Saat anak pertama saya menginjak usia 2 tahun, banyak teman-teman yang
sudah lebih dahulu punya anak mengucapkan, “Wah, Lilou 2 tahun ya? Welcome to Terrible Twos,
ya. Haha,” dengan nada puas selayaknya orang yang sudah menderita akan
sangat puas kalau orang lain bisa merasakan penderitaannya.
Saya waktu itu tidak terlalu mengerti apa maksud tawa histeris dan tatapan nanar mereka, dan selayaknya new parents, kami pun memasang aksi congkak dan sombong. “Haha, itu tidak akan terjadi pada kami. Kami berbeda, toddler kami berbeda, kami akan tunjukkan lewat parenting skills andal yang kami peroleh dari internet, bahwa keluarga kami akan bebas dari drama tantrum!”
We have never been so wrong.
Seiring dengan berkembangnya kemampuan verbal serta kemampuan motorik
kasar dan halusnya, bertambah juga keinginan Lilou untuk menyatakan
kemauan dan kemandiriannya. Namun mungkin karena kemauan lebih besar
dari kemampuannya (yang statusnya masih berkembang, ibarat negara kita)
dia sering KZL sendiri saat apa yang diinginkan tidak bisa terwujud. Ini
adalah setidaknya teori saya sendiri, yang tetap mencoba melogikakan
aksi-aksi ngambeknya yang seringkali tidak logis.
Ini adalah beberapa contoh pemicu tantrumnya:
* Ngamuk saat diberi roti, padahal sebelumnya baru saja minta makan roti.
* Menangis guling-guling karena tidak diizinkan memegang paku berkarat yang ia temukan di teras rumah.
* Meraung-raung karena saya larang menjilat sembarang anak di playland sebuah mall.
* Menangis karena tangannya basah. Saat diselidiki kenapa bisa basah, ternyata ia habis menjilati tangannya sendiri.
* Berteriak kencang dengan nada tinggi saat saya melarangnya
menggunakan sikat giginya yang sebelumnya ia pakai untuk membersihkan
lantai kamar mandi.
* Mengamuk karena tidak bisa melihat bulan. Di siang hari.
* Menjerit-jerit saat tidak diizinkan memakai rok tutu baletnya untuk berenang.
* Berteriak sambil melempar semua mainannya saat saya tidak mau memutarkan video klip “Let It Go”. Untuk ke 32 kalinya.
* Menangis sesegukan di kamarnya saat dilarang makan lem.
Kalau ada yang lebih membingungkan dari hidup sebagai toddler, itu
adalah hidup sebagai orangtua dari seorang toddler. Rasanya
kadang-kadang seperti hidup bersama ranjau paling lucu dan menggemaskan,
makhluk tidak stabil yang bisa berubah dari riang gembira menjadi marah
histerikal dalam bilangan detik. Kalah, deh, diva Hollywood manapun.
Yang kami pelajari lewat pengamatan dan akhirnya simpulkan, ternyata
tidak ada manual pakem yang bisa digunakan sebagai referensi universal
untuk menghadapi tantrum anak. Masa-masa seru ini memang merupakan
periode yang harus kami lewati dan jalani dalam proses evolusi hidup
sebagai orangtua. Kami tak perlu menjadi pawang toddler andal di muka
umum untuk membuktikan kemampuan kami, ataupun berusaha menjadi toddler whisperer
yang bisa menyediakan solusi untuk semua masalah Si Kecil. Dalam
perjalanan melalui era bergejolak ini, yang kami pelajari dan akhirnya
memberikan pencerahan serta ketenangan batin adalah, bahwa semua
orangtua akan kurang lebih mengalami fase-fase ini dalam menghadapi era
tantrum batita:
I. Bingung
II. Khawatir
III. Kesal
IV. Mati Rasa
V. Terhibur
Bagi Anda yang bersiap-siap menyambut ulang tahun anak ke-2, saya ucapkan (sambil tertawa histeris dan menatap nanar), “Welcome to Tantrum Land! Semoga bisa cepat sampai ke fase 5!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar