadaan tidak kerja, tidak punya tempat tinggal, homeless, dan terpuruk dalam kesedihan dan kegelisahan. Saya akan merasa sangat tersiksa menyaksikan kegembiraan orang orang nanti.”
“ Raga saya berat untuk mengerjakan kebaikan. Saya kehilangan semangat untuk apapun. Dalam hati saya seperti ada sebuah batu besar yang hitam sekali. Hati ini berat sekali. Saya lelah sekali. Lelah untuk membawa hati ini. Lelah untuk membenci orang-orang disekitar saya. Lelah dengan kebencian ini. Lelah untuk kegelisahan ini. Hati saya letih. Tapi Tuhan akan menolongkan yah ?”Tanyanya berkali- kali dijujung kalimatnya untuk memastikan, ingin di yakinkan , ingin di kuatkan. Nafasnya yang tidak sedap dan tidak teratur, tangannya yang gemetar sibuk bercerita. Suaranya yang bercampur lelah jiwa dan raga dengan perut kosongnya yang tak disi entah sejak kapan. Sejak menjadi gelandangan ia tidur di mana saja. Entah di taman, di stasiun atau di bawah jembatan.
Jauh dilubuk hati ini, ada kesedihan yang mendalam. Entah apa yang saya rasakan saat mendengarnya, saat melihatnya. Apakah ia sebuah jiwa yang cukup berharga untuk di tolong ? Bolehkan saya pergi saja membiarkan dia disini sendiri ?
Teringat saat Ibnu maktum r.a yang buta datang menemui yang tercinta Rasulullah S.A.W dan memotong pembicaraan beliau dengan para pemuka Quraisy. Rasulullah S.A.W begitu mengharapkan para tokoh-tokoh Quraisy itu menyambut seruannya untuk masuk Islam. Karena beliau membayangkan akan banyak orang Qurais yang masuk Islam apabila para pemimpinnya masuk Islam. Rasullulah merasa terusik dengan kehadiran Ibnu Ummi Maktum. Perasaan tidak nyaman itu terlukis di mukanya yang putih berseri. Secara spontan Rasulullah berpaling dari Ibnu Ummi Maktum, dengan bermasam muka. Tapi setelah beliau kembali seorang diri, hati kecilnya menjadi resah dan beribu pertanyaan memenuhi benaknya: Salahkah perbuatanku tadi???
Tiba-tiba Allah pun menegur kekasih-Nya :"Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya. Dan apa yang memberitahukan kau, ba¬rangkali ia orang yang bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna baginya. Tapi kepada or¬ang yang serba cukup itu. Engkau menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak bersih hati. Tetapi orang yang bersungguh-sungguh datang. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah memperhatikan peri¬ngatan itu. Dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Dijunjung tinggi dan di¬sucikan. Yang ditulis dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang bersih." ( Abasa 1-16).
Lelaki yang berdiri didepanku yang bercerita dengan nafas yang tersenggal senggal ini juga adalah sebuah jiwa, yang berharga , yang harus diselamatkan sekuat tenaga.
Langit di sore itu makin haru membiru. Seiring detik waktu yang berjalan cepat. Terkadang angin musim semi semilir berhembus. Aku harap aku menemukan suatu kata yang dapat menentramkan ia. Jiwa yang gelisah.
“….Allah menyayangimu. Buktinya adalah sekarang kamu ada disini, didepan masjid ini. Walaupun kamu merasa bukan sebagai orang yang baik dan selalu mengerjakan keburukan-keburukan, tapi sesungguhnya entah kau sadari atau tidak, pastinya ada suatu ruangan penuh dengan kasih di dalam hatimu. Sehingga Allah menunjukan jalan kesini, ke masjid ini. Sekarang kamu ada disini, didepan masjid ini. Kamu tau apa artinya itu ? Itu artinya Allah menyayangimu. Allah memanggilmu. Jadi jangan berhenti. Teruslah berusaha untuk mendapatkan hidayahNya. Datanglah sesering mungkin sampai kau dapatkan hidayahNya. Jangan menyerah. Jangan kau lari kemanapun kecuali ke masjid ini saat hatimu gundah. Bertahanlah. Saat kau dapatkan kedamaian itu, kau tak akan mau menukarnya dengan apapun. Karena harganya seluas langit dan bumi. Saat itu kau akan berterimakasih padaNya telah memberikan kegelisahan ini sehingga kau mendekat pada Nya. Percayalah, kau akan mendapatkannya kalau kau berusaha, karena dulu akupun mengalami hal yang sama, ” kataku meyakinkannya. “ Gambatte… ( berusahalah sekuat mungkin).”
Alhamdulillah, Mr. Harun telah datang. Semoga lekaki lelah itu cukup terisi dengan percakapan kami tadi. Aku dan sister berhati selembut sutra melangkahkan kaki meninggalkan masjid.
Sore itu di musim semi membuat kami berdua termenung. Hati kami seakan mengatakan hal yang sama. Setiap hari sekitar 300 orang melakukan bunuh diri di Jepang. Entah melompat ke rel kereta, ataupun dengan cara lainnya. Alasan mereka sama, putus asa . Putus asa dari rahmat Allah, Tuhan yang tak pernah mereka kenal. Entah kehilangan pekerjaan, ataupun tak puas dengan dirinya. Semoga saat ia dilanda gelisah, tak ada tempat yang ia datangi kecuali rumah Sang Pemilik Rahmat.Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang. Hanya bila Ia ingin nyatakan cinta, rasanya seperti tertusuk duri-duri belati. Namun janji-Nya selalu pasti. Bersabarlah..., karena orang yang bersabar dan ikhlas berserah diri akan memenangkan cinta Nya.
Tiada yang bisa kami lakukan selain do’a. Semoga Allah membukakan pintu rahmat-Nya pada lelaki itu, lelaki lelah di depan masjid.

