Kamis, 22 Oktober 2009

Belajar Menantu

Menjadi ibu kadang mirip petani dengan tanamannya. Tiap saat, petani disibukkan dengan tumbuhkembang tanaman: membersihkan yang kotor, membasahi yang kering, dan meluruskan yang bengkok. Repotnya, jika seorang petani tidak paham mana yang bengkok dan mana yang lurus.
Ibu adalah sekolah buat anak-anaknya. Itulah ungkapan nasihat yang terkhususkan buat seorang ibu. Dari para ibulah, anak-anak bisa tumbuh lengkap dan sempurna: jasmani dan ruhani.
Namun, akan lain jika justru ibulah yang banyak belajar dari anaknya. Semakin ia ingin tahu sesuatu, kian dekat ia dengan anaknya. Anak menjadi tempat bertanya dan bertanya. Setidaknya, hal itulah yang kini dialami Bu Wati.
Ibu usia lima puluhan tahun ini termasuk mereka yang beruntung. Walau sudah ditinggal suami, ia masih punya satu buah hati tempat menumpahkan rasa sayang. Bisa berbagi rasa dan ilmu. Bahkan, gadis Bu Wati pun kini sudah jadi sarjana.
Awalnya memang berat. Bu Wati harus menyekolahkan gadisnya seorang diri. Ia tidak peduli harus jadi kuli cuci, dagang gorengan; asal anaknya bisa terus sekolah. Dan perjuangan itu kini hampir berakhir. Anak gadis Bu Wati sudah mandiri.
Ada satu hal yang selalu disyukuri Bu Wati. Gadisnya bukan hanya pintar, tapi juga salehah. Itu terlihat dari busana muslimah yang tidak pernah lepas kalau anaknya keluar rumah. Padahal, Bu Wati tidak pernah ngajari soal itu. Bahkan, dirinya pun baru dua bulan lalu mengenakan jilbab. Dan itu pun karena arahan dari anaknya.
Tapi, Bu Wati masih belum tenang. Masih ada satu amanah lagi yang harus ia tunaikan. Anak semata wayangnya belum menikah. Ia kadang heran kenapa. Nyaris tak ada yang kurang dari gadisnya: cantik, pintar, salehah, sarjana, dan mandiri. Kalau ia tanya soal itu ke anaknya, jawaban yang didengar selalu sama, “Belum Allah pertemukan, Mak!”
“Lha, gimana bisa datang tuh jodoh, kalau nggak usaha,” batin Bu Wati tak terdengar. Ia tidak berani berdebat dengan anaknya. Karena ujungnya selalu sama: kalah. Ia cuma bisa berdoa semoga anaknya cepat dapat jodoh. Ketika seorang tetangga menanyakan kriteria pemuda yang cocok buat anaknya, Bu Wati hanya bilang, “Siapa saja, yang penting ikhwan!” Sebenarnya, itulah jawaban yang selalu didengar Bu Wati dari anaknya.
Benar saja. Akhirnya, anaknya bilang, “Mak, insya Allah akan ada yang datang berkenalan sama Emak!” Ungkapan ini langsung dipahami Bu Wati. Karena seumur-umur, gadisnya belum pernah mengucapkan omongan seperti itu. “Ikhwan, Neng?” suara Bu Wati sambil senyum. “Insya Allah, Mak!” ucap anaknya nyaris tak terdengar. “Cakep, nggak?” tanya Bu Wati lagi. Kali ini, tak ada jawaban apa pun dari mulut anaknya.
Bu Wati yakin kalau anaknya belum kenal betul dengan si ikhwan. Soalnya, anaknya pernah ngajarin kalau nikah dalam Islam itu tidak pake’ pacaran. Paling-paling cuma kenal nama, alamat, foto, pendidikan, pekerjaan, dan hobi. Itu pun hanya dalam tulisan. Kalau mau bertemu, pasti nggak boleh berduaan. “Musti ada wasit, Neng?!” ucap Bu Wati ke anaknya seperti menyimpulkan.
Ternyata, si ikhwan bukan hanya kenalan. Calon mantu Bu Wati itu juga menyertakan kedua orang tuanya. Mereka langsung melamar. Tak banyak yang diucapkan Bu Wati kecuali, “Saya sih setuju-setuju aja, Pak, Bu!” Dan, tanggal akad nikah pun terputuskan: bulan depan!
Kalau soal waktu, Bu Wati tidak pusing-pusing amat. Soalnya, urusan biaya sudah disiapkan anaknya. Ia hanya penasaran sama calon mantunya. Selama kunjungan lamaran itu, calon mantunya itu hampir tak pernah ngomong. Cuma senyum-senyum saja. Selalu saja, bapak ibunya yang ngomong. Jangan…jangan…
“Nggak, Mak! Ikhwannya nggak gagu. Orangnya memang pemalu,” ucap anak Bu Wati tenang. “Neneng tahu dari mana?” tanya Bu Wati masih bingung. “Dari biodatanya!” jawab gadis Bu Wati meyakinkan. “Ooo, gitu!” ucap Bu Wati sambil mengangguk.
Hari pernikahan pun datang. Bu Wati mengenakan busana muslimah yang lain dari sebelumnya. Begitu pun dengan anaknya. Kalau soal itu, Bu Wati masih paham. Ada hal lain yang belum dipahami Bu Wati: ruangan para ikhwan dan akhwat harus dipisah. Tanpa kecuali, buat kedua mempelai. Karena rumah Bu Wati kecil, para tamu ikhwan termasuk menantunya menempati halaman rumah tetangga sebelah. Padahal, Bu Wati ingin sekali mendengar calon mantunya ngomong. Tapi, akhirnya ia harus puas cuma lewat pengucapan akad nikah.
Menjelang Maghrib, keluarga besar besan Bu Wati pamitan. Dan tinggallah, si ikhwan sendirian. Soalnya, sebagian besar tamu langsung menuju rumah Bu Wati, tanpa mampir ke ruang ikhwan. Bu Wati sebenarnya kasihan. Ingin rasanya ia menyingkap hijab pemisah. Tapi, ia khawatir disalahkan anaknya.
Saat Maghrib, Bu Wati mencari-cari menantunya. Seorang tetangga bilang, “Tadi jalan ke masjid, Mak!” Bu Wati pun lega. Ia khawatir kalau menantunya nggak keurus.
Lama Bu Wati menunggu. Hingga waktu Isya menjelang. “Mungkin sekalian salat Isya, Mak,” ucap seorang kerabat Bu Wati yang sedang repot-repot di dapur. Tapi, yang ditunggu tak juga datang. Beberapa tamu menanyakan sang mantu.
Hingga jam sembilan, menantu Bu Wati pun tak kunjung datang. “Katanya pulang dulu, Mak!” ucap seorang anak kecil yang ngaku dapat pesan dari mantu Bu Wati.
Sumber: muhammad nuh/Eramuslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar