Kamis, 18 September 2014

Perempuan: Boleh Bekerja, Asal…

“Ma, apakah kamu akan menitipkan berlian di rumah pada pembantu?”
“Tentu tidak, sayang.”
“Lalu kenapa Mama menitipkan aku padanya?”
“Jadi elo nggak kerja?”
“Nggak, gue nungguin anak di rumah.”
“Ya ampun, masak Sarjana S2 kayak lo cuma nungguin anak.”
“Ya daripada anak kamu, ditungguin pembantu yang lulus SD aja nggak.”
(Kutipan di atas saya ambil dari poster-poster yang sering beredar di FB, tidak persis, tapi esensinya begitu)
Menurut Anda apa tujuan poster-poster semacam itu?
a. Menegaskan bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah tugas PALING MULIA bagi perempuan?
b. Membuat wanita karier merasa bersalah.
Saya tidak tahu apa tujuan  poster semacam itu. Tapi saya tahu pasti dampaknya: menampar wanita karier. Karier (atau bekerja dalam tulisan ini) saya persempit menjadi kerja di luar rumah, meski sebenarnya every mom is a working mom.
Orang ditampar bisa sedih atau marah. Tapi kemungkinan besar nggak bakal tersenyum.
Dan saya kok ragu dengan melihat poster-poster semacam itu para wanita karier akan serta merta mempertimbangkan buat resign. Merasa marah atau bersalah mungkin iya, tapi berhenti kerja? Lah, siapa yang kasih makan anaknya? Si pembuat poster? Ya nggak lah.
Ibu saya dulu wanita karier. Dia menjadi perawat semenjak belia. Dan lebih parah daripada wanita kantoran yang kerja dari jam 8 sampai jam 5 sore, ibu saya kerja dalam tiga shift bergantian. Jaga pagi (jam 8 pagi-3 sore), jaga sore (jam 3 sore-9 malam), dan jaga malam (jam 9 malam-8 pagi). Anak-anaknya terlantar? Nggak juga. Kami tidak merasa begitu. Empat anaknya bisa tumbuh dengan baik. Kakak saya kini jadi pegawai kantoran, saya jadi penulis, adik saya jadi dokter, adik bungsu saya jadi pekerja LSM. Tak ada yang bercerai, tak ada yang merokok, tak ada yang menenggak alkohol, tidak ada yang jadi pelaku KDRT. Kami bukan orang kaya, tapi secara umum kami hidup bahagia.
Pernah ada percakapan begini.
Tetangga (T): Mbak nggak kerja lagi?
S: Saya pilih kerja di rumah, pengin nungguin anak. Ibu saya dulu kerja di luar dan…
T: Mbak merasa kesepian ya waktu kecil?
S: Oh, tidak, tidak, saya merasa bangga pada ibu saya. Saya kagum padanya. Dia hebat.
Karena pengalaman itulah saya tidak memahami korelasi wanita bekerja dengan kebahagiaan anak. Saya kenal wanita supersibuk yang menjadi pejabat eksekutif di sebuah perusahaan besar sejak dia menikah. Dua anaknya? Sweet sekali. Yang laki-laki berprestasi dalam olimpiade matematika. Dan yang perempuan jago menulis, utak-atik foto, plus ramah dan cerdas. Keduanya dekat dengan orangtuanya. Setidaknya sampai remaja pun mereka masih mau diajak traveling bareng.
Sebaliknya saya kenal stay-home-mom yang ya ampun, anak-anaknya kacau sekali.
Anda mungkin berkata, “Yah, jangan dibandingkan dong, yang satu kan wanita karier cerdas, sarjana, suaminya mapan pula. Yang satunya baca tulis saja seret, suaminya ‘cuma’ loper koran.” (maaf pada loper keran, tidak bermaksud merendahkan).
“Lho, sekarang Anda ngeles. Ini tadi kan perkara bekerja dan tidak bekerja.”
“Ya tapi kan tingkat pendidikan ibu ngaruh juga.”
“Oh, baiklah, jadi lulusan perguruan tinggi akan jadi ibu yang lebih baik dibanding…”
“Ya, saya nggak bilang gitu. Kan nggak sesimpel itu juga.”
Yup, itulah maksud saya, tidak sesimpel itu penjelasannya.
Perempuan Ideal?
Saya tidak mengerti mengapa perempuan zaman sekarang masih juga dihakimi bila bekerja di luar rumah. Dan orang-orang yang menghakimi ini masih berharap anaknya dididik oleh guru perempuan dan istrinya diperiksa oleh bidan atau dokter perempuan. Gyah.
Perempuan zaman dahulu juga bekerja di luar rumah. Berladang. Perempuan-perempuan Bali adalah pekerja keras yang konon bekerja lebih keras dibandin prianya. Perempuan suku American-Indian duduk bersama para laki-laki dalam pengambilan keputusan, setara.
Saya pribadi berpendapat perempuan harus (bisa) mencari uang. Buat jaga-jaga andai (andai saja lho) suami sakit atau di-PHK atau menelantarkan Anda. “Ah, suami saya orang baik, tidak mungkin menelantarkan keluarga.” Oke deh, silakan berdoa saja dia akan setia selamanya.
Saya dengan sepenuh kesadaran memilih kerja di rumah. Untung saja saya punya pilihan untuk kerja di rumah. Saya bisa menulis dan menerjemahkan. Tapi tidak semua orang bisa menulis dan menerjemahkan bukan?
Kan, bisa jualan online atau menjahit. Kalau Anda bisa, silakan saja, tapi jangan memaksa orang lain untuk jualan online juga (kalau semua jadi pedagang online, yang beli siapa dong). Dan banyak perempuan di sana yang jauh lebih berguna bagi masyarakatnya bila bekerja sebagai walikota (Bu Risma apa kabar) atau Menteri Kesehatan (Halo Bu Nafsiyah Mboi).
Saya sendiri berpendapat bila kita pernah mengenyam pendidikan tinggi, apalagi bila disubsidi pemerintah), kita wajib ‘mengembalikan’nya pada masyarakat setidaknya setahun dua tahun. Ya mendidik anak juga punya peran dalam masyararakat, tapi alangkah asyiknya jika mereka yang pernah kuliah di pertanian mengembangkan pertanian, yang pernah kuliah di pendidikan anak ngajar PAUD, dan seterusnya. Jadi ingat sebuah institut pertanian yang konon membatasi mahasiswa perempuan gara-garanya kebanyakan mereka akhirnya nggak berkecimpung di dunia pertanian sehingga bidang ini kekurangan tenaga kerja.
Saya kenal seorang teman yang ‘berdarah-darah’ tiap mau kerja karena nggak tega ninggal anaknya. Apalagi pas anaknya sakit. Ditanggung dia nggak bisa konsen di kantor. Tapi dia mengakui dia nggak sanggup juga kalau tinggal 24 jam di luar rumah. Bakal bosan habis, katanya.
Yup, saya tahu banyak perempuan terpaksa bekerja di luar karena yah, mau gimana lagi, kalau yang kerja cuma satu, gaji nggak nutup. Yah, gimana lagi suaminya pengangguran. Mau gimana lagi? Suaminya berpenghasilan tinggi, tapi uangnya dikekep sendiri, dibelikan aksesori mobil, dan bukannya bedak buat istri (dan dia masih menuntut istrinya tampil cantik).
Tapi ada sebagian perempuan yang bekerja karena mereka bisa sinting kalau nggak kerja. Mereka jadi manusia yang lebih baik karena bekerja. Intinya mereka eksis karena pekerjaan mereka. Ibu bekerja ini menjadi ibu yang manis sepulang kerja. Mereka memeluk dan membacakan buku bagi anaknya. Tapi kalau menunggui anak 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dia bakal cemberut dan marah-marah melulu.
Saya sendiri sebenarnya tipe gaul yang butuh ‘ngupi-ngupi’ bersama rekan kerja tiap jumat sore. Untung meski tinggal di rumah, hobi itu bisa saya salurkan dengan bergabung dengan komunitas emak-emak rumpi.
Boleh Bekerja, tapi….
Sampai di sini silakan simpulkan sendiri, apakah bekerja tidaknya ibu mempengaruhi pertumbuhan anaknya. Seperti saya tulis tadi saya kenal ibu rumah tangga yang anak-anaknya begajulan (map). Bisa jadi karena si ayah tak peduli sama anak-anaknya (dengan alasan karena sudah kerja dari subuh sampai malam), bisa jadi karena yang kerja cuma satu dan penghasilan tidak mencukupi, si ibu jadi marah-marah melulu dan anaknya yang kena sasaran.
“Lah, salah si ibu dong nggak bisa hemat.”
“ Eh, cong, mana yang harus dihemat lagi kalau uang buat makan tiga kali saja nggak cukup?”
Seorang kenalan laki-laki pernah bertanya pada saya, “Kenapa sih istriku masih kelayapan cari kerjaan, padahal uang sudah kukasih tiap hari?” Saya tahu persis berapa yang dikasihkan pada istrinya dan saya pengin teriak, “Coba ya kamu belanjakan uang segitu buat kebutuan sehari-hari. Kalau kamu bisa, kemungkinan besar kamu ini tukang sihir.”
Ibu bekerja memiliki beban ganda di Indonesia. Ya urusan kerja, ya urusan keluarga. Betapa sering kita mendengar, “Perempuan boleh bekerja, tapi….”, “Ibu boleh kerja, asal….”
Tapi dahulukan urusan keluarga. Asal tidak keluar rumah sepanjang hari. Asal untuk bantu-bantu saja.
“Tapi” dan “asal” itu tidak berlaku untuk laki-laki. Implikasinya jelas. Laki-laki boleh (harus) bekerja dan tidak perlu mengurus keluarga. Kalau ada sepasang suami istri yang bekerja dan anaknya tidak terurus berarti yang salah yang perempuan. Dia yang harus berhenti meski penghasilannya lebih tinggi.
Saya percaya pada bonding ‘spesial’ antara ibu dan anak. Ini hubungan yang sangat khusus yang memang tak bisa terganti. Namun peran ayah juga tak bisa terganti. Ayah dan Ibu bersama-sama menciptakan sinergi yang seimbang. Anak yang mendapat kasih sayang dari ayah dan ibu tumbuh dengan lebih percaya diri, lebih stabil, dan lebih bahagia.
Norma Sosial
Banyak pekerjaan yang memang lebih luwes dikerjakan perempuan. Ada alasan esensial mengapa penjaga toko, perawat, dan guru TK kebanyakan dilakoni oleh perempuan. Ini konon karena perempuan memiliki emosi yang lebih halus, empati yang lebih kuat, rasa sayang yang lebih tinggi, dan kemampuan berbahasa yang lebih baik dibanding laki-laki. Mereka juga lebih tekun dan telaten.
Tapi bisa jadi ini karena norma sosial yang sejak awal menempatkan perempuan sebagai pengasuh dan perawat kehidupan. Mengurus anak? Itu tugas perempuan. Mengurus orangtua? Perempuan juga. Mengurus rumah? Ya tugas ibulah. Itulah mengapa perawat perempuan terkesan lebih luwes dalam pekerjaannya. Guru TK perempuan juga terkesan lebih ‘ngemong’ daripada guru laki-laki. Tentu saja, karena perempuan memang ‘dididik’ seperti itu.
Jadi herankah kita mengapa rokok sulit sekali diberantas meskipun sudah jelas membahayakan anak-anak? Mengapa para pejabat (dan rata-rata laki-laki itu) tidak peduli pada fakta bahwa sekian ribu anak dijual tiap tahun untuk dijadikan pekerja illegal? Mengapa laki-laki lebih sering menggunakan ‘fisik’ ketika menghadapi suatu masalah. Mengapa akhirnya ibu dan ibu lagi yang harus merasa bersalah ketika terjadi ‘sesuatu’ pada anak mereka.
Menghakimi
Tidak hanya dalam karier perempuan dihakimi. Di sebuah grup fb yang mendukung gerakan menyusui, beberapa kali saya melihat seorang ibu di-bully hanya karena menanyakan “Apa merk sufor yang terbaik?” atau “Kapan sebaiknya memberikan susu UHT pada anak saya?”
Meski beberapa orang selalu mengingatkan bahwa justru ibu-ibu inilah yang harus diberi penjelasan dengan santun, perundungan selalu saja terjadi. Mulai dari ‘ya ampun, Bu, salah grup kali. Ini kan grup ASI!” sampai “Anak manusia yang minum ASI, anak sapi minum susu sapi’.
Saya pro-ASI. Saya menyusui anak saya hingga tiga tahun. Setelah lepas dari ASI, anak saya juga tidak ‘nyambung’ ke susu sapi. Saya merasa ibu-ibu yang tidak memberi ASI –dan malah dengan bangganya memberikan susu formula– itu bodoh sekali. Tapi saya ingatkan diri saya sendiri, semua ibu ingin yang terbaik buat anaknya. Saya selalu ingat kata Bidan Robin Lim, “Tak ada ibu yang gagal, yang ada adalah  masyarakat yang membuat si ibu gagal–.
Ya, bisa jadi mereka yang beralih ke formula memang benar-benar tidak tahu bahwa ASI lebih unggul daripada susu formula karena sudah terpengaruh iklan. Kalau pun mereka tahu, bisa jadi mereka tidak memberikan ASI karena memang tidak bisa –meski sangat menginginkannya–. Alasannya bisa macam-macam, karena bekerja, karena sakit, karena bepergian, karena ASI tidak keluar dan sebagainya. Anda bisa menyangkal, ah itu semua ada solusinya. Tapi Anda tidak mengalaminya sendiri bukan?
Saya mengingatkan diri saya sendiri bahwa setiap keluarga itu unik, pun setiap individu itu berbeda. Ada yang syukur meski kerja tahu cara memerah ASI dan bisa menyisihkan waktu untuk melakukannya pada jam kerja. Ada yang meski di rumah dan selo tidak bisa menyusui karena tidak mendapat dukungan keluarga. Saya kenal seorang perempuan yang tidak menyusui karena tidak ingin payudaranya jadi jelek dan suaminya bakal selingkuh. Padahal sepertinya suaminya memang bakat selingkuh bahkan bila payudara istrinya seindah punya Pamela Anderson. Gampang saja kita bilang, “Suami kayak gitu, tinggalin aja deh.” Terus Anda gitu yang bakal menghidupi anaknya?
Tak Ada yang Sempurna
Anak saya tiga tahun empat bulan. Belum pernah makan permen sama sekali. Belum pernah makan mi instan. Tidak pernah ngedot sama sekali. Makanan kemasan saya batasi. Dia doyan sayur –meski tidak semua jenis—dan setiap hari makan buah.
Wow  banget kan?
Tidak juga. Kemungkinan besar saya masih tetap dibully ibu-ibu lain karena dia kadang makan es krim yang berwarna-warni. Kadang dia minum sirup (meski tahu bahwa itu hanya boleh dilakukan kadang-kadang), dan anak saya itu ndil-ndilan sekali. Seperti ada pegas di telapak kakinya dan paku di bokongnya. Dia tak bisa duduk diam. Mulutnya juga kayak radio, selalu bunyi begitu sudah ‘on’. Dia teriak-teriak kalau saya ajak arisan. Tapi dia juga sekaligus pemalu. Kemampuan sosialisasinya masih kurang.
Kalau orang melihat anak saya seperti itu, mereka mungkin menghakimi, “Ya ampun, anak itu kok nggak sopan sekali. Ibunya nggak bisa mendidik ya?”
Saya sering seperti itu, membatin ibu lain maksud saya. Secara spontan saya mengevaluasi mereka dan tentunya kebanyakan yang saya evaluasi adalah sisi buruknya. Terus terang itu yang menonjol, sih, dan asyik buat digosipkan.
“Ya ampun, itu anak baru tiga tahun kok giginya sudah habis. Gimana sih pola makannya?”
“Hah, empat tahun dan belum lulus toilet training?”
“Lah, gimana itu baru empat tahun kok sudah mau disekolahkan?” dan seterusnya.
Kalau anak giginya ompong sebelum waktunya itu terus kenapa? Okelah teori kedokteran gigi boleh mengutarakan teorinya sampai berlembar-lembar mengenai efek buruk gigi kerepes, tapi tidak berarti si anak bakal jadi koruptor saat ia dewasa bukan?
Kita semua punya situasi unik. Ada yang menjadi orang tua tunggal. Ada sepasang suami istri yang keduanya harus bekerja karena tuntutan ekonomi. Ada pula yang keduanya bisa tinggal di rumah. Ada anak yang gemar sekolah, ada pula anak yang menolak sekolah. Ada laki-laki yang bekerja off-shore sehingga cuma  bisa ketemu anaknya enam bulan sekali dan akhirnya menggelontor si anak dengan mainan mahal. Ada pengangguran yang meski tidak harus pergi ke mana-mana, tapi toh tetap nggak pernah ‘melihat anaknya’, apalagi membuatkan layang-layang.
Saya hanya mengingatkan diri saya untuk tidak melihat melulu dari kacamata saya. Saya belajar untuk lebih menerima. Menyebarkan apa yang kita anggap benar mungkin baik, tapi saya tidak bisa memaksa. Dan saya jelas tak bisa menilai, tak boleh menghakimi. Saya bukan juri, bukan pula hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar