Rabu, 25 Februari 2009

Janganlah Marah, Bagimu Surga

Sebelum riset menunjukkan hubungan marah dengan kesehatan, Rasullah berkali-kali mengingatkan untuk menghindari marah

Keutamaan menahan marah sudah beribu kali disampaikan Rasulullah dan para ulama kita. Larangan ini masuk akal, sebab akibat amarah, seseorang dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan agama. Seperti memukul, berdusta, mencaci, berkata kotor, bahkan bisa membunuh.
Dalam agama kita, bertebaran ayat dan hadist yang mengingatkan dan melarang dengan perbuatan satu ini.
Diantaranya, Allah memuji seseorang yang tidak suka membalas dendam dan lebih suka memaafkan. “Dan bagi orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” [QS : Asy-Syura' : 37]
Dalam ayat lain disebutkan, orang yang mampu menahan amarahnya termasuk yang dapat mendapatkan kecintaan-Nya. Firman Allah : "Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." [QS AH Imron : 134].
Dalam sebuah hadist, disampaikan. "Dari Mu'adz bin Anas Al Juhani, Rasulullah bersabda : "Barang siapa yang menahan amarahnya sedangkan ia mampu untuk mewujudkannya, Allah akan menyebutkan dan memujinya pada hari kiamat kelak di hadapan seluruh makhluk, hingga dia diberi pilihan untuk mengambil bidadari mana saja yang ia kehendaki" (HR. Tarmidzi 2021, Abu Daud 4777, Ibnu Majah 4186, Ahmad440).
Rasulullah mengatakan, orang yang dapat menahan amarahnya, maka Allah akan menjauhkannya dari murka-Nya. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin amr bahwasannya dia bertanya kepada Rasulullah SAW : "Wahai Rasulullah, amalan apa yang dapat menjauhkan aku dari murka Allah ?" Beliau menjawab : "Jangan marah!" (HR. Ahmad)
"Abu Darda' ra. berkata : ada seseorang datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya: "Wahai Rasulullah, tunjukilah aku sebuah amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga !" Rasulullah menjawab : "Jangan marah, dan bagimu surga". [Shahih li qharrihi HR Thabrani].
Temuan peneliti dari Yale University di New Heaven, Connecticut (AS) tentang efek marah ini, semakin menunjukkan, betapa nilai-nilai ajaran Islam lebih jauh melampaui batas akal manusia.

Sumber: [hid/www.hidayatullah.com]
Pengalaman Pengantin Baru

Menegur orang yang berbuat salah itu adalah suatu kebajikan, bahkan menurut saya menegur orang yang berbuat salah lebih sulit ketimbang mengajak orang lain berbuat kebaikan. Tapi, bagaimana bila yang terjadi justru sebaliknya, bukannya menegur orang yang berbuat salah, melainkan salah menegur orang yang tidak berbuat salah? Duh...yang pertama, malu pastinya. Hati-hati, teguran kita justru dapat menjadi fitnah, lha wong nggak berbuat salah kok? Bisa dituntut dengan pasal pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan lho...
Saya mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga akan hal ini, dari pengalaman saya sendiri.
Dua hari setelah acara pernikahan, saya mengajak suami ke desa tempat tinggal nenek saya. Menjenguk nenek saya yang sedang sakit, sekaligus memperkenalkan keluarga besar saya pada suami. Pagi hari usai sholat subuh saya dan suami keluar rumah untuk menikmati pemandangan desa dan menghirup segarnya udara pagi pedesaan.
Ditengah jalan, kami berpapasan dengan rombongan pemuda yang berpenampilan khas anak santri, sekitar 5 orang. Arah kami berlawanan. Hanya dua langkah setelah mereka melewati saya dan suami, salah seorang berseru,
"Bukan mahrom !"
Suasana yang hening membuat seruan itu terdengar begitu jelas. Saya dan suami menengok ke samping kanan, kiri, dan belakang kami, tak ada orang lain selain kami, dan hanya kami yang merupakan pasangan. Sedikit bingung, karena kami tidak berlaku sebagaimana orang pacaran, seperti bergandengan tangan atau berangkulan.
Oalah...saya dan suami pun kemudian mengerti. Rupanya mereka mengira saya dan suami adalah pasangan bukan mahrom, yang pagi-pagi buta jalan hanya berduaan. Saya dan suami saling berpandangan, tertawa geli.
Saya menghargai keberaniannya untuk menegur. Eh salah, baru disebut berani bila ia berdiri ke hadapan kami dan menegur secara langsung, bukan berteriak sambil lalu, kemudian berbuat seolah-olah tak pernah berkata apa-apa. Tapi biarpun begitu, saya tetap merasa salut dengan niat baiknya nahi munkar, sayang ia memperingatkan orang yang salah. Saya dan laki-laki yang jalan bersama saya sudah sah menikah. Masak jalan berduaan sama suami nggak boleh ?
Dilain waktu, masih dalam suasana pengantin baru (Lima hari setelah hari pernikahan). Ketika Jogja tertimpa bencana gempa, saya dan suami berangkat ke Jogja dari Lombok, tanah kelahiran saya. Di Jogja saya ikut sebagai relawan sebagai tim medis mobile clinic.
Sembari menunggu mobil yang akan membawa saya dan tim medis lainnya ke lokasi-lokasi bencana, saya mengambil handphone dan mengetik SMS. Seorang akhwat yang belum saya kenal rupanya secara tidak sengaja atau sengaja ? Melihat barisan kata yang tengah saya ketik dihandphone saya,"Sayang, lagi ngapain...? Adek kangen..."Terkirim kepada "Lelaki Surga", nama yang saya berikan untuk suami didalam kontak handphone saya.
Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi bencana, si akhwat tersebut acuh tak acuh terhadap saya, tak ada keramahan yang ia tunjukkan. Ketika tiba dilokasi dan kami mulai bekerja, disela-sela istirahat, teman dari akhwat tersebut bertanya pada saya, "Mbak dari mana...?""Saya dari lombok...""Lho, jauh sekali...terus disini (Jogja) tinggal sama siapa?""Nginap di rumah Budenya suami..."
Si akhwat yang sempat melirik SMS mesra saya tadi, mendengar perbincangan antara saya dengan temannya. Serta merta ia terperangah dan berkata,"Ooooh mbak udah nikah, yaa...? Duhh...saya jadi maluu..."Barulah sikapnya berubah ramah terhadap saya.
Tidak tabayun (Konfirmasi), Su'udzon deh jadinya...
Belajar dari pengalaman tersebut, saya pun jadi lebih berhati-hati menilai orang lain. Ternyata, kita tidak boleh begitu saja menilai orang lain itu salah dari hanya penglihatan luar kita saja, apalagi bila hanya berdasarkan prasangka.
Suatu hari, ketika saya tengah ikut suami ke kampus, sembari menunggu suami selesai kuliah, saya main internet di warnet kampus. Di box tepat didepan saya digunakan oleh sepasang muda-mudi yang tingkah laku mereka membuat saya merasa gerah. Perempuannya menggunakan celana super pendek dan ketat dengan baju atasan tak kalah ketat dan terbuka, sedang yang laki-laki menggunakan jaket bertopi yang menutupi kepalanya. Melihat dari cara berpakaian si perempuan, mungkin wajar bila orang menyangka ia bukanlah perempuan baik-baik.
Tingkah mesra mereka yang saling memeluk dan mencium membuat saya jengah hingga kehilangan konsentrasi. Berbagai pikiran negatif berkecamuk dalam benak saya. Mereka harus diberi peringatan, nih! Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan! Saya pun menyusun kalimat apa yang akan saya lontarkan kepada mereka, terus terang deg-degan! Nahi Munkar memang butuh keberanian lebih. Eit...tunggu dulu, siapa tahu mereka itu pasangan menikah ? Cegah bathin saya. Teringat kembali pengalaman saya ketika pengantin baru dahulu, disangka pasangan yang belum halal alias pacaran.
Dengan menghimpun keberanian, saya pun mendekati pasangan muda-mudi tersebut."Mbak sama Masnya ini suami-isteri, bukan?"Dijawab oleh yang perempuan dengan ramah, "Oh, iyaa...kita ini baru aja menikah...baru beberapa hari yang lalu""Ooo...pengantin baru, pantesan mesra-mesraan gitu..." Ujar saya tersenyum.
Ufh...lega...
Lega yang pertama karena mereka tidak sedang berbuat "mesum". Lega yang kedua karena saya mengkonfirmasi terlebih dahulu sebelum memberi peringatan. Tadinya, bila mereka menjawab belum menikah, saya sudah menyiapkan khotbah buat mereka. Lain waktu, saya harus belajar untuk selalu melakukan tabayun terlebih dahulu sebelum menilai orang lain salah, ataupun sebelum memberikan peringatan kepada orang lain...

Sumber:Cahaya Khairani / Eramuslim

Selasa, 24 Februari 2009

Ngobrolin Suami, Yuk ?

Ketika beberapa ibu muda tengah berkumpul di sebuah acara pengajian, salah seorang diantaranya adalah seorang ibu muda baru. Maksud saya...baru beberapa hari menikah (Sssttt... masih bau melati !). Sebuah pertanyaan spontan terlontar dari ibu muda baru ini,
“Wajar nggak sih...kalo baru beberapa hari menikah suami sudah bicarakan poligami...?” :(
Eh...secara kompak tanpa dikomando para ibu muda itu menjawab,
“Itu sih, biasaaa...”
Jangankan beberapa hari menikah, yang pada saat malam pertama suaminya sudah bicarakan poligami pun, ada!.
Benarkah sedemikian parahnya (Sebagian) para suami hingga membicarakan hal sensitif itu kepada isteri yang baru saja dinikahinya...?
Hmm...Bagi akhwat yang belum menikah, jangan esmosi eh emosi dulu ya...apalagi jadi takut menikah, persiapkan saja diri untuk menghadapi hal seperti ini di awal pernikahan Anda. Kalau-kalau hal ini terjadi pada Anda. Berikut ini akan saya berikan rahasianya ;)
Umumnya, pengantin baru yang mengalami masalah tersebut adalah pasangan yang tidak menjalani proses pacaran terlebih dahulu. Mereka diperkenalkan oleh pihak ketiga yang sebutan kerennya “Mak Comblang” yaitu guru ngaji, orang tua, kakak, adik, atau teman. Oleh karena tidak saling mengenal lebih dalam sebelumnya, sebagian pasangan merasa kesulitan untuk menyatakan perasaan atau pun menyatakan apa yang ia rasakan di awal pernikahan mereka. Sehingga bahasa air mata, muka cemberut, atau bahasa sindiran kerap digunakan oleh pasangan pengantin baru ini.
Bagi sebagian laki-laki (Terutama yang tidak pernah pacaran sebelumnya), merasa gengsi untuk bertanya, “Apakah kamu mencintai, membutuhkanku, dan takut kehilangan diriku wahai isteriku...?” kepada seorang wanita yang baru saja dinikahinya, yang ia belum mengetahui apakah wanita yang ia nikahi itu juga mencintainya ataukah tidak, sebab tak pernah ada pernyataan cinta sebelum mereka menikah.
Di sinilah sebagian suami itu mengeluarkan jurus ampuhnya, yaitu membicarakan soal poligami. Hanya dengan satu kata itu, jawaban atas keingintahuannya akan cinta, kasih sayang, perasaan membutuhkan, dan takut kehilangan isteri terhadap dirinya akan ia dapatkan. Bila isteri marah, atau menangis, atau ngambek, selain penyesalan, si suami pun akan merasa senang dan bahagia. “Ternyata isteriku ini mencintaiku!” Begitulah kira-kira sorak hati si suami.
Gawatnya, bagaimana bila isteri menganggap hal ini sebagai masalah besar ? Kemudian serta-merta tidak mempercayai si suami ? Lantas dirinya menjadi minder, merasa tidak dicintai, merasa dirinya serba kekurangan hingga suami ingin menikah lagi (Yang ia pikir pernyataan serius)?
Jangan dimasukkan dalam hati. Begitulah cara sebagian suami untuk mengetahui seberapa dalam cinta isteri padanya. Ia gengsi untuk menanyakan secara langsung. Tapi...pura-puralah marah dan kesal, pukul atau cubit ia dengan manja, tunjukkan kecemburuan kita dengan sikap manja, dia pasti akan tertawa senang. Selanjutnya, jangan ragu-ragu menunjukkan dengan kata-kata bahwa kita sangat mencintai dan membutuhkannya, puji dia bila ia memberikan kebaikan pada diri kita, baik dihadapannya maupun dihadapan orang lain. Jangan lupa selalu ucapkan terima kasih atas sekecil apapun kebaikan yang ia tunjukkan, dengan begitu suami akan merasa dihargai.
Bila suami telah merasa dicintai, dibutuhkan, dan dihargai, ia tidak akan menggunakan jurus ampuh itu lagi untuk mengetahui seberapa dalam kita mencintainya. Hei Jeng, kita tidak mau kan kalau pernyataan iseng suami menjadi kenyataan...? :)

Sumber:Cahaya Khairani / Eramuslim

Rabu, 11 Februari 2009

Lelaki dan Kesetiaan

Bagaimana saya bisa memulai menulis tentangnya, tentang seorang lelaki dan kesetiaannya. Sejujurnya saya tak begitu mengenalnya lebih jauh, hanya sedikit cerita dari adik saya yang merupakan menantu dari lelaki itu, dan dari tante saya yang tinggal bertetangga dengannya. Tetapi dari yang sedikit itu rasanya begitu banyak yang terasa menyentuh dihati saat mendengarnya.
Ia telah menikah selama hampir 30 tahun, telah dikarunia 4 orang anak yang telah berkeluarga, kecuali si bungsu yang sedang menyelesaikan kuliahnya. Selama 30 tahun pernikahannya, tahukah anda berapa tahun yang sempat dilaluinya utuh sebagai suami istri selayaknya? Mungkin hanya sekitar 11 tahun….saaat si bungsu baru berusia 1 tahun, sang istri terkena penyakit yang tak tahu apa sebab dan akibatnya.
Sering merasa ada bisikan-bisikan aneh di telinganya yang membuatnya kadang tak ingat dan tak sadar dengan sekelilingnya. Tahun-tahun pertama, ia masih dengan sabar membawa sang istri untuk berobat, mulai dari pengobatan medis hingga alternative. Tahun-tahun tanpa perubahan yang berarti…..tetapi lelaki itu tetap sabar, hingga akhirnya ia tiba pada satu keputusan, ia sendiri yang akan menjaga dan merawat sang istri.
Ia sadar akan banyak mengorbankan hal-hal di luar menjaga sang istri. Pekerjaan yang dijalani sebagai pengajar, dilakukan hanya benar-benar pergi untuk mengajar, tak pernah sempat untuk bersosialisasi, meski ditawari jabatan yang cukup bergengsi, ia sadar akan tugas dan kewajibannya menjaga sang istri butuh waktu dan perhatian extra. Pun saat silaturahmi dengan keluarga mulai terbatas untuk dilakukannya, bahkan saat adik saya menyelenggarakan aqiqah anaknya, sang kakek tak sempat datang karena tak ada yang menjaga sang istri.
Ia tak pernah keluar rumah sebelum memastikan sang istri ada yang menjaga. Bergantian ia dan anak-anaknya menjaga sang ibu, disela-sela kesibukan masing-masing. Kesadaran yang turun naik, kondisi fisik yang kadang memburuk, dan itu telah berlangsung selama hampir 20 tahun....
Apa yang ada di benak lelaki itu? Sungguh saya sangat ingin bertanya langsung padanya, tapi rasanya saat ini belum mungkin. Lelaki pendiam dan bersahaja itu, hanya beberapa kali saya bertemu dengannya, itupun tanpa percakapan apa-apa. Tapi dari sorot matanya saya tahu betapa ada bintang-bintang kesetiaan terpancar di matanya.
Lelaki itu pernah berkata pada anaknya mungkin ini amanah dari Allah untuk menjaga istrinya, menurutnya ini memang tugas yang telah di berikan Allah khusus untuk dirinya karena orang lain belum tentu bisa melakukanya….
Berapa banyak lelaki seperti itu di dunia ini? Lelaki yang tetap setia dan sabar menjaga istri yang sakit-sakitan bahkan selama 20 tahun, mungkin tak lagi bisa melayaninya lahir dan bathin. Sebuah alasan yang sungguh sangat dibenarkan dalam agama baginya untuk menikah lagi. Tetapi itu tidak dilakukannya.
Berapa banyak lelaki yang justru memiliki istri yang sehat walafiat tanpa kurang suatu apa pun tetapi tak jua mampu mengukuhkan kesetiannya pada sang istri? Dengan berbagai alasan dan pembenaran untuk bisa memalingkan cinta pada yang lain. Tetapi lelaki itu tidak!.
Kisah seorang istri yang setia pada suami mungkin masih sering kita dengar, tetapi kisah seorang suami yang seperti ini sungguh bukan hal yang biasa terdengar. Dia rela menghabiskan waktunya di rumah untuk tetap menjaga dan mengurus sang istri memastikan semua baik-baik saja.
Suatu saat kondisi istri agak memburuk, kami sekeluarga sempat menjenguk sang istri yang terbaring kaku, berhari-hari tak bisa makan, hanya sesekali disuapi susu oleh si bungsu, wajah lelaki itu muram tapi tetap berharap, meski sehari sebelumnya, adik saya sempat bercerita untuk pertama kalinya ia melihat lelaki itu menangis melihat keadaan sang istri, seraya berdoa agar Allah bisa memutuskan yang terbaik bagi sang istri, karena begitu tak tahan ia melihat penderitaan sang istri.
Waktu 20 tahun, bukan waktu yang singkat untuk memupuk kesabaran dan kesetiaan, tetapi lelaki itu telah membuktikannya. Atas alasan apa? Entahlah....hanya dia dan Tuhan yang tahu.....semoga ia mendapat balasan yang setimpal dengan kesabarannya, mungkin hanya bidadari di syurga yang layak mendampinginya sebagai balasan atas kesetiaannya....
Ah, cinta.....masih adakah cinta yang seperti itu, yang tulus memberi tanpa beharap balasan? Yang kukuh memupuk cinta meski hanya menumbuk bayangan semu yang tak lagi nyata bisa menemaninya merangkai hari-hari tua.
Sungguh beruntung sang istri memilikinya, semoga Allah menghapus semua kesalahannya disebabkan sakit yang telah bertahun-tahun dideritanya.And....my husband....would you love me like that???

Sumber: Novriany Amaliyah / Eramuslim

Rabu, 04 Februari 2009

Menikah Dulu, Baru Pacaran

Masa lalu kita adalah sejarah yang tidak bisa kita ubah. Tetapi, jangan sampai kita terkukung oleh masa lalu kita hingga merasa tidak mungkin berubah.
***
Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh!
Sebelumnya aku ucapkan terima kasih banyak atas waktu dan perkenannya untuk membaca tulisan ini. Semoga kau selalu dalam keadaan sehat dan berada dalam lindungan-Nya. Amin.
Sebagai renungan, mengutip dari apa yang pernah kau tulis sendiri untukku beberapa waktu lalu:
“Masa depan yang cerah berdasarkan pada masa lalu yang telah dilupakan. Kau tidak dapat melangkah dengan baik dalam kehidupanmu sampai kau melupakan kegagalan dan rasa sakit hatimu.”
“Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Akan tetapi, seringkali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup itu sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan untuk kita”.
Harapan-harapan masa laluku kepadamu dan janji-janji kita dulu untuk mencapai pernikahan, ternyata hanyalah sebatas impian. Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya. Biarlah itu semua menjadi kenangan dalam hidupku.
Sejujurnya aku akui, begitu banyak kenanganku bersamamu. File-file dan foto-fotomu di notebook dan PC-ku.
Satu minggu sejak pengakuanmu yang menyatakan bahwa kau mencintai wanita lain. Sejak itu pula, aku merasa kehilangan kendali. Aku terpuruk sekali. Tidak pernah terbayangkan kata-kata itu terucap dari orang yang sangat aku cintai dan sangat aku percayai. Tidak mungkin! Tapi itulah kenyataannya.
“Pergiliran roda kehidupan kadang tidak bisa ditolak. Hadapi kenyataan dan berserah diri kepada-Nya adalah jalan terbaik.”
Aku coba merenungi apa yang pernah dikatakan oleh pimpinan Wisata Hati itu. Memang tidak gampang menerima kenyataan. Tapi kalau aku pikirkan dengan lebih mendalam, diterima atau tidak suatu kejadian buruk, ia sudah terjadi dan kita tidak bisa memutar ulang waktu. Apalagi yang bisa kita lakukan selain mengembalikan semua kejadian kepada Sang Penguasa setiap kejadian itu sendiri? Lalui saja dengan ikhlas. Betapapun beratnya penderitaan dan peliknya sebuah persoalan, pasti ia akan berujung. Dan hal itulah yang coba aku lakukan saat itu.
Alhamdulillah, dengan satu keyakinan akan janji-Nya, di antaranya dalam Q.S. Al-Furqan [25] : 68-70.
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dan seiring berjalannya waktu, cobaan dan ujian hati yang aku alami, perjalanan Ramadhan, hikmah-hikmah yang indah, dan pengalaman yang kudapat semakin membuat hatiku lebih mengerti akan arti kehidupan ini.
Bersikap ikhlas dan sabar akan membuat segala kekurangan tidak akan menyesakkan dada lagi. Masa lalu kita adalah sejarah yang tidak bisa kita ubah. Tetapi, jangan sampai kita terkukung oleh masa lalu kita hingga merasa tidak mungkin berubah.
Apa yang aku alami di masa lalu adalah satu tamparan pedih. Namun, sesungguhnya di balik itu semua sangat berarti untuk jiwa ini. Disadarkan akan arti cinta sejati. Cinta sebelum menikah adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan dan diagung-agungkan!
Innaa lillahi wa innaa ilayhi rooji’uun. Alhamdulillah, Dia masih memberikan hidayah-Nya dengan cara seperti ini.
Insya Allah, aku akan segera meyempurnakan separuh agama. Seorang laki-laki shaleh yang akan aku cintai sepenuh hati. Seorang yang mencurahkan ketulusan kasih sayangnya, mau menerima diriku seutuhnya, dan siap hidup berjuang bersama dijalan-Nya dalam suka dan duka.
Aku tidak tahu siapa dia. Jika waktunya telah tiba nanti, semuanya akan terang benderang. Anugerah terindah itu pasti akan datang.
Sesungguhnya tiada sesuatu yang lebih indah di dunia ini selain jalinan persaudaraan. Aku ingin jalinan persaudaraan di antara kita dan keluarga yang sudah terbangun selama ini tetap ada, terlepas status dari hubungan kita sekarang. Forget it!
Aku masih tetap mencintaimu. Tapi cinta sesama saudara seiman. Hanya sebatas itu. Kau tidak usah bersikap antipati terhadapku. Kau tidak usah khawatir. Aku hanya ingin komunikasi di antara kita dan keluarga tetap baik. Aku tetap menjalin komunikasi denganmu bukan berarti aku ingin kondisi hubungan kita seperti dulu lagi. Mohon hal ini untuk dipahami. Wallahu a’lam kalau ternyata Allah mentakdirkanmu sebagai jodohku kelak.
Di tulisan ini, aku menggantikan panggilan “Adik” dengan kata ganti “Aku” dan tidak memanggilmu dengan sebutan “Aa” lagi. Semata untuk menjaga hatiku dan hati perempuan yang kau cintai kini.
Once again, aku menginginkan hubungan baik kita terjalin lagi, sama seperti hubungan baikku dengan beberapa teman alumni satu kampus kita dulu yang masih tetap terjalin indah. Teman-teman yang pernah aku kenal dan semua orang yang pernah menyakiti dan membenciku. Aku hanya ingin tetap menjalin silaturahim. Bukankah menjaga silaturahim itu salah satu tiket masuk surga?
Mohon maaf atas segala salah dan khilaf. Semoga Allah masih terus berkenan memberikan hidayah dan rahmat-Nya. Dan ampunan-Nya kepada kita semua. Amin.
Wassalaamu’alaykum wa rahmatullahi wa barakaatuh!
***
31 Januari 2oo9 o4:47 p.m
Ditulis ulang dari kisah nyata yang diceritakan oleh seorang Sahabat.

Sumber:Setta SS / Eramuslim