Sumber:Nuniek Miyasaka /Eramuslim
Zaman Apakah Yang Berlaku Kini?

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang khusu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatanya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. Al-Azhab. 35)
Ayat di atas bisa jadi telah menjadi inspirasi banyak perempuan akan persamaan hak dan kewajiban sebagai hamba Allah. Jika laki-laki bebas menuntut ilmu, perempuanpun demikian. Jika laki-laki bisa bekerja mencari rezeki, perempuanpun bisa bekerja mencari rezeki. Hari ini kita melihat banyak perempuan-perempuan yang melanjutkan pendidikannya hingga S2 dan S3 baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak juga pos-pos penting dalam sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh seorang perempuan. Hampir tidak kita temui lagi sekat antara laki-laki dan perempuan dalam segala urusan, keduanya memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk maju dan berkembang.
Diantara perbedaan yang semakin tipis itu, ada sebuah kenyataan yang tidak bisa dinafikkan oleh apapun bahwa perempuan memiliki peran ganda yang menyebabkan langkahnya dibatasi oleh fitrahnya yaitu hamil, melahirkan, menyusui dan menjadi madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknnya.
Saya sedang menyelesaikan program doktor ketika saya menikah beberapa tahun lalu. Saat itu boleh dikatakan saya adalah seorang workercholic. Sambil menyusun disertasi saya bekerja kadang sampai malam, bahkan sabtu minggu kalau ada proyek pasti saya “sikat”. Waktu itu saya sendiri, tidak ada suami yang harus saya tunggu untuk disiapkan secangkir teh hangat kala dia pulang bekerja. Tidak ada bayi yang harus disusui dan membutuhkan belaian serta kasih sayang.
Rumusan tentang keluarga dan karir telah saya petakan sedemikian rupa sebelum menikah. Saya berharap rumah tangga saya adalah inspirasi dan cahaya buat masyarakat, sakinah, mawadah dan rahmah. Saya ingin anak-anak saya hari ini adalah pemimpin kelak di zamannya. Untuk cita-cita besar ini ada suatu sikap besar yang harus saya pilih yaitu mendahulukan kepentingan keluarga di atas karier yang terbentang luas. Harganya tentu tidak murah, perlu keikhlasan dan pengorbanan agar harapan saya hari ini menjadi kenyataan hari esok.
Saya memutuskan berhenti bekerja, pilihan yang tidak populis bagi sebagian orang. Diantara kesibukkan menyelesaikan disertasi suatu tugas penting berhasil saya tunaikan yaitu memberi ASI ekslusif untuk kedua bayi saya. Alhamdulillah kedua anak saya tumbuh dan berkembang di atas anak rata-rata seusia mereka, jarang sekali sakit bahkan si kecil hingga 19 bulan usianya kini belum pernah ke dokter. Sungguh saya bersyukur pada Allah atas karunia ini.
Saya bangga melihat perkembangan perempuan hari ini, bisa sekolah tinggi dan bekerja di tempat yang baik. Tapi ada satu hal yang membuat saya sedih, tingginya pendidikan perempuan dan pekerjaan yang mapan menghalanginya menjalankan fitrahnya memberi ASI hingga anak-anaknya berusia 2 tahun. Saya saksikan teman-teman yang juga sedang mengambil doktor dengan berbagai alasan tidak menyusui anaknya. Sering juga saya temui karena alasan pekerjaan seorang ibu tidak menyusui anaknya, bahkan diantaranya ada dokter dan perawat.
Pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang mapan apakah kemajuan atau sebuah kemunduran? Jika seorang ibu menganti ASI-nya dengan susu formula karena alasan sedang melanjutkan pendidikan atau karena bekerja berarti ia telah mengingkari fitrah keperempuanannya, ia telah mengabaikan amanah Allah. Maka tidak heran hari ini kita sering mendengar ada anak yang membangkang kepada orang tuanya, ada anak yang tidak nurut kepada ibu bapaknya, ada anak yang nakal dan prilaku negatif anak lainnya bisa jadi disebabkan karena ibu melawan fitrahnya, ibu tidak menyusui anaknya malah mengantinya dengan susu sapi. Sering juga kita saksikan di rumah sakit, puskesmas penuh dengan anak-anak dengan berbagai macam penyakit. Bisa jadi rentannya mereka terhadap penyakit karena anak-anak kita tidak memiliki daya tahan tubuh yang baik disebabkan sejak bayi sang ibu tidak memberi ASI dengan sempurna.
Ya Allah zaman apakah yang sedang berlaku hari ini? Berilah kesadaran kepada perempuan (setinggi apapun pendidikan dan kariernya) bahwa memberi ASI adalah kewajibannya bagaimanapun kondisinya.
Yuuuu beri anak-anak kita ASI ekslusif hingga 6 bulan dan lanjutkan hingga 2 tahun.

Sumber: Yesi Elsandra /Eramuslim
Pembelajar Sesungguhnya

Kini kau terlihat tenang, ku tahu masa kecilmu begitu tampan, pintar, lincah. Kau menjadi kebanggaan semua orang, harapan orang tua mu begitu besar akan masa depanmu. Kau yang taat beribadah, shalat 5 waktu tak pernah kau lalaikan, saum-saum wajib dan sunnah tak pernah kau tinggalkan.
Bukan hanya dengan sang pencipta saja kau perhatikan, tetapi dengan ciptaan-ciptaan-Nya pun kau begitu sayang, terbukti di antara teman-temanmu, kau yang sering mengalah, kau yang paling setia kawan, sehingga kau di sayangi oleh teman-temanmu.
Tetapi, ketika usiamu mulai beranjak besar, Allah menunjukkan rasa cinta-Nya kepadamu melalui penyakit yang cukup mengerikan, walau penyakit itu bukan hal yang langka, tetapi cobaan itu sangat berat menurutku jika harus kau tanggung di kala usiamu masih 10 tahun.
Penyakit folio yang menyerang sebagian besar tubuhmu itu, lambat laun menggerogoti ketahanan tubuhmu, hingga praktis tubuh kekar dan kelincahanmu hilang. Tetapi yang membuatku semakin kagum padamu, ketaatan Ibadah dan keshalehanmu tidak pernah sirna.
Semangat belajarmu terus membara. Walau ku tahu, saat itu otak cerdas itu sangat terbatas untuk berfikir, tetapi karena keingintahuanmu yang sangat besar terhadap Ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang tak pernah padam, kau mampu menyelesaikan sekolah dasarmu dengan hasil yang memuaskan sehingga kau pun diterima di sekolah favoritmu.
Ketika ratusan siswa yang normal begitu sulit untuk masuk ke sekolah itu, tetapi kau meskipun dalam keadaan sakit mampu bersaing dengan begitu mudah.Itulah keberkahan Allah untukmu. Tetapi kebahagian itu menjadi tameng untukmu, kini Allah kembali menunjukkan rasa cinta-Nya.
Kini yang diuji rasa kesetiakawananmu yang begitu tinggi. Allah menguji mu lewat teman-temanmu yang iri terhadapmu, teman-teman jahil yang terus memusuhimu.
Hari-harimu di Sekolah bagai di kandang harimau yang sedang menjulurkan lidahnya, mengasah taringnya dan siap mencerkam dengan kuku-kukunya yang tajam. Berbagai perlakuan hina itu telah kau alami.
Setiap harinya peralatan sekolah dan barang-barang yau biasa kau bawa mulai dari pensil,pulpen, buku-buku pelajaran, topi dasi hingga handphone raib seketika diambil oleh tangan-tangan jahil temanmu, hingga orang tuamu berang terhadap teman-temanmu, tetapi ketawakalan dan kesabaranmu yang selalu mengingatkan kedua orangtuamu, untuk terus bersabar dan berdo'a pada-Nya.
Perlakuan keji dari teman-temanmu bukan hanya disitu, aku pun tak habis pikir dimana hati nurani teman-temanmu itu, mengapa mereka begitu tega melakukan hal seperti itu padamu. Kau yang dalam keadaan kursi roda diikat seluruh badanmu, kemudian ditelanjangi, Astagfirullah.
Ya Allah, engkaulah yang maha pengasih dan penyayang. dan kau lagi-lagi hanya bisa bersabar dan tidak mau menyebutkan siapa yang telah berbuat seperti itu .
Dan kaupun pernah dituduh mencuri uang temanmu, dengan alasan selama jam istirahat kau tidak pernah keluar kelas, memang benar tidak pernah keluar kelas, tetapi aku tahu kau selain tidak bisa jalan, orang tuamu juga suka membekali makanan, walaupun makan itu tak pernah kau makan, karena sudah di buru oleh teman-temanmu.
Berbagai cobaan telah kau alami di sekolah itu, tetapi janji Allah tak pernah diingkari-Nya. Kau lulus dari SMP dengan hasil yang memuaskan.
Setamatnya kau dari SMP, kesehatanmu semakin memburuk, sehingga kau tak sanggup lagi melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi yakni SMA. Yah di saat teman-temanmu sedang asyik-asyiknya berkasmaran, beragul bebas, tapi kau hanya terbaring di kasur dengan selang infus yang selalu 'setia' menemanimu.
Tetapi di satu sisi aku bersyukur, disaat rekan-rekanmu terjerumus ke lembah curam, kau terlindungi lewat penyakit yang kau derita. Hingga tepat tanggal 24 Agustus 2008 di kala usiamu 15 tahun, bertepatan dengan berkumandangnya adzan Maghrib, kau mengakhiri penderitaan mu di dunia ini, Semoga di Surga-Nya nanti kau menemukan kebahagianmu yang hakiki
Meskipun kau telah tiada tetapi Kenangan bersamamu takkan pernah hilang di hati ini. Selamat Jalan Sayang. Maafkan Kakakmu ini, jika selama mengajarkan Matematika tidak maksimal. Ya Allah, mohon pertemukanlah kami kembali di Syurga-Mu nanti. Amin.

