“Ma, apakah kamu akan menitipkan berlian di rumah pada pembantu?”
“Tentu tidak, sayang.”
“Lalu kenapa Mama menitipkan aku padanya?”
“Jadi elo nggak kerja?”
“Nggak, gue nungguin anak di rumah.”
“Ya ampun, masak Sarjana S2 kayak lo cuma nungguin anak.”
“Ya daripada anak kamu, ditungguin pembantu yang lulus SD aja nggak.”
(Kutipan di atas saya ambil dari poster-poster yang sering beredar di FB, tidak persis, tapi esensinya begitu)
Menurut Anda apa tujuan poster-poster semacam itu?
a. Menegaskan bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah tugas PALING MULIA bagi perempuan?
b. Membuat wanita karier merasa bersalah.
Saya tidak tahu apa tujuan poster semacam itu.
Tapi saya tahu pasti dampaknya: menampar wanita karier. Karier (atau
bekerja dalam tulisan ini) saya persempit menjadi kerja di luar rumah,
meski sebenarnya every mom is a working mom.
Orang ditampar bisa sedih atau marah. Tapi kemungkinan besar nggak bakal tersenyum.
Dan saya kok ragu dengan melihat poster-poster semacam itu para wanita karier akan serta merta mempertimbangkan buat resign.
Merasa marah atau bersalah mungkin iya, tapi berhenti kerja? Lah, siapa
yang kasih makan anaknya? Si pembuat poster? Ya nggak lah.
Ibu saya dulu wanita karier. Dia menjadi perawat
semenjak belia. Dan lebih parah daripada wanita kantoran yang kerja dari
jam 8 sampai jam 5 sore, ibu saya kerja dalam tiga shift
bergantian. Jaga pagi (jam 8 pagi-3 sore), jaga sore (jam 3 sore-9
malam), dan jaga malam (jam 9 malam-8 pagi). Anak-anaknya terlantar?
Nggak juga. Kami tidak merasa begitu. Empat anaknya bisa tumbuh dengan
baik. Kakak saya kini jadi pegawai kantoran, saya jadi penulis, adik
saya jadi dokter, adik bungsu saya jadi pekerja LSM. Tak ada yang
bercerai, tak ada yang merokok, tak ada yang menenggak alkohol, tidak
ada yang jadi pelaku KDRT. Kami bukan orang kaya, tapi secara umum kami
hidup bahagia.
Pernah ada percakapan begini.
Tetangga (T): Mbak nggak kerja lagi?
S: Saya pilih kerja di rumah, pengin nungguin anak. Ibu saya dulu kerja di luar dan…
T: Mbak merasa kesepian ya waktu kecil?
S: Oh, tidak, tidak, saya merasa bangga pada ibu saya. Saya kagum padanya. Dia hebat.
Karena pengalaman itulah saya tidak memahami
korelasi wanita bekerja dengan kebahagiaan anak. Saya kenal wanita
supersibuk yang menjadi pejabat eksekutif di sebuah perusahaan besar
sejak dia menikah. Dua anaknya? Sweet sekali. Yang laki-laki berprestasi
dalam olimpiade matematika. Dan yang perempuan jago menulis, utak-atik
foto, plus ramah dan cerdas. Keduanya dekat dengan orangtuanya.
Setidaknya sampai remaja pun mereka masih mau diajak traveling bareng.
Sebaliknya saya kenal stay-home-mom yang ya ampun, anak-anaknya kacau sekali.
Anda mungkin berkata, “Yah, jangan dibandingkan
dong, yang satu kan wanita karier cerdas, sarjana, suaminya mapan pula.
Yang satunya baca tulis saja seret, suaminya ‘cuma’ loper koran.” (maaf
pada loper keran, tidak bermaksud merendahkan).
“Lho, sekarang Anda ngeles. Ini tadi kan perkara bekerja dan tidak bekerja.”
“Ya tapi kan tingkat pendidikan ibu ngaruh juga.”
“Oh, baiklah, jadi lulusan perguruan tinggi akan jadi ibu yang lebih baik dibanding…”
“Ya, saya nggak bilang gitu. Kan nggak sesimpel itu juga.”
Yup, itulah maksud saya, tidak sesimpel itu penjelasannya.
Perempuan Ideal?
Saya tidak mengerti mengapa perempuan zaman
sekarang masih juga dihakimi bila bekerja di luar rumah. Dan orang-orang
yang menghakimi ini masih berharap anaknya dididik oleh guru perempuan
dan istrinya diperiksa oleh bidan atau dokter perempuan. Gyah.
Perempuan zaman dahulu juga bekerja di luar rumah.
Berladang. Perempuan-perempuan Bali adalah pekerja keras yang konon
bekerja lebih keras dibandin prianya. Perempuan suku American-Indian
duduk bersama para laki-laki dalam pengambilan keputusan, setara.
Saya pribadi berpendapat perempuan harus (bisa)
mencari uang. Buat jaga-jaga andai (andai saja lho) suami sakit atau
di-PHK atau menelantarkan Anda. “Ah, suami saya orang baik, tidak
mungkin menelantarkan keluarga.” Oke deh, silakan berdoa saja dia akan
setia selamanya.
Saya dengan sepenuh kesadaran memilih kerja di
rumah. Untung saja saya punya pilihan untuk kerja di rumah. Saya bisa
menulis dan menerjemahkan. Tapi tidak semua orang bisa menulis dan
menerjemahkan bukan?
Kan, bisa jualan online atau menjahit. Kalau Anda
bisa, silakan saja, tapi jangan memaksa orang lain untuk jualan online
juga (kalau semua jadi pedagang online, yang beli siapa dong). Dan
banyak perempuan di sana yang jauh lebih berguna bagi masyarakatnya bila
bekerja sebagai walikota (Bu Risma apa kabar) atau Menteri Kesehatan
(Halo Bu Nafsiyah Mboi).
Saya sendiri berpendapat bila kita pernah mengenyam
pendidikan tinggi, apalagi bila disubsidi pemerintah), kita wajib
‘mengembalikan’nya pada masyarakat setidaknya setahun dua tahun. Ya
mendidik anak juga punya peran dalam masyararakat, tapi alangkah
asyiknya jika mereka yang pernah kuliah di pertanian mengembangkan
pertanian, yang pernah kuliah di pendidikan anak ngajar PAUD, dan
seterusnya. Jadi ingat sebuah institut pertanian yang konon membatasi
mahasiswa perempuan gara-garanya kebanyakan mereka akhirnya nggak
berkecimpung di dunia pertanian sehingga bidang ini kekurangan tenaga
kerja.
Saya kenal seorang teman yang ‘berdarah-darah’ tiap
mau kerja karena nggak tega ninggal anaknya. Apalagi pas anaknya sakit.
Ditanggung dia nggak bisa konsen di kantor. Tapi dia mengakui dia nggak
sanggup juga kalau tinggal 24 jam di luar rumah. Bakal bosan habis,
katanya.
Yup, saya tahu banyak perempuan terpaksa bekerja di
luar karena yah, mau gimana lagi, kalau yang kerja cuma satu, gaji
nggak nutup. Yah, gimana lagi suaminya pengangguran. Mau gimana lagi?
Suaminya berpenghasilan tinggi, tapi uangnya dikekep sendiri, dibelikan
aksesori mobil, dan bukannya bedak buat istri (dan dia masih menuntut
istrinya tampil cantik).
Tapi ada sebagian perempuan yang bekerja karena
mereka bisa sinting kalau nggak kerja. Mereka jadi manusia yang lebih
baik karena bekerja. Intinya mereka eksis karena pekerjaan mereka. Ibu
bekerja ini menjadi ibu yang manis sepulang kerja. Mereka memeluk dan
membacakan buku bagi anaknya. Tapi kalau menunggui anak 24 jam sehari, 7
hari seminggu, dia bakal cemberut dan marah-marah melulu.
Saya sendiri sebenarnya tipe gaul yang butuh
‘ngupi-ngupi’ bersama rekan kerja tiap jumat sore. Untung meski tinggal
di rumah, hobi itu bisa saya salurkan dengan bergabung dengan komunitas
emak-emak rumpi.
Boleh Bekerja, tapi….
Sampai di sini silakan simpulkan sendiri, apakah
bekerja tidaknya ibu mempengaruhi pertumbuhan anaknya. Seperti saya
tulis tadi saya kenal ibu rumah tangga yang anak-anaknya begajulan
(map). Bisa jadi karena si ayah tak peduli sama anak-anaknya (dengan
alasan karena sudah kerja dari subuh sampai malam), bisa jadi karena
yang kerja cuma satu dan penghasilan tidak mencukupi, si ibu jadi
marah-marah melulu dan anaknya yang kena sasaran.
“Lah, salah si ibu dong nggak bisa hemat.”
“ Eh, cong, mana yang harus dihemat lagi kalau uang buat makan tiga kali saja nggak cukup?”
