Jumat, 03 Juli 2009

“Membeli” Anak

“Kapan nich, punya momongan?”
“Lho, berapa tahun menikah, koq belum hamil?”
Pertanyaan di atas sering terlontar kepada seorang muslim yang tinggal di Karawang, dan telah menikah selama 13 tahun. Usia pernikahan yang cukup lama, untuk dilalui hanya berduaan saja dengan sang istri. Tetapi apa hendak dikata, kondisi medis sang suami tidak menggembirakan, hanya 3% bibit sperma yang hidup. Tekanan lebih berat dirasakan oleh sang istri, yang merasa belum bisa membahagiakan suami dengan memberikan keturunan.
Belum lagi celetukan masyarakat yang mempertanyakan kesuburannya sebagai seorang wanita. Benar-benar himpitan dan tekanan luar biasa. Pergi ke dokter kandungan dan ginekolog telah dilakukan berkali-kali. Berbagai therapy telah dilakukan, program bayi tabung, termasuk pergi ke beberapa pengobatan alternative. Tetapi waktu demi waktu berlalu, dan hasilnya tetap nihil.
Cobalah kalian pergi ke seorang ulama hikmah, siapa tahu berhasil, cetus seorang kerabatnya. Pikir suami-istri tersebut, ya, apa salahnya dicoba, akhirnya mereka berdua disarankan pergi ke seorang alim di Kota Bekasi.
********“Ente pernah ke dukun?” Tanya sang alim. “Ya pernah, ke pengobatan alternatif” Jawab sang suami.
“Kalau ente pernah ke dukun, sholat tobat dulu kepada Allah, baru balik lagi kesini.” Suruh sang alim. Mereka pun sholat tobat dan kembali ke rumah sang alim. Sang suami menceritakan kondisi mereka yang belum memiliki momongan selama 13 tahun, bahkan dokter juga memvonis tingkat kesuburan sperma suami hanya 3%.
“Ente salah percaya sama dokter, yang hanya manusia. Harusnya ente minta kepada Allah, karena Allah sang pemilik penyakit dan pemilik obat segala penyakit. Allah pula yang menciptakan mahluk hidup. Dokter hanya menerka-nerka kondisi ente dan istri ente. Kesuburan 3% tidak akan menghalangi kehamilan kalau Allah menghendaki. Ini lah inti tauhid, bahwa Allah pemilik keajaiban, kesuksesan, kesembuhan, ketenangan,dan segala hal lainnya” kata sang alim.
“Ya ustadz, kami mengerti, terus bagaimana solusinya” kata sang suami.
“Ente mau membeli anak nggak?” Tanya sang alim. “Memang bisa beli anak ya ustadz?” kata istri.
“Bisa membeli anak, kata siapa enggak bisa. Ente bayar berapa untuk bayi tabung?” kata sang alim. “Kami bayar 40 juta rupiah untuk satu kali program bayi,” jawab sang suami. “Kalau ente ridho, keluarkan separoh biaya bayi tabung atau 20 juta rupiah untuk sedekah ke dhuafa sama anak yatim. Jangan lupa jaga sholat jamaah di masjid dan berdoa kepada Allah, insya Allah istri ente akan hamil,” kata sang alim.
Akhirnya suami-istri tersebut mengeluarkan sedekah sebesar 20 juta rupiah. Subhanallah, dalam waktu 1 bulan, jumlah sperma hidup naik menjadi 25%, pada bulan kedua menjadi 60%. Setelah bulan ketiga, sang istri positif hamil 3 minggu. Allahu Akbar, sembilan bulan kemudian bayi mereka pun lahir dengan selamat.
********“Alhamdulillah, terima kasih ya ustadz, anak kami telah lahir dengan selamat” kata sang suami. “Oh jangan terima kasih ke ane, ucapkan syukur kepada Allah. Ente berdua yang telah bertobat, bertauhid dan bersedekah, sehingga Allah mengabulkan do’a ente berdua” kata sang alim.
*******At Taghaabun (ayat 17) : Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyayang.
*******
Pembaca, kisah di atas benar-benar terjadi di Kota Bekasi. Ada 2 kisah lagi yang mirip, dimana suami-istri menikah bertahun-tahun, kemudian diminta sholat taubat dan sedekah, akhirnya mereka diberikan anugerah momongan oleh Allah.Intinya, jangan pernah mempercayai kata dokter.
Karena Allah lah pemilik segala kesembuhan dan pemberi kehidupan, dokter hanya manusia biasa yang mencoba diagnosis dan memberikan pengobatan berdasarkan diagnosis tersebut. Dengan bersedekah, Anda dapat membeli kesembuhan penyakit kesuburan untuk memperoleh anak. Sesungguhnya dunia itu mudah, hanya sifat bakhil yang menghalangi Anda untuk mendapatkan dunia sekaligus pahala di akhirat kelak.

Sumber: Anandita / Eramuslim
Kisah Tragis Tiga Orang Anak

Setiap insan yang telah mengikat diri pada sebuah pernikahan, tentunya menginginkan hadirnya buah hati. Buah hati yang akan mengusir lelah sepulang kerja. Buah hati yang akan melindungi saat-saat kita tua nantinya. Banyak lagi angan dan impian yang ingin kita dapatkan dari anak-anak kita, yang semuanya itu ingin kita wujudkan.
Kehadiran seorang atau beberapa orang anak, tentu saja akan mewarnai rumah kita. Anak-anak yang lahir dengan fitrahnya yang suci, akan terwarnai oleh prilaku dan cara asuh orang-tua dan lingkungannya. Anak-anak yang akan menjadi majusi, nasrani atau Muslim itu tergantung dari diri kita, sebagai orang-tuanya.
Pendidikan dan contoh tauladan dari orang-tua sangat diperlukan, agar anak-anak yang terlahir di dunia ini, menjadi seseorang yang akan di cintai orang-tuanya, lingkungannya maupun sang Pencipta-Nya. Semuanya bermula dari didikan orang-tua.
Tapi sayang sekali, beberapa orang-tua lupa akan fungsinya. Mereka hanya menjadi orang-tua biologis, tanpa tahu bagaimana menjadi orang-tua yang seharusnya. Padahal sebagai orang-tua dari anak-anaknya, akan di mintai pertanggung-jawabannya kelak di hari Perhitungan.
Saat saya bersilaturahim pada seorang saudara, dia menceritakan sebuah penyesalan panjang sepasang orang-tua yang telah kehilangan ketiga anaknya. Penyesalan yang tak ada gunanya, karena tak akan bisa mengembalikan buah hati mereka. Penyesalan atas sikap mereka yang salah, karena selama ini salah dalam menerapkan sistim disiplin dan hukuman pada anak-anaknya.
Orang-tua anak-anak itu adalah sama dengan orang-tua lainnya. Mereka sangat mencintai anak-anaknya, tapi dengan cara yang salah. Ayahnya seorang security pada sebuah perusahaan asing yang sangat disiplin dan berwibawa. Sikap dan karakternya yang hanya cocok di pakai di lingkungan kerjanya, ternyata di gunakannya pula pada penghuni rumahnya, termasuk ketiga anak-anak mereka yang masih berusia antara sekitar sepuluh tahun dan lima tahun.
Ayahnya yang punya jiwa disiplin yang tinggi, selalu meminta disiplin itu pada ketiga anaknya, terutama yang sulung. Bila mereka telah selesai bermain, maka barang-barang mainan itu harus di tempatkan kembali seperti semula. Bila tidak, maka bentakan dan pukulan pun akan didaratkan pada tubuh-tubuh mungil itu. Begitu pula disiplin yang lainnya, mereka harus selalu mematuhinya. Ibunya, tidak berdaya terhadap suaminya. Maka pola kekerasanlah yang mereka gunakan dalam mendidik anak-anak yang belum mengerti hitam-putih dunia ini. Mereka hanya tahu, bila ada kesempatan, tentu saja mereka akan bermain sesuai imajinasinya. Karena dunia mereka memang harus banyak bermain. Itulah yang tidak disadari oleh kedua orang-tuanya.
Anak-anak yang masih berusia sangat hijau itu, tentu saja akan disiplin bila mereka ingat apa yang seharusnya mereka lakukan. Pendisiplinan diri mereka, memang belum bisa di samakan pada seorang dewasa. Orang dewasa memang sudah melewati fase mereka, tapi untuk anak-anak itu? Tentu saja mereka masih harus mengarungi waktu yang cukup panjang untuk menjadi disiplin seperti orang-tuanya.
Kesalahan-kesalahan kecil di mata orang-tuanya, merupakan momok yang sangat mengerikan bagi mereka bertiga. Hempasan badan, tinju dan teriakan merupakan suasana keseharian mereka. Bila ayahnya berangkat kerja dan sang ibu keluar rumah, maka itulah syurga bagi mereka. Mereka akan sangat menikmati jam-jam yang kosong dari situasi yang mencekam tersebut. Tentu saja ini terjadi, karena mereka selalu dianggap salah dalam berkelakuan. Salah, berarti akan ada hukuman yang sangat menyakitkan.
Saat kedua orang-tua mereka tak ada di rumah. Tiga orang saudara ini bermain dengan sepuasnya. Tentu saja permainan yang di komandoi oleh saudara tertua. Hingga akhirnya mereka memakai sebuah kunci kendaraan roda dua milik ayahnya. Kunci itu mereka gunakan untuk bermain. Mereka lupa, resiko yang akan mereka dapatkan bila menggunakan milik berharga bagi ayahnya itu. Kunci yang sangat dilarang untuk disentuh oleh orang-tua mereka. Kunci yang saat pemiliknya tidak ada, merupakan sebuah saat yang dinantikan mereka untuk dapat menikmatinya..
Saat kunci itu terjatuh di sebuah sumur dekat rumahnya, maka ketiga anak-anak yang masih polos itu, berusaha mengambil kembali kunci pusaka tersebut. Karena tahu, akan ada hukuman yang sangat mereka takutkan.
Akhirnya ketiga bersaudara tersebut tenggelam di dasar sumur. Tewas karena mereka tidak mengetahui resikonya. Pada benak mereka hanya terbayang kemarahan luar-biasa sang ayah. Mereka pulang kehadirat Ilahi karena sebuah ketakutan akan kesalahan yang mereka lakukan.
Anak hanya amanah, bukan milik kita. Mereka titipan sang Pencipta, karena mereka sebenarnya merupakan tempat kita beramal-shaleh. Sepanjang usia mereka dan tentu saja sepanjang usia orang-tua untuk mendidik sebaik-baiknya. Semoga tulisan ini menjadi renungan bagi kita. Karena sebagai orang-tua, seringkali ingin anak-anaknya mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pengharapannya. Padahal anak-anak itu perlu sebuah proses yang panjang untuk menjadi seseorang yang bernilai di mata kita, lingkungannya dan tentu saja Allah Swt.

Sumber: Ambe Mardiah / Eramuslim