Sumber:Yani Supriani /Eramuslim

Selasa, 05 Mei 2009

Banyak Harta Tidak Menjamin Bahagia

Di sebuah perusahaan ternama yang dikepalai oleh seorang direktur non-muslim bermulalah cerita ini.
Rasyid-nama samaran- bekerja di perusahaan itu baru beberapa bulan. Walau pendatang baru, tapi ia sudah dikenal luas di lingkungan perusahaan tersebut. Hal itu karena sikap dan interaksinya yang selalu memukau dan penuh simpati dengan para karyawan.
Pada suatu hari, direktur perusahaan memintanya untuk datang ke kantornya. Katanya ada urusan penting yang ingin dibicarakan. Rasyid agak heran, tidak biasanya bosnya bersikap ramah pada karyawan. Pak Regan-nama samaran-, sang direktur adalah tipe orang yang suka emosian. Ibarat gunung berapi, kemarahannya sering meledak dan meletus tanpa diduga-duga. Sedikit-sedikit marah. Kalau bukan karena sulitnya lapangan kerja, mungkin sudah banyak karyawan yang hengkang dari perusahaan milik Pak Regan.
Pak Regan mempersilahkan Rasyid masuk. Senyum di bibirnya kali ini mengembang tulus. Biasanya kalau senyum Pak Regan terkesan kurang ikhlas, nampak sekali dipaksakan. Tapi kali ini, Rasyid merasakan bahwa senyuman itu betul-betul keluar dari relung hati.
Tanpa basa-basi, seperti kebiasaannya Pak Regan memulai pembicaraan."Rasyid, saya iri pada kamu, saya tidak sebahagia kamu."Rasyid agak heran, sedikit mengernyitkan keningnya."Ma`af, maksud Bapak?""Kamu tahu, saya orang kaya. Saya punya banyak perusahaan, semuanya dibawah pengelolaan saya. Saya punya istri cantik. Anak-anak saya semuanya telah sukses. Rumah saya sangat mewah. Saya punya banyak mobil mewah. Ya, semua kesenangan dunia ada dalam genggaman saya. Semuanya telah saya dapatkan. Tapi, saya masih merasa belum cukup, masih ada yang kurang dari diri saya, saya ingin sekali mendapatkannya, tapi saya tidak tahu dimana dan bagaimana meraihnya.""Apakah yang bapak maksud?""Saya ingin mendapatkan kebahagiaan. Apa yang saya miliki tidak membuat saya bahagia. Saya merasa hidup saya tidak punya arti. Saya merasa hidup saya hampa, tidak punya arah. Saya merasa orang paling sengsara di dunia ini. Ingin rasanya saya menyudahi hidup saya dari muka bumi ini.""Rasyid, sebenarnya saya iri padamu, iri pada keceriaan yang selalu mengembang di raut mukamu. Saya iri dengan senyuman yang tidak pernah bosan di wajahmu. Saya iri dengan kebahagiaan yang selalu menemani hari-harimu.""Saya heran, saya yang kaya dan punya segala-galanya ini mestinya lebih pantas selalu ceria, tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Sedangkan kamu yang kerjanya rendahan dan gaji yang pas-pasan bisa setiap hari tersenyum.""Saya ingin tahu apa resep yang kamu punya?"
"Pak, saya tidak punya resep apa-apa, saya hanya mengamalkan hadits yang diajarkan oleh Nabi saya, hanya itu.""Apakah hadits yang diajarkan Nabimu itu?""Sebuah hadits Pak, bunyinya, "Sungguh mengagumkan perkara orang yang beriman, sesungguhnya seluruh perkaranya adalah kebaikan dan tidaklah kebaikan itu kecuali bagi orang yang beriman; Apabila ia mendapat kesenangan ia bersyukur dan syukur itu menjadi kebaikan baginya dan apabila ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan sabar itu menjadi kebaikan baginya."
"Jadi orang mukmin setiap hari bahagia?""Iya Pak, begitulah seharusnya. Tidak ada yang perlu dirisaukan, ditakutkan dan disedihkan dalam hidup ini. Hidup kita di dunia tak lepas dari dua hal itu, senang dan susah, tatkala senang bersyukur dan ketika dilanda kesusahan bersabar.""Kalau begitu, bolehkah saya masuk Islam agar saya juga merasakan kebahagiaan seperti yang kamu rasakan?""Dengan senang hati dan bersyukur pada Allah SWT, saya menyambut baik keinginan Bapak."
Singkat cerita, usai shalat Jum`at Pak Regan diminta tampil ke depan untuk mengumumkan keislamannya di hadapan ratusan jemaah Jum`at di sebuah mesjid yang letaknya tidak jauh dari perusahaan milik Pak Regan. Ustadz Jamal-bukan nama sebenarnya- yang bertindak selaku khatib saat itu menuntun Pak Regan membaca dua kalimat syahadat. Usai membaca dua kalimat syahadat, jemaah Jum`at saling berebut maju ke depan menyalami Pak Regan yang telah menjadi muallaf tersebut. Namun Ustadz Jamal meminta jema`ah bersabar, karena setelah mengucapkan dua kalimat syahadat tangis Pak Regan tumpah bagai air bah, ia menangis sejadi-jadinya. "Tunggulah sampai Pak Regan selesai menangis," kata Ustadz Jamal pada jemaah mesjid.
Setelah tangisnya reda, Ustadz Jamal bertanya pada Pak Regan,
"Ma`af, kalau boleh kami tahu, kenapa anda tadi menangis?""Pak Regan berkata, "Sungguh hari ini saya merasakan kebahagiaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya sejak saya dilahirkan ke dunia ini, hati saya begitu terasa damai, tenang, tentram dan bahagia. Allah SWT telah memasukkan cahaya hidayah Islam kedalam hati saya."
Sejak hari itu Pak Regan berubah total. Hidupnya penuh bahagia, apalagi anak-anak dan istrinya menyambut baik keislamannya. Di kantor, Pak Regan lebih tenang, lembut, penuh kasih sayang pada para karyawan dan selalu nampak ceria. Kebiasaan emosi dan suka bentak-bentaknya telah hilang bagai ditelan bumi. (Kisah di atas di ambil dari ceramah syekh Nabil `Awadhi yang berjudul Qishashun wa `Ibarun, dengan sedikit penambahan ilustrasi)***
Setiap orang mendambakan hidup bahagia, tenang, damai dan tentram. Hidup yang selalu penuh dengan keceriaan dan cerita-cerita indah. Namun, setiap orang punya persepsi yang berbeda tentang kebahagiaan. Bagi sebagian orang, kebahagiaan adalah bisa menikah dengan seorang wanita yang cantik atau lelaki kaya dan tampan. Yang lain, kebahagiaan baginya adalah bila sudah punya mobil mewah, rumah megah, anak banyak, jabatan tinggi, terkenal, gaji besar, bekerja di sebuah perusahaan besar, jadi direktur, tercapai cita-cita hidup, jadi bintang film, jadi artis terkenal, punya uang banyak dan lain sebagainya.
Namun kebahagiaan yang bersifat duniawi dan materi hanyalah sangat sementara dan tidak seutuhnya. Kebahagiaan yang sebenarnya semu. Dunia dan segala isinya bukanlah lahan yang cocok untuk hati orang-orang yang mencintai akhirat. Manusia akhirat tidak melihat dunia melainkan persinggahan sementara menuju kehidupan akhirat yang kekal. Sehingga mereka tidak terlalu sibuk atau bahkan main cakar dan hantam sana-sini untuk memperebutkan dunia yang fana ini.
Dari sinilah bermula mengenal hakikat sesuatu, hakikat kehidupan sesungguhnya, hakikat yang akan mengantarkan kita pada sikap yang tepat dalam menjalani kehidupan yang sementara ini. Sehingga kita bisa secara maksimal mengarahkan tenaga, waktu, pikiran dan harta untuk perkara yang jelas untung dan ruginya.

Sumber:M. Arif As-Salman / Eramuslim

Minggu, 03 Mei 2009

Satu dari Banyak Kesetiaan

Menikah dengannya adalah pelajaran keikhlasan. Menerimanya disembilan tahun yang lalu adalah sebuah berkah bakti yang kutujukan padaNya. Memenuhi amanah yang tidak hanya menjadi istri baginya tapi juga menjadi ibu bagi anak-anaknya bahkan menjadi manager setia dikehidupan keluarganya adalah sebuah kesyukuran tiada tara.
Tak menyesal ketika sampai diakhir hayatnya aku sanggup mendampinginya, karena mendampinginya adalah sebuah hadiah yang luar biasa. Mendampinginya dalam do’a, ikhlas dan kesabaran adalah hadiah terindah yang pernah aku miliki.
Penyakit yang ia rasakan seperti merasuk dalam tubuh dan jiwaku. Aktivitas berpindah dari dokter satu ke dokter lainnya, berpindah dari rumah sakit ternama, terkenal sampai tersederhana pernah aku jalani bersama. Aku lakukan dengan satu alasan, bahwa aku ingin bersamanya lebih lama. Walaupun, aku menyadari semua akan kembali berpulang kepadaNya.
Tak lepas do’a dibarisan detikku, tak lepas hapusan airmata yang kuderai dimalam heningku, hanya untuk meminta padaNya, biarkanlah aku merawatnya lebih lama, biarkanlah aku tetap mengusap wajah teduhnya disetiap akhir sujudku, biarkanlah aku mendo’akannya lebih lama hingga dihati ini cuma ada sabar dan sabar, biarkanlah ia merasai rasa bahwa aku masih tetap mencintainya dan aku benar-benar memberi bakti untuk mencintainya. Bilapun bisa, jadikan aku pendamping pertama yang menyaksikan kepergiannya dalam hidup dan senyum terakhirnya.
Menerimamu dalam sakitmu adalah cara Allah mencintaiku. Menerimamu dalam sakitmu adalah cara Allah memberi pelajaran berharga. Menerimamu dalam sakitmu adalah cara Allah agar aku lebih dekat denganNya. Aku memang bukan wanita sholihah yang sama seperti kisah yang pernah kudengar dari semua Ustadz, ustadzah yang ada di TV ataupun dipengajian yang pernah dan sering aku ikuti. Aku tidak mungkin bisa dibandingkan dengan wanita yang pernah kau ceritakan padaku, tentang wanita yang mampu menjadikan anak-anaknya sebagai seseorang yang terkenal, tapi aku hanya mampu menjadikan anak-anakmu sebagai pengantar do’a khusus untukmu dalam setiap sujud mereka. Aku juga bukan wanita berjilbab rapi seperti yang pernah kau sampaikan padaku ketika kau bertemu keponakan perempuanku disembilan tahun yang lalu. Tapi aku adalah aku, wanita yang belajar mencintaimu disejak menerimamu sebagai pendamping jiwaku. Dan akupun hanya mampu membuktikan baktiku dipendampinganku selama ini.
Melepasmu diwaktu adzan jum’at itu membuat aku tak pernah percaya. Melepasmu dalam tenang dan teduh wajahmu membuat aku ingin tetap mengusap wajah ramahmu. Melepasmu setelah sembilan tahun kebersamaan adalah tak sanggup aku lakukan. Tapi, apa yang mampu aku lakukan, kecuali aku mengingat bahwa segala sesuatu akan diambil oleh Sang empunya. Apa hakku hingga aku ingin menghalangi, karena aku pun ada yang memiliki dan akupun akan kembali padaNya tanpa aku tahu kapan dan dimana.
Di setiap detik hari inipun aku masih mencatat dengan rapi, bahwa menerima dan melepasmu adalah hadiah terindah. Jikapun setia ini adalah satu dari banyak kesetiaan, maka inilah yang mampu aku lakukan, dan aku berharap inilah hadiah terbaik yang pernah aku berikan untukmu selama mendampingimu hingga keberkahan Allah menjadi lapangan hijau yang penuh kebaikan untuk aku dan anak-anak yang kau amanahkan ditanganku.
Karena diantara semuanya, aku ingin selalu mengungkapkan permintaan hatiku agar dapat selalu mendampingimu.

Sumber:Rinda Arsianah /Eramuslim
Rindu Buah Hati

Tangis keras menyambut gendang telinga ketika kutekan tombol YES pada HP ku.”Anty ...................”, panggilnya dengan tangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan. ”Iya kakak, sabar ya”, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku tak punya perbendaharaan lain karena akupun sibuk menata agar suaraku tak ikut bergetar walau tangis mulai luruh dari mataku. Aku tidak mau membawa suasana lebih sedih lagi.
Kuberikan HP ke ibuku dan beliau menangis. Setelah tak lama berbicara, HP di kembalikan kepadaku.”Doakan agar kakak segera dapat gantinya ya ty”, kali ini dengan suara yang sudah lebih tenang.
15 tahun sahabatku ini menunggu tumbuh dan berkembangnya mahluk Allah di dalam rahimnya. Segala upaya sudah mereka lakukan, hanya tinggal bayi tabung saja yang belum.
Di saat mereka ”istirahat” dari pengobatan, Allah memberikan kehidupan di dalam rahim kanda yang berusia hampir 40 tahun ini.Subhanallah, betapa bahagia memuncak.
Aku ingat, dengan manjanya sahabat yang sudah seperti kakak kandungku ini bilang ngidam mangga muda dengan bumbu yang pedasss banget.
Aku langsung menuju rumahnya usai jam kantor. Walau dia cuma makan sedikit, tapi aku maklum, namanya ibu hamil. Suka lapar mata ^_^
Pekan lalu juga saat aku sedang menuju Pekan Baru, dia nelepon. Minta dibelikan makanan favoritnya. Es teller 77, bakso, dan mie ayam 77.Aku selalu tertawa kalau ingat bagaimana lahapnya dia jika kami mengunjungi tempat favoritnya itu. Dia ngga malu nambah sampe 2 mangkok.Akhirnya aku minta temanku untuk membelikan untuknya.
Kanda yang sering meledak – ledak namun sebenarnya sangat baik hati ini begitu mengharapkan kehadiran buah hati. Semua nasehat dokter dia jalani. Jadwal terapi yang ketat bertahun – tahun dia turuti dengan disiplin yang tinggi.
Walau terkadang dia merasa takut jika akan ke dokter. ”Sakit sekali di suntik di pusar”, ujarnya dengan wajah sedikit meringis. Namun hampir tak pernah dia absen mengunjungi dokter selama bertahun – tahun.
Setelah semua upaya dilakukan dan selalu gagal, beliau memutuskan untuk mengikuti terapi bayi tabung. Namun dia minta proses dimulai bulan Juni atau July. Karena dia ingin istirahat dulu dan meminta keliling Eropa.
Subhanallah, di saat rehat itulah Allah menitipkan kehidupan ke dalam rahimnya.Padahal tiket sudah di pesan untuk perjalanan keliling Eropa di akhir April ini.Bahagia luar biasa hati pasangan ini. Selama 3 bulan kehamilan ini, kanda ku hampir tidak keluar rumah.
Namun Allah ternyata masih menguji kesabaran dan keikhlasan pasangan ini.Sabtu siang sms nya masuk.”Anty kakak pendarahan. Sekarang dirawat di Gleni. Doakan kakak ya dek”.
Tak berselang menit langsung ku telepon dia. Kabar masih menenangkan hati.
”Doanya aja ya dek”, pintanya lagi karena aku bilang belum bisa berada di sampingnya. Aku masih di luar kota.
Hanya SMS yang jadi penghubung kami hingga sore kemarin. Senin yang penuh air mata.
Aku terus melantunkan pinta agar Allah memberi kesabaran tak bertepi kepada mereka. Dan aku berharap ada keajaiban sehingga mereka segera bisa mendapatkan pengganti.
Subhanallah, Maha Kuasa Allah terhadap segala sesuatuHari ini kupandangi pasien – pasien yang berobat ke kantorku. Betapa di tengah ”ketiadaan” , Allah melimpahkan harta yang sangat mewah kepada mereka.Harusnya syukur selalu terucap dalam hati setiap insan.
Aku teringat akan sebuah pertanyaan:Lebih baik mana, bersabar atas musibah atau bersyukur atas nikmat.Dan aku tertegun ketika sebuah jawaban yang luar biasa aku dapatkan :”Bersyukur atas musibah”
Smoga kanda ku bisa bersyukur tiada batas dan ikhlas tiada tepi.Mohon doa ...

Sumber:Hariyanty Thahir/Eramuslim

Jumat, 01 Mei 2009

Istri Sakit, Suami Bagaimana?

Menjalani bahtera rumahtangga merupakan amal sholeh yang dapat dilalui dengan aman bila disertai dengan cinta. Seorang iburumahtangga yang notabene adalah istri dari seorang suami, akan menggeluti kegiatan kesehariannya dengan penuh tanggungjawab. Memberikan pelayanan dan kesediaan untuk selalu ada di setiap waktu bagi penghuni rumah. Tidak ada kata yang lebih indah untuk mengungkapkan, selain rasa CINTA yang dalam terhadap orang-orang yang dikasihinya. Kadang waktu yang tersisa tak cukup untuk membuatnya menghela napas.
Tapi itu tak menjadikan dirinya merasa sebuah pengorbanan. Cintanya murni, tak pernah terlintas sedetik pun tuk mengharapkan balasan. Semuanya dikerjakan dengan ikhlas. Cintanya tak jua luntur walau kadang penghuni rumah, seringkali memberikan sinyal tak suka akan bantuannya. Semuanya di terima dengan lapang dada. Begitu pula bila suaminya, yang hanya bisa memberikan kritikan tanpa mengurangi beban kerja rutinnya. Semuanya hanya bagai angin yang berhembus sejenak. Tak ada masalah.
Sang istri yang ikhlas ini akhirnya jatuh sakit. Semua pekerjaan kesehariannya menumpuk di setiap ruang. Tak ada sentuhan dari orang sekitarnya, hanya ada sedikit lirikan. “Ah… ibu sedang sakit, bagaimana dengan kami? Anak-anaknya kebingungan. Suaminya pun tak kalah sibuknya. Sibuk dengan rasa cemas, terhadap istrinya yang tergolek lemah. Memberikan semangat, agar tak usah bersedih- semuanya cobaan dari Allah S.W.T. Maka sang suami pun mengambil amanah sang sang istri dalam urusan domestic rumahtangga. Karena tak terbiasa dengan kondisi itu, maka dia pun merasakan beban yang sangat berat. Sebelum shalat subuh dia harus membangunkan anak-anaknya.
Biasanya, dialah yang dibangunkan. Ketika jam menunjukkan jam enam pagi, maka dia pun kerepotan untuk menyiapkan sarapan tuk diri dan penghuni rumah. Biasanya, dia tinggal menikmati. Bila tak sesuai selera, maka sebuah komentar yang kadang memanaskan telinga sang istri yang telah kepayahan. Menyiapkan anak-anak untuk segera mandi, berpakaian dan sarapan ternyata sang suami merasakan pekerjaan yang sangat berat. Selama ini dia tak pernah sedikitpun memberikan ulurannya tuk kegiatan ini. Ketika harus menjalaninya, maka barulah dia mengetahui bagaimana sibuknya sang istri tercinta saat subuh hingga keberangkatan mereka keluar dari rumah.
Istri yang sakit tak jua kunjung sembuh. Batas kesabaran sang suami berada di titik puncak. “Kalau sakit jangan terlalu di manja. Jangan tidur melulu, sakitnya tambah payah!” Suami sudah tak mampu mengontrol emosi, padahal sang istri baru sakit dua minggu. Sementara pekerjaan rumah telah di jalani lebih dari lima tahun. Tentu saja perbandingan waktu yang tak seimbang. Tapi, suami sudah kepayahan.
Suami yang biasa hanya berkomentar, tentu saja akan kerepotan. Dia tak siap untuk kejutan pahit ini. Istri yang super perkasa selama ini, ternyata punya batas kekuatan. Orang-orang yang dicintainya, akhirnya mengeluh dengan keadaannya. Istri yang sakitpun, tak bisa berdialog dengan mereka dengan hati yang berbunga. Karena orang disekitarnya memasang wajah penuh cemas dan rasa tak sabar, akan kesehatannya. Semuanya dirundung mendung, menantikan saatnya turun hujan kasih dari sang bunda. Ayahnya, ternyata tak setelaten ibunya dalam menanggapi semua kebutuhan dan kemanjaan mereka. Mereka pun akhirnya stress!
Mau cari pembantu? Sang suami tak punya cukup uang. Sementara dia sudah di ujung tanduk. Pekerjaan yang dua mingguan ini dirasanya, telah membuatnya lebih tua dari usianya. Tak pernah terlihat lagi senyum maupun candaan pada anak-anaknya. Semuanya dalam koridor TEGANG!
Beberapa kejadian ini telah saya lihat di sekitarku. Saat tinggal di kota Samarinda, maupun saat ini di kota Sengata. Suami yang biasanya memandang remeh pekerjaan istrinya yang tinggal di rumah. Dan memaklumi diri untuk tidak turut terjun ke daerah domestik, karena merasa telah berjasa besar menafkahi keluarga yang di cintainya. Tak ada ucapan terimakasih, walau pun sang pujaan hati telah bersusah payah menyediakan semua kebutuhan hariannya. Semuanya dalam pemakluman :” Memang tugasnya!”.
Sungguh kasihan mendapatkan suami dengan type begini, tak ada rasa sayang yang murni. Inginnya di mengerti, tapi tak mengerti keadaan pendampingnya. Dengan beberapa orang anak yang berbeda karakter, tentu saja dengan pelayanan beberapa karakter pula ditambah dirinya yang punya karakter yang lain. Tak pernah terlintas sejenakpun untuk membuat sebuah kejutan :”Hari ini, ibu tak usah repot di rumah. Kami semua akan mengerjakannya!”. Hari libur, merupakan hari yang harusnya dilewati dengan nyaman. Sang istri malah mendapatkan pekerjaan tambahan : Memasak makanan khusus, yang tentu saja membuat energi harus dilipat gandakan.
Sang istri yang telah sembuh, akan membuat rona bunga mekar di setiap sudut rumah. Membuat wajah-wajah yang mendung menjadi bersinar kembali. Anak-anakpun dapat merasakan kegembiraan yang telah hilang beberapa hari. Sang ayahpun tak kalah gembiranya, di kecupnya kening istri :”Jaga kondisi ya…” Suami pun memberikan sentuhan hangat, karena beban itu telah lepas dari pundakya. Hem!
Istri yang sakit untuk beberapa hari, ternyata punya hikmah sendiri buat penghuni rumah. Anak-anak telah mengerti pengorbanan dan CINTA sang bunda padanya. Suami pun mengerti, betapa berat pekerjaan sang tercinta dalam mengelola urusan rutin rumah mereka. Semuanya dalam keadaan saling memahami satu sama lainnya. Sangat indah suasana itu. Menggoreskan rasa aroma bunga di hati.
Rona yang indah hanya berjalan beberapa jeda waktu. Kegiatan sang istri berulang kembali seperti biasanya. Kebiasaan lama mewarnai kembali kegiatan hariannya Semuanya kelihatan wajar, hingga pada satu titik waktu – sang bunda harus pulang kehadirat Sang Ilahi. Bila itu terjadi : “Akankah orang disekitarnya serasa mendapat sambaran petir di siang hari bolong?”
( Tapi ini hanya kejadian yang langka, bila dibandingkan dengan seorang suami yang mengerti dan turut terjun di daerah domestik rumah-tangganya. Semoga kita bukan merupakan bagian dari cerita ini. )

Sumber:Halimah Taslima / Eramuslim