Seorang kenalan laki-laki pernah bertanya pada
saya, “Kenapa sih istriku masih kelayapan cari kerjaan, padahal uang
sudah kukasih tiap hari?” Saya tahu persis berapa yang dikasihkan pada
istrinya dan saya pengin teriak, “Coba ya kamu belanjakan uang segitu
buat kebutuan sehari-hari. Kalau kamu bisa, kemungkinan besar kamu ini
tukang sihir.”
Ibu bekerja memiliki beban ganda di Indonesia. Ya
urusan kerja, ya urusan keluarga. Betapa sering kita mendengar,
“Perempuan boleh bekerja, tapi….”, “Ibu boleh kerja, asal….”
Tapi dahulukan urusan keluarga. Asal tidak keluar rumah sepanjang hari. Asal untuk bantu-bantu saja.
“Tapi” dan “asal” itu tidak berlaku untuk
laki-laki. Implikasinya jelas. Laki-laki boleh (harus) bekerja dan tidak
perlu mengurus keluarga. Kalau ada sepasang suami istri yang bekerja
dan anaknya tidak terurus berarti yang salah yang perempuan. Dia yang
harus berhenti meski penghasilannya lebih tinggi.
Saya percaya pada bonding ‘spesial’ antara ibu dan
anak. Ini hubungan yang sangat khusus yang memang tak bisa terganti.
Namun peran ayah juga tak bisa terganti. Ayah dan Ibu bersama-sama
menciptakan sinergi yang seimbang. Anak yang mendapat kasih sayang dari
ayah dan ibu tumbuh dengan lebih percaya diri, lebih stabil, dan lebih
bahagia.
Norma Sosial
Banyak pekerjaan yang memang lebih luwes dikerjakan
perempuan. Ada alasan esensial mengapa penjaga toko, perawat, dan guru
TK kebanyakan dilakoni oleh perempuan. Ini konon karena perempuan
memiliki emosi yang lebih halus, empati yang lebih kuat, rasa sayang
yang lebih tinggi, dan kemampuan berbahasa yang lebih baik dibanding
laki-laki. Mereka juga lebih tekun dan telaten.
Tapi bisa jadi ini karena norma sosial yang sejak
awal menempatkan perempuan sebagai pengasuh dan perawat kehidupan.
Mengurus anak? Itu tugas perempuan. Mengurus orangtua? Perempuan juga.
Mengurus rumah? Ya tugas ibulah. Itulah mengapa perawat perempuan
terkesan lebih luwes dalam pekerjaannya. Guru TK perempuan juga terkesan
lebih ‘ngemong’ daripada guru laki-laki. Tentu saja, karena perempuan
memang ‘dididik’ seperti itu.
Jadi herankah kita mengapa rokok sulit sekali
diberantas meskipun sudah jelas membahayakan anak-anak? Mengapa para
pejabat (dan rata-rata laki-laki itu) tidak peduli pada fakta bahwa
sekian ribu anak dijual tiap tahun untuk dijadikan pekerja illegal?
Mengapa laki-laki lebih sering menggunakan ‘fisik’ ketika menghadapi
suatu masalah. Mengapa akhirnya ibu dan ibu lagi yang harus merasa
bersalah ketika terjadi ‘sesuatu’ pada anak mereka.
Menghakimi
Tidak hanya dalam karier perempuan dihakimi. Di
sebuah grup fb yang mendukung gerakan menyusui, beberapa kali saya
melihat seorang ibu di-bully hanya karena menanyakan “Apa merk sufor yang terbaik?” atau “Kapan sebaiknya memberikan susu UHT pada anak saya?”
Meski beberapa orang selalu mengingatkan bahwa
justru ibu-ibu inilah yang harus diberi penjelasan dengan santun,
perundungan selalu saja terjadi. Mulai dari ‘ya ampun, Bu, salah grup
kali. Ini kan grup ASI!” sampai “Anak manusia yang minum ASI, anak sapi
minum susu sapi’.
Saya pro-ASI. Saya menyusui anak saya hingga tiga
tahun. Setelah lepas dari ASI, anak saya juga tidak ‘nyambung’ ke susu
sapi. Saya merasa ibu-ibu yang tidak memberi ASI –dan malah dengan
bangganya memberikan susu formula– itu bodoh sekali. Tapi saya ingatkan
diri saya sendiri, semua ibu ingin yang terbaik buat anaknya. Saya
selalu ingat kata Bidan Robin Lim, “Tak ada ibu yang gagal, yang ada
adalah masyarakat yang membuat si ibu gagal–.
Ya, bisa jadi mereka yang beralih ke formula memang
benar-benar tidak tahu bahwa ASI lebih unggul daripada susu formula
karena sudah terpengaruh iklan. Kalau pun mereka tahu, bisa jadi mereka
tidak memberikan ASI karena memang tidak bisa –meski sangat
menginginkannya–. Alasannya bisa macam-macam, karena bekerja, karena
sakit, karena bepergian, karena ASI tidak keluar dan sebagainya. Anda
bisa menyangkal, ah itu semua ada solusinya. Tapi Anda tidak
mengalaminya sendiri bukan?
Saya mengingatkan diri saya sendiri bahwa setiap
keluarga itu unik, pun setiap individu itu berbeda. Ada yang syukur
meski kerja tahu cara memerah ASI dan bisa menyisihkan waktu untuk
melakukannya pada jam kerja. Ada yang meski di rumah dan selo
tidak bisa menyusui karena tidak mendapat dukungan keluarga. Saya kenal
seorang perempuan yang tidak menyusui karena tidak ingin payudaranya
jadi jelek dan suaminya bakal selingkuh. Padahal sepertinya suaminya
memang bakat selingkuh bahkan bila payudara istrinya seindah punya
Pamela Anderson. Gampang saja kita bilang, “Suami kayak gitu, tinggalin
aja deh.” Terus Anda gitu yang bakal menghidupi anaknya?
Tak Ada yang Sempurna
Anak saya tiga tahun empat bulan. Belum pernah
makan permen sama sekali. Belum pernah makan mi instan. Tidak pernah
ngedot sama sekali. Makanan kemasan saya batasi. Dia doyan sayur –meski
tidak semua jenis—dan setiap hari makan buah.
Wow banget kan?
Tidak juga. Kemungkinan besar saya masih tetap
dibully ibu-ibu lain karena dia kadang makan es krim yang
berwarna-warni. Kadang dia minum sirup (meski tahu bahwa itu hanya boleh
dilakukan kadang-kadang), dan anak saya itu ndil-ndilan sekali. Seperti
ada pegas di telapak kakinya dan paku di bokongnya. Dia tak bisa duduk
diam. Mulutnya juga kayak radio, selalu bunyi begitu sudah ‘on’. Dia
teriak-teriak kalau saya ajak arisan. Tapi dia juga sekaligus pemalu.
Kemampuan sosialisasinya masih kurang.
Kalau orang melihat anak saya seperti itu, mereka
mungkin menghakimi, “Ya ampun, anak itu kok nggak sopan sekali. Ibunya
nggak bisa mendidik ya?”
Saya sering seperti itu, membatin ibu lain maksud
saya. Secara spontan saya mengevaluasi mereka dan tentunya kebanyakan
yang saya evaluasi adalah sisi buruknya. Terus terang itu yang menonjol,
sih, dan asyik buat digosipkan.
“Ya ampun, itu anak baru tiga tahun kok giginya sudah habis. Gimana sih pola makannya?”
“Hah, empat tahun dan belum lulus toilet training?”
“Lah, gimana itu baru empat tahun kok sudah mau disekolahkan?” dan seterusnya.
Kalau anak giginya ompong sebelum waktunya itu
terus kenapa? Okelah teori kedokteran gigi boleh mengutarakan teorinya
sampai berlembar-lembar mengenai efek buruk gigi kerepes, tapi tidak
berarti si anak bakal jadi koruptor saat ia dewasa bukan?
Kita semua punya situasi unik. Ada yang menjadi
orang tua tunggal. Ada sepasang suami istri yang keduanya harus bekerja
karena tuntutan ekonomi. Ada pula yang keduanya bisa tinggal di rumah.
Ada anak yang gemar sekolah, ada pula anak yang menolak sekolah. Ada
laki-laki yang bekerja off-shore sehingga cuma bisa ketemu anaknya enam
bulan sekali dan akhirnya menggelontor si anak dengan mainan mahal. Ada
pengangguran yang meski tidak harus pergi ke mana-mana, tapi toh tetap
nggak pernah ‘melihat anaknya’, apalagi membuatkan layang-layang.
Saya hanya mengingatkan diri saya untuk tidak
melihat melulu dari kacamata saya. Saya belajar untuk lebih menerima.
Menyebarkan apa yang kita anggap benar mungkin baik, tapi saya tidak
bisa memaksa. Dan saya jelas tak bisa menilai, tak boleh menghakimi.
Saya bukan juri, bukan pula hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar