Senin, 30 Maret 2009

Gaji Seorang Ibu Rumah Tangga

Menjemput anak di sekolah merupakan hal emergency, karena biasanya anakku selalu di jemput oleh salah seorang tetanggaku. Menunggu jam pulang sekolah, saya dan ibu-ibu berkumpul di teras masjid. Udara terasa tak bersahabat, kulit terasa kering di panggang matahari siang. Ketika aku bersandar di salah satu tiang teras masjid, terasa sepoi angin membelai tubuh, rasa ngantukpun rasanya tak bisa dielakkan. Kelopak mata terasa berat, jika ada suara teriakan dari salah seorang murid dari ruang kelas, maka serentak kami terbangun.
Masjid itu letaknya di depan sekolah. Sekolah dan masjid merupakan satu kesatuan usaha, yang dikelola oleh suatu yayasan yang berbasis Islam di Sengata. Lapangan parkirnya tidak begitu luas, tapi cukup representative jika ada pertemuan wali murid.
“Jangan minder jadi seorang ibu rumah tangga.” Aku mulai membuka pembicaraan.
Menunggu memang sebuah pekerjaan yang melelahkan. Menjemput anak di sekolah diperlukan management yang tepat, Bagi ibu-ibu yang berkarier di rumahnya, dipastikan setiap subuhnya sudah berlenggak lengok mengejar jam tayang urusan antar jemput anaknya sekolah.
“Aku nggak minder lho… Cuma waktu kerja dulu aku sempat mikir juga. Rasanya gajiku habis untuk bayarin pembantu!” Seorang ibu menimpali ucapanku.
“Saya sering bantuin suamiku jika dapat proyek dari kantornya. Kadang bantuin mengetik, atau seperti ini…” Dia memperlihatkan kertas karton yang sedang di guntingnya. Ibu ini bercerita sambil asyik dengan kegiatannya. Dengan tangkas dia menggunting dengan teliti logo-logo untuk persiapan MTQ yang akan di gunakan sebagai tanda peserta.
Aku tersenyum simpul dan bergumam sendiri :” Ibu ini ternyata mampu memanfaatkan waktunya. Menunggu anak sekaligus mengerjakan tugas suami.”
“Mana karton yang lainnya? Daripada ngantuk, lebih baik bantuin.” Ada yang berbaik hati, menawarkan bantuannya.
Ibu-ibu yang berkumpul ternyata cukup kreatif. Ada mempunyai anak 3 orang, 6 orang dan 2 orang. Berkumpul pada pagi Jum’at ini, membuat hati tersirami. Ada tempat saling curhat tentang kegiatan yang tak habisnya bila hanya di rumah.
“Bayarin pembantu sekarang mahal. Dulu aku bayarin pembantu Rp.500.000,- ditambah ongkos taksinya”.
“Jika ambil tukang setrika, mintanya Rp.350.000,- per bulan.” Yang lain mulai buka mulut.
“Tukang cucipun, nggak mau dibayar kurang dari Rp. 300.000,-.” Mulai ramai ibu-ibu itu menimpali pancinganku.
Terlihat suasana mulai hangat. Dari suasana ngantuk menjadi forum pertemuan informal membahas mahalnya bayaran kepada seorang pembantu rumah tangga.
Kotaku merupakan kota tambang. Merupakan hal yang biasa bagi kami untuk membayar gaji seorang pembantu di atas lima ratus ribu rupiah per bulannya. Kadang ada yang dibayar satu juta rupiah, tergantung jenis pekerjaan dan kesepakatan antara pembantu dan majikan. Mungkin bagi di daerah lain, itu merupakan gaji seorang administrasi di sebuah kantor.
“Kalau dihitung-hitung, berapa gaji kita sebagai ibu rumah tangga?” Seorang ibu berbicara dengan nada bersemangat. Membuat ibu-ibu lainnya tersenyum dan bahkan tertawa. Meriah sekali! Aku suka suasana ini. Bertemu untuk saling diskusi. Untuk berbagi unek-unek yang tersimpan. Apalagi yang diajak diskusi satu profesi. Hem! Pasti mereka saling memahami dan mensupport apapun yang disampaikan.
Ibu-ibu pada sibuk menghitung dan akhirnya tertawa serempak. Tak ada hasil hitungan yang pasti. Mereka hanya menjawab dengan gelak tawa. Memposisikan diri sebagai pembantu. Menilai gaji yang akan mereka terima setiap bulannya.
“Bagaimana bila kita minta gaji ke suami masing-masing.” Ada ibu yang mulai memancing suasana.Tak ada yang menjawab, karena anak-anak mereka telah bubar dari kelas masing-masing. Mereka menghampiri ibunya masing-masing dan merengek untuk cepat pulang. Kami hanya bisa saling tukar senyum, sebagai pengganti penutup acara informal kami.
Ketika pulang, aku masih memikirkan perbincangan pagi itu. Jika di kalkulasi memang seorang ibu rumah tangga akan mendapatkan pendapatan yang lumayan. Jika rumahtangganya adalah kariernya untuk mendapatkan “materi” maka si ibu akan mendapatkan pendapatan yang lumayan.
Mungkin ibu-ibu itu hanya mengeluarkan unek-uneknya untuk bisa dihargai oleh suaminya ataupun lingkungannya. Bahwa pekerjaan seorang ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang tidak boleh di anggap remeh oleh siapapun.
Sebagai ibu rumah tangga yang muslimah, tentunya hitungan mendapatkan gaji sebagai ibu rumah tangga hanyalah sebuah “joke” untuk menyegarkan pikiran yang kadang buntu. Seringkali diharuskan pandai-pandai mengelola keuangan. Berapa pun yang diberikan oleh suami harus mampu mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga selama sebulan.
Allah S.W.T telah menyediakan “gaji” bagi seorang ibu rumah tangga, Bila ia menjalankan pekerjaan rumah tangganya dengan ikhlas, maka sama saja dia menjalankan amal sholeh yang tidak putus-putusnya. Tentu saja bagiannya adalah “syurga”.
Sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Aisyah : “ Beliau di tanya oleh seorang sahabat, amalan apa yang disukai oleh Allah? Maka di jawab oleh Aisyah bahwa amalan yang dikerjakan walaupun sedikit tapi dilakukan secara terus menerus”.
“Bila seorang wanita menjalankan sholat, puasa di bulan Ramadhan dan menyenangkan hati suaminya ( dalam kerangka syariat ) maka dia akan memasuki syurga dari pintu manapun yang dia sukai”. Begitulah salah satu hadits dari Rasulullah.
Semoga saya dan beserta ibu-ibu rumah tangga lainnya, diberikan oleh Allah S.W.T berupa kelapangan dada dan keikhlasan dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga. Allahumma Amin.

Sumber: Halimah / Eramuslim

Senin, 23 Maret 2009

Bunda, Dampingi Anakmu Di Masa Emas Mereka


Para ahli psikologi anak bilang: lima tahun pertama adalah masa emas bagi seorang anak. Tahun-tahun emas. Ibuku selalu mengingatkan aku dulu ketika mereka (putra-putriku) masih kecil bahwa: Masa kecil mereka tak terulang dua kali. Benar sekali. Waktu yang pergi tak akan kembali, masa kecil yang berlalu tak mungkin diulang.

Para ahli psikologi anak bilang: lima tahun pertama adalah masa emas bagi seorang anak.

Tahun-tahun emas. Ibuku selalu mengingatkan aku dulu ketika mereka (putra-putriku) masih kecil: Masa kecil mereka tak terulang dua kali.

Benar sekali. Waktu yang pergi tak akan kembali, masa kecil yang berlalu tak mungkin diulang.

Seberapa pentingnya-kah masa emas ini?

Sesudah si kecil menghirup udara kotor dunia pada detik-detik pertama hidupnya, sejak saat itulah ia mulai belajar dari pahit getirnya dunia.

Tarikan nafas pertama memperkenalkannya dengan kebutuhan dasar. Bernafas.

Para pakar menganjurkan pada detik-detik pertama tersebut si kecil segera diperkenalkan pada bundanya. Maka bayi merah yang bahkan masih licin tersebutpun diletakkan di atas dada bunda yang sedang sumringah bahagia. Tatapan pertama antara keduanya.

Apa yang kau lihat pada dirinya wahai bunda?
Banggakah dikau? Kecewakah? Kebencian kah? Sadarlah bunda, kesan pertama ini seringkali mewarnai sikapmu padanya dan akan berbalas dengan sikapnya padamu….

Apapun juga, ukirlah rasa syukur dalam dadamu pada menit-menit pertama ini.

Syukur karena masa kritis sudah berlalu bagi kalian dan syukur karena Dia telah Menghadiahkanmu amanah baru ini. Bangga karena engkau telah diberi kepercayaan olehNya. Tutuplah syukurmu dengan doa harapan untuk masa depan kalian.

Bersyukurah niscaya Allah Akan Menambahkan NikmatNya padamu.

Hari-hari berikut tetap penting baginya. Senyum pertamanya, sakit pertamanya, ocehan pertamanya, makanan pertamanya, jatuh pertamanya, langkah pertamanya, semua yang pertama baginya. Baik dan buruk, senang dan susah.

Tahukah dikau bunda bahwa semua pengalamannya akan ia rujuk padamu? Apakah engkau senang jika ia mengigitmu (ketika menyusuinya). Ia akan menatapmu untuk mencari tau apa reaksimu. Apakah engkau senang jika ia mempermainkan kucing? Ia akan menunggu reaksimu. Apa pendapatmu jika ia naik tangga? Engkaulah rujukan pertamanya….dan bagimana engkau menterjemahkan padanya dunia ini. Apakah dunia ini tempat penuh optimisme, atau keluh kesah? Apakah dunia ini berbahaya atau penuh tantangan?

Ia akan mencarimu ketika ia jatuh dan luka. Tangisannya keras sekali demi menarik perhatianmu segera. Dan ketika engkau akhirnya datang juga menghibur dirinya dan mengobati lukanya, ia akan senantiasa mengingat bagaimana reaksimu melihat penderitaannya. Apakah engkau menyalahkan, atau berempati?

Bunda, semua itu menjadi rujukan baginya untuk bersikap terhadap dunia dan segala isinya.

Engkaulah guru pertamanya in a true sense!

Mungkin engkau tidak sadar seberapa besar peranmu bagi kepribadiannya. Karena engkau sibuk mencuci, menyetrika, memasak….dan seribu satu pekerjaan rumah lainnya. Maka kau sikapi anakmu dengan seadanya. Jika sempat kau tanggapi dengan senyum optimis, jika tidak maka kau malah bentak dia ketika bermain dengan piring yang sedang kau cuci. Astaghfirullah, betapa beratnya untuk selalu sadar peran, disaat tugas menumpuk, badan penat, kepala berat, sejuta lagi alasan.

Bunda, itu sebabnya kita perlu selalu bertaubat (Istighfar), sebab terlalu banyak saat kita tidak memenuhi pnggilan tugas dengan semestinya. Tugas seorang ibu, pendidik generasi yang akan datang, tugas yang harus dijalankan 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Tanpa cuti.

Bagaimana pula kau tanggapi protesnya ketika kau akan meninggalkan dia? Kantor sudah menunggu, boss bukan orang yang murah hati, sementara si kecil rewel “tanpa alasan”.

Benarkah jika ia tidak sakit maka ia tak boleh protes ketika kau akan pergi? Apakah itu “tanpa alasan”? Ia punya sejuta alasan untuk memintamu tetap mendampinginya…Kita punya seribu alasan untuk boleh meninggalkannya. Kita memang harus punya alasan yang TEPAT untuk meninggalkan balita kita.

Ketika kau pergi, dengan siapakah ia kau titipkan? Baby sitter? Nenek –kakek? Bibi atau tempat penitipan anak?

Apapun pilihanmu, bertanggung-jawablah. Artinya, ajukanlah seribu pertanyaan mengapa engkau meninggalkannya, kepada siapa dan dengan persiapan apa. Tanyakan itu semua pada dirimu sendiri dan jawablah untuk dirimu sendiri. Janganlah engkau meninggalkannya hanya karena “sayang karirku jika berhenti sekarang”, atau “sayang dong otakku jika aku hanya tinggal di rumah”, atau “aku kan butuh aktualisasi diri”.

Ingatlah pesan ibuku puluhan tahun lalu: “masa kecil mereka hanya sekali”.

Aku ingat pesan itu hari ini, duapuluhan tahun setelah itu. Saat aku menikahkan anakku dengan pria pilihan hatinya, terbayang masa kecilnya dan pertanyaan di kepala: apakah aku sudah mendidiknya dengan benar sehingga ia sudah bisa meninggalkan rumah ini untuk menjalani penghidupannya sendiri. Sudah cukupkah bekal yang kuberikan padanya untuk menghadapi hidup?

Hari demi hari berlalu, masa kecilnya semakin jauh dibelakang. Hari demi hari berlalu kita semakin sadar betapa banyak yang belum kita lakukan untuknya. Tapi waktu tak pernah menunggu, tugas terus bertumpuk dan badan tak bertambah gesit.

Sampai datang masanya kita terhentak dan tersadar betapa cepatnya waktu telah berganti.

Bersiaplah untuk di evaluasi olehnya, puluhan tahun setelah hari pertamanya bersamamu, atas segala perlakuan yang telah engkau berikan padanya.

Puluhan tahun dari hari ini, ia bukan lagi makhluk kecil yang tak berdaya. Puluhan tahun setelah hari ini mungkin kitalah yang sudah tak berdaya dan berharap tidak ditinggalkan sendirian di rumah karena badan ini sudah renta.

Doa untuk orangtua: Ya Rabb kami ampunilah kami, dan ampunilah kedua orangtua kami, dan rahmatilah keduanya sebagaimana mereka telah menyayangi kami ketika masih kanak-kanak.

Apakah Dzat Yang Maha Agung akan mengampuni? Apakah Dia akan Menyayangi para orangtua? Lalu bagaimana jika saat sang putra masih kecil orangtuanya kurang sayang padanya? Akankah Allah juga akan mengurangi kasih sayangNya pada orangtua tersebut?

Alangkah beruntungnya orangtua yang anaknya cinta pada Allah, niscaya anak shaleh akan mendoakan ibu-bapaknya. Amin

Sumber: Siti Aisyah Nurmi / Eramuslim

Kamis, 12 Maret 2009

Menjadi Kekasih Allah

Pernah suatu hari Ali bin Abi Thalib menangis, ketika ditanya sebab apa menantu Rasulullah itu menangis, ia menjawab, “Sudah satu minggu tak ada seorang tamu pun yang datang kepadaku untuk meminta sesuatu. Aku khawatir Allah sedang menghinakan aku”.
Karakter seperti Ali bin Abi Thalib ini memang terbilang langka dan unik. Kebanyakan orang justru menghindar dan bersembunyi kalau ada orang yang datang ke rumahnya hendak meminta bantuan. Misalnya saja mereka yang dari balik pagar rumahnya berteriak, “Maaf, tidak ada orangnya” kepada para pengemis yang berdiri mematung di depan pagar. Padahal boleh jadi pengemis tua itu benar-benar memerlukan bantuan.
Memang dipandang dari sisi kita, nampaknya pengemis tua renta itu yang memerlukan pertolongan. Namun dilihat dari sudut yang berbeda, sesungguhnya kitalah yang memerlukan pengemis atau siapapun dari kaum dhuafa itu karena merekalah kunci surga yang ditebarkan Allah di muka bumi. Seperti ditegaskan Rasulullah dalam satu haditsnya, “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin” (HR Ad Daruqutni dan Ibnu Hiban).
Kepada isterinya, Rasulullah pernah berpesan, “Wahai Aisyah, cintailah orang miskin dan akrablah dengan mereka, supaya Allah pun akrab juga dengan engkau pada hari kiamat” (HR Al Hakim). Dalam hadits lain, Nabi Allah pun berkata, “Allah semakin memperbanyak kenikmatan-Nya kepada seseorang karena ia banyak dibutuhklan orang lain. Barangsiapa enggan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang lain berarti ia telah merelakan lenyapnya kenikmatan bagi dirinya” (HR Baihaqi).
Banyak hal yang bisa kita perbuat guna membantu dan meringankan beban orang lain di sekeliling kita. Sebanyak orang-orang lemah (dhuafa) yang bertebaran di sekitar kehidupan kita. Coba perhatikan, di sudut-sudut jalan, atau kemana pun wajah ini dihadapkan akan mudah terlihat beragam golongan kaum dhuafa. Jika kita sedikit ‘gerah’ dengan aksi orang yang berpura-pura menjadi pengemis, alihkan pandangan kita ke rumah-rumah yatim piatu. Atau menjenguk ke rumah sakit untuk melihat betapa banyaknya orang-orang sakit yang kebingungan membayar biaya perawatan. Sesungguhnya, di luar rumah sakit masih lebih banyak orang yang meregang nyawa tanpa pertolongan karena tidak memiliki biaya sedikitpun untuk pergi ke dokter atau rumah sakit.
Jika tidak berupa materi karena kondisi kita pun dalam kesempitan, tetap saja kita tidak kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu untuk orang lain. Bantuan materi tak melulu harus dari kantong kita, jika tak mampu. Maka bantulah orang yang mampu untuk menemukan kunci-kunci surga itu, dengan cara memberikan informasi tempat-tempat dan orang yang membutuhkan pertolongan. Dengan demikian, kita telah menjadi perantara bagi keduanya, yang menolong dan yang ditolong.
Allah SWT bertanya kepada Nabi Ibrahim alaihi salam, “Tahukah kamu mengapa Aku memberi gelar kepadamu Khalilullah –kekasih Allah? Nabi Ibrahim menjawab; Tidak tahu ya Rabb! Lalu Allah menegaskan, Lantaran kamu suka memberi makan orang-orang miskin dan shalat dikala orang lain sedang tertidur lelap”
Maka sesungguhnya, tidak hanya Ibrahim alaihi salam yang mampu merebut gelar itu dari Allah. Setiap hamba memiliki kesempatan yang sama dengan Ibrahim untuk menjadi kekasih Allah. Caranya seperti yang dilakukan Nabi Allah itu, suka memberi makan orang miskin dan bangun di waktu malam untuk bermunajat kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW dalam hadits lain mengatakan, “Orang yang bekerja keras untuk membantu janda dan orang miskin adalah seperti pejuang di jalan Allah atau seperti orang yang terus menerus shalat malam atau terus berpuasa (HR. Muslim). Artinya, memberi sesuatu kepada kaum dhuafa memiliki nilai yang sama dengan berjihad di jalan Allah, sayangnya hal ini seringkali tidak kita sadari. Sudahlah kerap lalai qiyamullail, membantu orang miskin pun tidak kita lakukan.
Khalifah Umar bin Khattab, salah seorang sahabat yang memberi contoh nyata bagaimana berupaya menjadi kekasih Allah. Pernah suatu malam Auza’iy ‘memergoki’ Khalifah Umar masuk rumah seseorang. Ketika keesokan harinya Auza’iy datang ke rumah itu, ternyata penghuninya seorang janda tua yang buta dan sedang menderita sakit. Janda itu mengatakan, bahwa tiap malam ada orang yang datang ke rumahnya untuk mengirim makanan dan obat-obatan. Tetapi janda tua itu tidak pernah tahu siapa orang tersebut! Padahal orang yang mengunjunginya tiap malam tersebut tak lain adalah adalah khalifah yang selama ini sangat ia kagumi.
Pada suatu malam lainnya ketika Khalifah Umar berjalan-jalan di pinggir kota, tiba-tiba ia mendengar rintihan seorang wanita dari dalam sebuah tenda yang lusuh. Ternyata yang merintih itu seorang wanita yang akan melahirkan. Di sampingnya, duduk suaminya yang tengah kebingungan. Maka pulanglah sang Khalifah ke rumahnya untuk membawa isterinya, Ummu Kalsum, untuk menolong wanita yang akan melahirkan anak itu. Tetapi wanita yang ditolongnya itu pun tidak tahu bahwa orang yang menolongnya dirinya adalah Khalifah Umar, Amirul Mukminin yang mereka cintai.
Pada kisah lainnya, Khalifah Umar berjalan di tengah malam berkeliling perkampungan untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Kemudian ia mendapati sebuah gubuk reot dan terdengar suara tangis anak-anak di dalamnya. Dari celah gubuk reot itu ia melihat seorang ibu yang tengah berusaha menenangkan anaknya yang menangis karena kelaparan. Rupanya anaknya menangis karena kelaparan sementara sang ibu tidak memiliki apapun untuk dimasak malam itu.
Umar mendengar si Ibu berkata kepada anaknya, “Berhentilah menangis, sebentar lagi makanannya matang”. Namun kemudian Umar terperanjat ketika melihat bahwa yang dimasak oleh ibu itu adalah sebuah batu. Sandiwara sang ibu yang berpura-pura memasak itu hanya untuk meredam tangis anaknya yang tak henti karena rasa lapar. Melihat pemandangan itu Umar sangat sedih dan merasa berdosa. Ditemani pengawalnya, Umar pergi ke gudang penyimpanan makanan negara dan mengangkut sendiri karung gandum itu.
“Ijinkanlah saya yang akan membawa dan memanggul gandum itu,” pinta sang pengawal. “Biarlah aku yang mengangkat dan memanggul gandum ini. Ini adalah tanggung jawabku. Dan aku akan menebus dosa-dosaku yang telah menyengsarakan rakyatku,” kilah Umar bin Khattab.
Di masa sekarang, mungkin terdengar aneh kalau ada kasus orang yang memasak batu karena kelaparan. Tetapi kita pun tak bisa menutup mata atas beberapa peristiwa yang pernah terungkap di media massa berkenaan dengan kemiskinan. Tentang seorang anak Sekolah Dasar yang mencoba bunuh diri karena tidak punya buku pelajaran, tentang sekeluarga di Makassar yang meninggal karena kelaparan, atau jutaan orang yang terjerat hutang dan jatuh dalam rantai baja rentenir.
Insya Allah, banyak kesempatan untuk menjadi kekasih Allah di masa kini. Segera ambil kesempatan ini, atau orang lain yang merebutnya dari depan mata kita. (gaw)

Sumber: Bayu Gawtama / Eramuslim

Rabu, 11 Maret 2009

Agar Diterima Jadi Mantu, Perlu Gaji Berapa Sih?

Gaji, adalah salah satu dalih dalam menunda pernikahan, walaupun sudah bertemu akhwat yang saling suka, seperti kisah Dudung Melamar Sang Putri.
Si Dudung mencoba-coba memberanikan diri melamar sang putri yang berjilbab gaul tapi sopan, sang camer yang kumisan seperti satpam bertanya “Kamu Sudah kerja Belum? ”
“Sudah Pak” kata Dudung sedikit grogi
“Kerja apa?”
“Wirausaha Pak”
“Berapa Gaji sebulan?”
“Nggak Tentu Pak?”
”Hah Elu, Anak gue Mau elu kasih makan apaan?”
*****
Banyak sekali Dalih lainya dalam menunda Menikah bagi para Lelaki dan Bahkan Ikhwan bila sudah bertemu dan saling suka dengan wanita. Padahal Mereka kebanyakan tahu dan yakin dengan sabda nabi
..... Janganlah kamu tunda-tunda pelaksanaannya........Apabila wanita (gadis/janda) sudah bertemu laki-laki yang sepadan yang meminangnya (dan saling suka) (HR Ahmad)*
Tetapi….Para lelaki tampak masih senang bermanja-manja dengan kenyamanan fasilitas dari Orang Tua. Mereka merasa berat meninggalkan kenyamanan tersebut, sehingga bermental “ayam sayur” ketika bertemu jodoh.
Penyebab para lelaki menunda menikah yang lainnya ialah :Mereka Tak mau menerima kenyataan bahwa mereka sudah mendapat taqdir hidup di keluarga biasa saja, tetapi ingin menikah dengan cara mewah, sewa gedung, sewa EO dan sebagainya, penyebab lainnya lagi ialah takut menghadapi calon mertua, seperti cerita Adegan si Dudung menghadapi calon mertuanya.
Si Dudung mencoba-coba memberanikan diri melamar sang putri yang berjilbab gaul tapi sopan, sang camer yang kumisan seperti satpam bertanya “Kamu Sudah kerja Belum? ”
“Sudah Pak” kata Dudung sedikit grogi
“Kerja apa?”
“Wirausaha Pak”
“Berapa Gaji sebulan?”
“Nggak Tentu Pak?”
”Hah Elu, Anak gue Mau elu kasih makan apaan?”
“Ya Nasi Pak, Assalamualaykum..?” Kata Dudung dengan badan gemetar menahan kesal sambil Keluar Rumah, Ngibrit menemui Abangnya Kampleng
“Pleng, Gawat Sekarang Dunya Serba Matre, Pleng”
AlKisah berlanjut…
"ya ampun Dung, elu baru ditanya gitu aja sudah minder, besok-besok kalu elu mau ngelamar cewek, kudu ajak abanglu yang keren gini" kata Bang Kampleng
"iye pleng, gue suka minder kalau ditanya camer soal gaji" kata Dudung
"elu harus pinter diplomasi Dung, tapi diplomasi yang benar, jangan ngeles atau ngibul (berdusta), elu bilang dong Bahwa gaji saya memang tidak tentu per bulannya, walaupun begitu insya Allah gaji saya itu halal dan berkah. Allah akan memberi rejeki dari arah yang tak disangka-sangka. Lagipula orang yang bergaji tetap dan sudah punya anak juga bisa saja dipecat, bahkan PNS pun bisa dipecat pak.
Kalau saya selalu berusaha mencari rejeki yang halal sehingga berkah, yang Insya Allah akan membuat Bahagia anak bapak" kata kampleng sambil bergaya seperti pembicara seminar motivasi terkenal di tivi.
"iye ye, ngapain gue takut,tapi kalau babenya tetap mau punya mantu pegawai tetap gimane pleng?" kata Dudung
"itu tandanya: anda belum beruntung, coba lagi, hehe" kata kampleng sambil pamer gigi
"ah elu pleng, emangnye beli makanan berhadiah yang di dalam bungkusnya ada tulisan: coba lagi "
"ye begitu Dunya ini, kalau gagal coba lagi dengan cara musyawarah, kalau gagal terus, ya coba lagi pada calon-mertua yang lain" kata Kampleng
**** "bang, emang perlu gaji berape sih biar diterima jadi mantu?" tanya Dudung
"yaa.. Bisa sejuta (rupiah), sebulan, 10 juta atau gaji nggak tentu kayak elu, Dung, tergantung Jenis mertua yang bakal elu hadepin" kata Bang Kampleng
"wah calon mertua gue termasuk Jenis apaan ya?" kata Dudung, sambil memegang jidatnya yang agak jenong
"jadi gini Dung, yang penting bagaimana elu bisa menyamakan fikiran calon mertua elu dengan fikiran elu dan kenyataan penghasilan elu, yang lebih penting lagi elu bisa meyakinkan kesiapan mental menghadapi cobaan dalam rumah tangga, lalu membeberkan potensi yang elu punya sekarang yang bisa menjamin kehidupan anak istri di masa depan, lagipula ngga semua mertua menilai menantu dari gaji, elu santai aja, dan hangan menunda-nunda, barusan gue baru baca sabda nabi
*Rasulullah Saw bersabda kepada Ali Ra: "Hai Ali, ada tiga perkara yang janganlah kamu tunda-tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya." (HR. Ahmad)
Jadi, setelah gue baca hadits itu, maka Keputusan elu melamar dengan modal tabungan yang ada sudah tepat, Dung, karena elu sudah punya cewek, Jadi nunggu apa lagi, kalau sudah saling suka, jangan ditunda-tunda, bisa dosa" kata Bang Kampleng
"oh gitu bang..., Makasih bang, Gue jadi siap mental nih, tabungan juga punya , mudah-mudahan aje gue ketemu calon mertua yang lebih mementingkan menilai agama, niat, iman dan amal perbuatan gue, pleng"
“Aamiin…” Kata Bang Kampleng sambil berdoa dan mengingat-ingat sabda Nabi yang tadi:
..... Janganlah kamu tunda-tunda pelaksanaannya........Apabila wanita (gadis/janda) sudah bertemu laki-laki yang sepadan yang meminangnya (dan saling suka) (HR Ahmad)*
Kenyataannya di Dunia Nyata, Ibadah yang banyak disukai orang ini sering ditunda-tunda dengan dalih mengada-ngada:
Masalah Dana dan Gaji, para lelaki sering minder alias nggak PD Soal rizqi, gentar bin ketakutan dengan tanggung jawab yang akan diemban, tapi dilain sisi:Masih tetap doyan mesra-mesraan,walaupun cuma lewat sms-an,karena telanjur dicap "Ikhwan", oleh kawan kawan,karena sering berbaju Koko di Badan
Begitulah Dunia Bro,
bro..(emangnye combro)...Ketakutan soal dana ialah hal yang biasa, tetapi bukan yang Utama.
Kalau memang hanya punya dana 5 Juta rupiah maka menikahlah dengan dana 4 juta rupiah, Kalau hanya ada 3 juta, menikahlah dengan Dana tabungan 2juta. (kurangi 1juta sebagai dana cadangan tak terduga) asalkan sdh bertemu jodoh dan si wanita sudah siap dan menerima.” Kata Kampleng
"kalau si wanita nggak nerima?" Jawab Dudung dengan Sigap
"Cari wanita lain Jeck, (emangnye abang ojeck atau jeck lampu) :)Cewek matre suruh ke laut aje, jadi nelayan... :)” Kata Kampeng dengan enteng.
“Selama ente taarufnye sekedar suka, nggak pake cinta berlebihan, dan nggak pakai mesra-mesraan, maka pindah ke lain hati menjadi mudah, lalau mutusinnya gampang (kan bukan pacaran,jadi tak perlu ada yang putus) bro…
Selama niat Ikhlash untuk ibadah, apabila dana tabungan yang cume 3 juta itu, bisa jadi kau akan mendapat pertolongan Allah menjadi senilai 30 juta bahkan lebih (bisa berupa uang, jasa atau barang), lewat hamba-hamba Allah lainnya seperti:
Ayah Ibu
paman
adik/kakak
teman
teman ngaji
teman bisnis
dan lain-lain, Dung,
tapi elu jangan sekali-kali ngarep (berharap) hal itu, ngandelin (mengandalkan) pertolongan hamba Allah lainnya apalagi sampe minta, bisa-bisa ente dikatain mental miskin,terhina walaupun nantinya sudah kaya.
Minta dan ngarep (berharap) saja cuma sama Allah.Allah maha kaya, dan maha membolak balik hati/qalbu manusia untuk menolongmu. Termasuk Membolak Balik Hati calon Mertua yang kadang meminta pesta mewah atau membuat standard Gaji bagi Calon menantunya” Jelas Kampeng
Si Dudung menganggukkan kepala

Sumber: Anas Ayahara / Eramuslim
Mertua Ku adalah Orang tua Ku

Ketika seorang wanita menikah, maka tanggung jawab orang tuanya sudah terlepas, karena kini tanggung jawab itu beralih pada sang suami, dan kewajiban sebagai istri adalah memenuhi hak-hak si suami, demikian juga suami terhadap istri. Namun ada yang perlu kita ketahui, kita menikah bukan pada suami kita saja, melainkan pada semua keluarga besar dan juga kedua orang tuanya.
kadang sering terjadi perselisihan memang antara kita dengan keluarga suami, karena dua karakter keluarga dan adat yang berbeda bersatu menjadi keluarga besar. Tapi kita sebagai seorang muslimah yang baik harus mengerti dan memahami. Kita menjadi istri dari anak mertua kita, yang selama ini telah membesarkannya dan berharap suatu hari nanti si anak akan menjaga dan menyayanginya hingga mereka kembali kepada sang khaliq, maka wajarlah kadang bila anaknya ingin menikah, orang tua dari calon mempelai laki-laki menyeleksi calon menantunya terlebih dahulu, sebelum menerimanya menjadi bagian dari keluarga besar mereka.
Beberapa hari lalu seorang teman minta di telfun oleh saya. Dia bilang ingin curhat dengan saya tentang adik iparnya itu, sebenarnya dia sendiri adalah seorang menantu, dan mempunyai adik ipar yang sudah menikah, jadi yang ingin dia ceritakan adalah istri dari adik iparnya itu, dan kebetulan adiknya itu menikah dengan orang yang sama-sama kami pernah kenal dulu. Maksudnya adalah dia ingin sekali mencari solusi bagaimana mengatasi hal ini, karena dia merasa bertanggung jawab dalam hal ini, kenapa...? karena dia yang dulu mengenalkan nya pada adik iparnya itu. Jadi bukan bermaksud untuk ghibah.
Ceritanya memang sangat mengharukan, karena saya benar-banar tidak manyangka sama sekali, saya mengenal teman (adik ipar teman saya) itu adalah orang yang baik, tapi kini jadi berubah. teman saya bercerita istri adik iparnya itu kini tidak punya sopan santun sama sekali dengan ibu mertuanya, apa lagi ketika sempat si adik ipar itu menginap beberapa minggu di rumah mertuanya. Teman saya bercerita kadang adik iparnya itu, suka ketus bila berbicara pada ibu mertuanya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena saya tidak tahu permasalahan yang sebenarnya, jadi saya hanya memberi saran, agar teman saya itu berbicara pada suaminya, maksudnya adik iparnya yang laki-laki, agar dia menasehati istrinya itu.
Sedih sekali saya mendengar cerita teman saya ini, terbayang saya wajah wanita tua itu, mertua dari teman saya, karena saya pernah bertemu dengannya saat liburan tahun lalu. Beliau sudah sangat tua dan beliau mengasuh anak-anaknya sendiri, karena suaminya telah meninggalkannya kembali kepada sang khaliq, ketika anak-anaknya masih kecil-kecil. Betapa sedih hati nya mendapati menantu yang tidak menyayangi dan menghargainya. Terbayang pula oleh saya kedua orang tua suami saya yang sudah renta, beliau tinggal hanya berdua saja, sedangkan kedua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal jauh darinya. Walaupun saya atau suami sering menelfunnya, tapi saya yakin beliau ingin sekali berdekatan dengan anak, manantu dan cucu-cucunya.
Saya jadi ingat cerita tentang Nabi Ibrahim, Ketika itu Nabi Ibrahim berkunjung kerumah anaknya Nabi ismail dan saat itu hanya istri nabi ismail lah yang berada di rumah, lalu Nabi Ibrahim bertanya pada istri Nabi ismail, tentang keadaan rumah tangganya, dan di jawab oleh istri nabi ismail dengan ketus serta membuat Nabi Ibrahim tidak suka mendengarnya, maka ketika Nabi Ibrahim hendak pergi meninggalkan rumah itu, Beliau menitip salam untuk Nabi Ismail pada istrinya, agar segera mengganti tiang pintu rumahnya itu. ketika Nabi Ismail kembali salam itu si sampaikannya, Nabi Ismail tahu, bahwa yang berkunjung tadi adalah ayahnya dan saat itu juga Nabi Ismail segera menceraikan istrinya serta mengembalikannya kepada kedua orang tuanya.
Apakah harus demikian dengan kita, tidak...! Kita InsyaAllah bisa lebih baik dari istri Nabi ismail, dalam berbicara dan sopan santun kita kepada mertua kita, karena beliau adalah orang tua kita, setelah kita menjadi istri dari suami kita. Berfikirlah lebih baik wahai Ukhti, karena kita adalah seorang Ibu, dan anak kita kelak akan menikah nanti. Saya juga sempat merasakan hal itu, namun ketahuilah, bahwa semua yang di lakukan oleh orang tua suami kita itu adalah tidak lain hanyalah cemburu belaka, karena anak yang sedianya senantiasa selalu memperhatikannya, kini terbagi perhatiannya, bahkan kadang perhatian itu menjadi lebih sedikit terhadap kedua orang tuanya, malah lebih banyak kepada kita, sebagai istrinya. Tidak kah kita bersyukur mempunyai suami yang sholeh, maka ingatkanlah pada suami kita, untuk selalu memperhatikan orang tuanya yang sudah membesarkannya.
Bila ada kesempatan kita yang memberi kasih sayang lebih banyak pada mertua kita, sebagaimana kita memberikan kasih sayang kita pada Orang tua kita selama ini. Apa lagi bila mertua lelaki kita sudah tiada, maka ibu mertua kita butuh perhatian lebih dari anak-menantunya, bakti kita padanya, seperti bakti kita pada Ibu kita. Jangan sungkan ucapkan sayang pada beliau, agar beliau tahu kalau kita sebagai menantu tidak akan pernah mengambil hak beliau sebagai seorang ibu yang jadi tanggung jawab bagi anak lelakinya yaitu suami kita, walaupun si anak sudah menikah.
Seperti cerita yang pernah saya tulis juga, tentang kasih ibu sepanjang zaman, kasih anak sepanjang galah. Maka jangan kita biarkan suami kita hanya memberikan kasih sayangnya pada orang tuanya, terutama pada ibunya yang sudah melahirkan dan membesarkannya hanya sampai pada suami menikahi kita dan mendapat kasih sayang dari kita, serta merasa cukup. sehingga perhatian pada kedua orang taunya terabaikan. Jangan.Ingatkan selalu pada suami kita untuk terus berbakti pada kedua orang tuanya.Memperhatikannya, jangan sampai mertua kita berkata pada suami kita,
" Setelah kamu menikah, kamu tidak lagi memperhatikan Ibu..( Kami ) " .
Sedihkan kita mendengarnya, karena itu suatu keluhan dari seseorang yang mempunyai doa yang makbul, yang cemburu karena kehilangan kasih sayang dari anaknya yang sudah beliau besarkan selama ini.
Kewajiban anak laki-laki dalam memberikan perhatiannya pada kedua orang tuanya, walaupun anak lelaki itu sudah menikah adalah jelas, seperti dalam sabda Rosulullah SAW.
Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah SAW. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Mari sayangi Mertua kita, sebagimana kita menyayangi Kedua Orang tua kita, karena di sana ada do´a untuk kebahagian rumah tangga kita. Amiin.
Wallahu´alam bisshowab.
Heidenheim 11 Maret 2009

Sumber:Ummu Mufais / Eramuslim

Rabu, 04 Maret 2009

Jangan Pernah Berpaling

Ketika pernikahan dilandasi dengan rasa iman pada Alloh,maka akan mudah kita menjembatani warna-warna yang hadir dalam pernikahan tersebut yang berasal dari berbagai perbedaan yang terdapat dalam diri suami maupun istri. Dari perbedaan sifat, kesukaan, selera makan serta kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki sejak dahulu kala bukan menjadi alasan bagi seorang untuk berpaling dari pasangannya.
Ketika makan siang bersama atau kumpul santai atau adapula yang sengaja curhat dari hati kehati, yang sedikitnya menyinggung tentang kekurangan atau perbedaan yang ada dengan pasangan hidupnya.
Ada yang jengkel karena pasangannya yang suka lupa meletakkan barang atau sembarangan menaruh barang, pasangan yang kurang romantis,pasangan yang kurang perhatian, cepat marah, kurang menghargai sampai pasangan yang suka akan suatu makanan dan sebaliknya pasangannya membenci makanan tersebut.
Gara-gara makanan ini,si istri kadang menjadi ilfil (gimana ngga,katanya...sebab dia paling ga suka dengan jengkol,sementara suaminya suka dengan jengkol,apalagi kalo disemur...wah..wah :))
Untuk masalah-masalah kecilpun akhirnya karena tidak dikelola dengan baik menjadi alasan untuk membuat suasana yang kurang nyaman.Apalagi kalau tidak dibiasakan budaya keterbukaan ketika ada masalah,hanya dipendam,dipendam dan dipendam.Yang akhirnya membuat situasi rumahtangga kita tidak seperti yang digambarkan Alloh SWT tentang hakekat pernikahan sebenarnya
" Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya,Dia menciptakan untukmu istri dari jenismu sendiri supaya kamu tenteram bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasihsayang di antara kamu" (QS 30:21)
Perbedaan-perbedaan yang ada selama tidak menyangkut aqidah dan hal-hal yang jelas halal dan haromnya, hendaknya justru membuat suatu rumah tangga menjadi ajang untuk saling menularkan kebaikan-kebaikan yang ada dalam diri suami maupun istri yang akhirnya mampu mewujudkan generasi yang lebih baik dari orangtuanya yang memiliki kumpulan nilai-nilai positif yang dimiliki oleh ibu dan ayahnya.
Bila istri seorang yang rapih,cermat sementara suami sebaliknya,inilah ajang istri untuk menularkan kelebihannya ini kepada suami tentunya dengan cara yang hikmah dan sabar. Sebaliknya bila suami seorang yang sabar,sementara istrinya seorang yang kurang sabar,inilah saatnya untuk menularkan sifat sabarnya tanpa berputus asa dan terburu-buru mengharapkan segera ada perubahan dalam diri istrinya.
Kita harus mencoba memahami bahwa kebiasaan atau sifat yang mungkin kurang pas yang dimiliki oleh pasangan kita berawal dari pola pengasuhan yang diterima ditambah pengaruh lingkungan sekitarnya sehingga hal tersebut menjadi suatu karakter atau kebiasaan . Sehingga ketika kita menuntut terjadinya perubahan secara cepat pada diri pasangan kita, hal tersebut mungkin akan sulit,karena semua membutuhkan proses yang berbeda-beda.
Ditengah minimnya usaha kita untuk saling mengishlahkan,masuklah bisikan syaiton yang menghembuskan ke dalam dada kita untuk berpaling dari pasangan yang telah Alloh karuniakan pada diri kita. Kita biarkan hati ini mengembara mencari sosok yang memiliki kesamaan dengan diri kita,yang akhirnya semakin menancap eksistensi kekurangan pasangan kita tersebut. Kadang dalam keberpalingan tersebut kita korbankan waktu dan hak anak kita untuk mendapatkan perhatian karena 'kesibukan'kita.
Keharusnya kita sadari bahwa "rumput tetangga akan kelihatan lebih hijau",dimana mungkin kita merasa tetangga,teman beruntung karena pasangan hidupnya tidak seperti pasangan hidup kita yang menjengkelkan,tidak menyenangkan,tidak perhatian,egois,keras kepala dan lain sebagainya,padahal sesungguhnya itu hanya tampak sebatas lahiriah saja. Seandainya mereka tinggal bersama dengan kita,mengalami masalah yang sama,berinteraksi secara intensif,tentunya hal-hal yang semula terlihat indah dan hijau akan terlihat bahwa dia tidak lebih baik dari pasangan kita.
Ketika perasaan saya terbawa melihat kekurangan suami saya atau kambuhnya hal-hal yang kurang baik yang telah kita sepakati untuk diubah, maka saya mencoba untuk melihat segudang kebaikan suami saya kepada saya,anak-anak,keluarga besar saya serta kebaikannya kepada para ikhwah yang kerap ditolongnya apabila mereka kesulitan. Dan sayapun menyadarkan diri saya bahwa sayapun memiliki banyak kekurangan.
Walaupun kadang bisikan syaiton mengajak pada diri untuk mengagumi sosok yang 'sepertinya'mampu memuaskan dahaga keinginan ' yang selama ini tidak kita dapati pada pasangan kita, luruskanlah kembali hati dan perasaan kita bahwa 'pasangan kita adalah pasangan yang terbaik,terhebat,terindah'yang telah Alloh karuniakan pada diri kita untuk menjadi suami/istri dan ayah/ibu bagi anak-anak kita. Semoga bersatunya kita di dunia akan bersatu pula di JannahNYA.
Robbanaa hablanaa minazwaajinaa wadzurriyyatinaa qurrotaa'yun waj'alnaa lil muttaqiina imaamanYa Robb,anugrahilah kami pasangan dan keturunan kami sebagai penyenang hati dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa

Sumber:Endi Farah (ummu ahzami) / eramuslim